Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan 728x90

DEMO "TOLAK UKT" HANYA MITOS

Minggu, 05 Juli 2020 | Juli 05, 2020 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-06T01:48:15Z



Fill-O.blog.spot - Pandemi Covid-19 merusak tatanan masyarakat. Bukan hanya di negara maju ataupun berkembang, dari kota hingga pelosok desa, Covid-19 benar-benar menghentikan banyak sistem di masyarakat termasuk sistem perekonomian. Misalnya di Padangsidimpuan, kota ini memang tidak begitu terdampak terhadap masyarakat yang menjadi korban positif Corona, tetapi dampak kemerosotan ekonomi sangat  terasa di Kota Kecil ini. 

Gejolak kemerosotan ini membuat ekonomi keluarga baik di daerah Padangsidimpuan maupun Tapanuli bagian Selatan. Sehingga banyak produksi yang berhenti. Banyak pula konsumsi terhenti sehingga pendapatan masyarakat berkurang. Selain menafkahi kehidupan keluarga, orang tua juga harus menyiapkan biaya sekolah atau kuliah anak-anaknya. Jika selama ini ekonomi mereka tergolong menengah ke bawah, maka dampak Covid-19 ini membuat mereka digolongkan ekonomi bawah semuanya.

Singkatnya, Covid-19 memperberat orang tua untuk membiayai studi anak-anaknya. Sehingga keputusan lembaga pendidikan yang memberikan keringanan kepada peserta didik sangat dinantikan oleh mereka. Biaya pendidikan paling besar ada pada jenjang perguruan tinggi.

Masih menjadi wacana bahwa di Padangsidimpuan belum juga jelas kapan Pembebasan Aktifitas Normal dikeluarkan. Sehingga pendidikan masih dilakukan secara daring. Terkhusus mahasiswa diberbagai Perguruan Tinggi di kota Salak ini, benar-benar terdampak. Semua mengeluh atas biaya yang harus mereka keluarkan ditengah kuliah daring. Seolah-olah mereka rugi 3 kali, yaitu Kuliah Tidak Efektif, Biaya Kuota Internet dan Fasilitas Digital, dan Uang Kuliah Tunggal.

Sementara itu, gejolak aspirasi untuk menolak pembayaran UKT kian memuncak. Banyak curhatan mahasiswa yang diunggah di media sosial tentang rasa keberatan mereka terhadap pembayaran uang kuliah tunggal. Di beberapa kampus telah keluar surat keputusan tentang biaya UKT akibat pandemi Covid-19. Ada kampus yang memberikan potongan 10% dengan syarat dan ketentuan berlaku, ada kampus yang memberikan potongan dengan nominal tertentu, ada juga kampus yang tidak melakukan potongan sama sekali. Tentu ini sangat memberatkan bagi orang tua yang notabenenya harus membayar biaya UKT ini.

Aspirasi untuk aksi juga tak terbendung namun apa daya banyak tembok yang harus dilalui untuk mewujudkan aksi demonstrasi ini. Khususnya di Padangsidimpuan, di mana new normal masih berlaku dengan status zona kuning yang dikeluarkan oleh Walikotanya menjadi penghalang untuk aksi mahasiswa. Selain itu juga, niat untuk demonstrasi tersebut terhalang oleh kebijakan internal kampus masing-masing. Ada kampus yang memberikan sanksi skorsing bahkan drop out bagi mahasiswanya yang melakukan demonstrasi. Ada juga kampus yang mahasiswanya tidak begitu niat untuk demonstrasi. ilIni juga menjadi penghalang bagi mahasiswa dalam mengaspirasikan suaranya.

Mengingat di kota Padangsidimpuan ini terdapat 5 organisasi kemahasiswaan besar berskala nasional, misalnya HMI, PMII, KAMMI, IMM, dan GMKI. Tapi, di masa pandemi ini mereka seperti tidak nampak keberadaannya. Padahal justru di masa-masa sulit seperti inilah mereka hadir di hadapan mahasiswa lainnya untuk mengaspirasikan dan menjembatani suara suara 'ketertindasan' yang mereka alami.

Dan bila dikaji secara sifat Organisasi, kelima organisasi tersebut adalah organisasi mahasiswa tentunya itu menjadi satu pasal yang tertulis di anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi masing-masing. Tentu kampus juga harus menjamin hak suara mereka untuk beraspirasi. Tapi mengapa hingga sekarang tidak ada satu aksi pun yang dilakukan terhadap tuntutan mereka. Apa yang terjadi dengan mahasiswa di kota Salak ini? Benarkah bahwa jiwa mereka sudah hilang, atau mereka tidak kunjung mengerti akan status dan fungsi mereka sebagai mahasiswa, atau mereka sudah pesimis?

Sebenarnya tidak, ada sekelompok mahasiswa yang sebenarnya ingin aksi turun menyampaikan aspirasi, tapi mereka tetap tidak bisa, karena mereka harus mengikuti prosedur kampusnya, di mana aksi di dalam kampus digerakkan oleh dewan eksekutif Mahasiswa. Rantai ini terus berlanjut bahwa dewan eksekutif Mahasiswa juga tidak bisa melakukan aksi karena mereka berpikir 1000 kali untuk melakukan aksi. Pemikiran itu bukan serta-merta tidak ingin aksi tetapi bisa jadi pihak kampus akan memberikan sanksi yang tidak ringan kepada mereka yang berani aksi demonstrasi. 

Hemat penulis, jika dewan eksekutif Mahasiswa tidak sanggup untuk menjadi barisan terdepan dalam penggerakan demonstrasi ini, maka seharusnya mereka mundur dari jabatannya sebagai pengayom mahasiswa di kampusnya. Selanjutnya, jika kampus tidak mengizinkan ada demonstrasi, maka kampus tersebut dipertanyakan kredibilitasnya, integritasnya, dan identitasnya.

Dan pertanyaan selanjutnya, apa yang harus di demonstrasi? sementara kampus sudah mengeluarkan keputusan terkait pemotongan biaya UKT. Berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa mahasiswa yang terdampak secara ekonomi oleh Covid-19 ini mengatakan bahwa mereka benar-benar merasa keputusan kampus atas pemotongan UKT tersebut tidak logis. Misalnya di salah satu Institusi Negeri Islam, memberikan pemotongan 10% dengan catatan syarat ketentuan berlaku, mereka menilai pemotongan itu hanya lelucon. Menurut mereka jika kampus ingin benar-benar membantu atau ingin meringankan beban orang tua dan mahasiswa maka setidaknya kampus mampu memberikan potongan 50% atau bahkan 100%. meskipun Padangsidimpuan tidak terdampak korban positif Corona, tapi Tapanuli bagian Selatan terdampak pemerosotan ekonomi.

Fenomena ini adalah masalah besar dan ini harus diselesaikan. Mahasiswa harus mampu membuang ego untuk atas nama kebersamaan. Tidak sedikit mahasiswa miskin di Padangsidimpuan. Ada banyak mahasiswa yang kuliah dengan biaya sendiri dan terdampak sehingga tidak bisa mengumpulkan uang untuk membayar UKT di semester ini. Ada ribuan mahasiswa yang berstatus ekonomi mampu tapi akhirnya terdampak kemerosotan ekonomi akibat pandemi ini sehingga merasa terbeban untuk UKT di semester ini. Dan masih banyak lagi yang terdampak yang menurut penulis tidak akan habis di bahas dalam tulisan ini.

Intinya, keputusan yang telah dibuat oleh kampus baik itu Dirjen Dikti, Kemenristek, Kemendikbud, atau Kemenag, harus benar-benar pro terhadap mahasiswa. Bukan hanya mempertimbangkan dari sisi pendapatan kampus saja. Karena kita ketahui bersama bahwa UKT adalah pendapatan negara bukan pajak. Artinya ini adalah aset bagi negara. Apa iya kampus akan memberikan keringanan 100% sementara ini adalah aset mereka? Apa iya mahasiswa akan benar-benar demonstrasi di tengah sanksi skorsing dan drop out membayangi dan menghantui aksi mereka? 

Semoga masalah ini cepat terselesaikan. Semoga mahasiswa bisa menikmati potongan 100% untuk biaya UKT selama masa pandemi ini. Dan ini akan tetap menjadi doa yang tidak terkabul jika mahasiswa tidak mau untuk demonstrasi menyuarakan aspirasi. (Erw)
Iklan 728x90
×
Fiksi Fillo Baru KLIK