Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan 728x90

Aabidul Aswad

Jumat, 07 Februari 2025 | Februari 07, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-10T23:48:25Z


Cerita Sambung

Al 'Alamul Aswad

Episode 2: Aabidul Aswad

Oleh Erwinsyah Putra

Desa Krishitang selalu dikenal sebagai desa yang tenteram, tenang, dan damai. Namun, sebuah peristiwa mengerikan mengubah segalanya. Semuanya bermula dari suara. Suara yang hanya bisa didengar oleh orang-orang tertentu.

Anjuna, seorang pemuda desa yang dikenal pendiam dan tekun, adalah salah satu dari mereka.

Suara itu datang di tengah malam, berbisik di telinganya seperti desau angin yang mengancam.

Setiap malam, ia terbangun dalam ketakutan, tetapi tak ada siapa pun di sekitar. Hanya kegelapan pekat yang merayap di sudut kamarnya.

Suara itu bukan hanya bisikan biasa. Ia datang dengan nyanyian, sebuah kidung purba yang tidak pernah didengar Anjuna sebelumnya.

"Ngebe tangi... ngebe tangi..." Ia tak tahu artinya, tapi dada Anjuna sesak setiap kali mendengarnya.

Seolah-olah nyanyian itu memanggil sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang lebih tua daripada dirinya sendiri. Suara itu datang semakin sering.

Kadang saat ia berjalan di ladang, kadang saat ia mencuci muka di sungai. Ia merasa diawasi. Diperhatikan oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Semakin hari, tubuh Anjuna semakin kurus. Ia tak bisa tidur, tak bisa makan, dan lingkar hitam di matanya semakin dalam. Hingga suatu malam, ia memutuskan untuk mengikuti suara itu.

Dengan tubuh lemas, ia berjalan keluar rumah, melangkah ke arah hutan tua di pinggiran desa. Hutan yang dipercaya sebagai tempat tinggal roh-roh kuno.

Di dalam kegelapan, di bawah bayang-bayang pohon besar yang menjulang, Anjuna melihat sesuatu yang seharusnya tidak ada. Sebuah sosok. Sosok tinggi berjubah merah tua, berdiri diam di antara pepohonan.

Wajahnya tersembunyi dalam bayangan, tetapi suara itu berasal darinya.

"Ngebe tangi... ngebe tangi..." Anjuna ingin lari, tetapi tubuhnya membeku. Sosok itu mengangkat tangannya, menunjuk sesuatu di tanah.

Anjuna mengikuti arah telunjuknya—dan menemukan sebuah pusara tua, tertutup lumut dan akar yang menjalar.

Batu nisannya retak, tapi ia masih bisa membaca satu nama yang terukir di sana. Nama itu... adalah nama dirinya sendiri. Anjuna menjerit.

Ia mundur, tetapi sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya. Tangan-tangan keluar dari tanah, mencengkeram dengan kuat. Ia merasa tubuhnya ditarik masuk, ke dalam kegelapan yang tak berdasar.

Dan kemudian—semuanya menjadi gelap. Keesokan paginya, Anjuna ditemukan di depan rumahnya, dalam keadaan linglung dan ketakutan.

Ia tak ingat bagaimana ia kembali. Yang ia tahu, ada sesuatu di dalam dirinya yang berubah. Sejak malam itu, Anjuna tak lagi mendengar suara-suara itu.

Tetapi desa mulai mengalami keanehan-keanehan yang tak bisa dijelaskan. Binatang-binatang ternak menghilang tanpa jejak. Tanaman mengering tanpa sebab.

***

Krishitang bukan lagi desa yang damai. Dalam sebulan terakhir, sembilan anak telah menghilang tanpa jejak.

Orang tua mereka menangis, berdoa, dan memohon bantuan. Mereka tidak tahu apakah anak-anak mereka masih hidup atau sudah mati. Tidak ada saksi, tidak ada petunjuk, dan tidak ada jejak. Hanya keheningan yang mengerikan.

Di tengah kepanikan ini, muncullah seseorang yang akan mengubah segalanya. Tetlom.

Tetlom adalah gadis asli desa Krishitang. Berbeda dengan perempuan desa lainnya, ia tak hanya cantik dan ramah, tetapi juga kuat dan cerdas.

Ia menguasai pencak silat, memahami banyak ilmu pengobatan, dan dikenal sebagai pemecah masalah di desa. Jika ada yang butuh bantuan, Tetlom selalu ada.

Ketika anak-anak mulai menghilang, Tetlom tidak tinggal diam. Ia mulai menyelidiki. Ia berbicara dengan setiap keluarga yang kehilangan anak.

Ia menelusuri tempat terakhir di mana mereka terlihat. Dan semakin ia menyelidiki, semakin banyak kejanggalan yang ia temukan.

Setiap anak menghilang dengan cara yang berbeda.

Satu anak hilang di tepi sungai saat mengambil air. Satu lagi menghilang dari kebun, saat bermain dengan teman-temannya.

Ada yang lenyap dari tempat tidur mereka, tanpa ada jejak pintu atau jendela yang terbuka.

Dan yang paling aneh, seorang anak yang hilang sempat berkata kepada ibunya bahwa ia melihat sesuatu di luar jendela sebelum tidur. "Ibu... ada orang berbaju merah di luar. Ia tersenyum kepadaku."

Tetlom merasakan bulu kuduknya meremang.

Ia tahu ini bukan penculikan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih kelam di balik semua ini. Dan ia bersumpah akan menemukannya.

***

Malam di Desa Krishitang kian pekat. Hanya nyala lampu minyak di teras-teras rumah yang memberi sekelebat cahaya remang di antara kegelapan.

Tetlom duduk bersila di lantai papan rumah seorang warga, menghadap orang tua dari anak-anak yang hilang. “Aku ingin tahu semua yang kalian ingat.

Siapa yang terakhir bersama mereka? Ke mana mereka pergi sebelum menghilang?” suaranya tegas, namun tetap hangat.

Pak Hirjop, seorang petani tua, mengusap wajahnya yang penuh garis kehidupan. “Anakku, Randi, bilang dia ingin bermain ke rumah Cokgom sore itu.”

Mata Tetlom menyipit. “Cokgom?” Cokgom adalah seorang guru relawan yang dikenal baik di desa. Ia sering membantu anak-anak belajar membaca dan menulis.

Sosoknya tak pernah tampak jahat, namun satu demi satu cerita mulai mencuat ke permukaan.

“Dulu, Cokgom pernah menampar si Dika karena mencuri mangga di depan rumahnya,” tambah Bu Surti, ibunda Dika, dengan suara bergetar. “Anakku pulang menangis waktu itu. Tapi setelahnya, ia tetap sering main ke sana. Aku pikir mereka sudah berdamai…”

Tetlom mencatat semua dalam pikirannya. Banyak anak yang sering berkumpul di rumah Cokgom, banyak yang dekat dengannya.

Tapi bukan itu yang membuatnya semakin curiga—melainkan fakta bahwa Cokgom tak memiliki alibi atas malam-malam ketika anak-anak mulai menghilang.

Setiap pertanyaan yang ia ajukan ke warga selalu mengarah pada Cokgom.

Malam semakin larut.

Tetlom menatap rumah Cokgom di kejauhan. Gelap. Sunyi. Terlalu sunyi.

***

Keesokan harinya, kabar menggegerkan meledak di tengah desa. Seorang anak yang hilang telah kembali—Tondi.

Tetlom segera berlari ke rumah Tondi, di mana warga telah berkumpul dengan wajah penuh tanda tanya dan kekhawatiran.

Tondi duduk dengan tatapan kosong. Wajahnya tirus, pakaiannya lusuh, dan tubuhnya bergetar seolah masih dicekam ketakutan.

Ia hanya menggenggam tangan ibunya erat, seakan takut lepas dari genggaman itu.

Tetlom berjongkok di hadapannya. “Tondi, kamu aman sekarang. Bisa ceritakan apa yang terjadi?”

Mulanya, bocah itu hanya menggeleng.

Lalu perlahan, suaranya keluar—parau, nyaris berbisik. “Mereka membawaku ke tempat yang gelap… Aku tidak tahu di mana. Aku mendengar suara orang-orang berdoa. Tapi… bukan doa seperti di masjid atau gereja, Kak Tetlom…”

Tetlom menelan ludah. “Aku… aku tidak melihat wajah mereka. Mereka memakai jubah. Warna hitam dan merah. Aku tidak boleh bicara. Kalau aku bicara, mereka akan menghukumku.” Ibunya menangis tertahan di belakangnya.

Tetlom merasakan ketegangan di sekelilingnya. Lalu Tondi berkata sesuatu yang membuat semua orang terhenyak: “Suaranya… mirip suara Pak Cokgom…” Warga mulai berbisik. Saling berpandangan.

Dan sebelum mereka bisa mencerna semuanya, kabar baru datang menerjang seperti badai: Seorang bayi hilang. Anak Pak Ramos.

Kekhawatiran yang tadinya hanya berupa kepingan gelisah kini menjelma menjadi ketakutan nyata.

***

Tetlom memejamkan mata. Menyusun ulang setiap kepingan misteri ini. Anak-anak, jubah hitam merah, suara Cokgom, dan sekarang—bayi.

Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.

Malam itu, di sebuah tempat yang tak tersentuh cahaya bulan, sekelompok orang berdiri dalam lingkaran. Mereka semua mengenakan jubah hitam dan merah. Wajah mereka tersembunyi dalam keremangan.

Di tengah-tengah lingkaran itu, seorang bayi menangis pelan. Seorang pria berjubah hitam dengan hiasan emas pada lehernya—pemimpin mereka—mengangkat tangannya.

“Kita telah menunggu lama,” suaranya bergema. “Janji itu harus ditepati.”

Para pengikutnya diam, menunduk.

Satu suara muncul dari sisi kiri. “Tapi… apakah kita masih harus melakukannya? Keluarga Ramos telah membangkang sejak generasi sebelumnya. Jika janji itu tidak ditepati, apakah kita akan tetap menerima kemurkaan?”

Pemimpin itu tertawa kecil, suara yang lebih mirip gemuruh tanah longsor.

“Kalian meragukan kekuatan perjanjian yang dibuat oleh leluhur kalian sendiri?” Tak ada yang menjawab.

“Tanah ini, keberuntungan yang mereka nikmati, semua berasal dari satu kesepakatan. Sang Pemuka Desa Pertama memberikan janji: satu keturunannya akan diserahkan sebagai persembahan. Tapi mereka menipu! Bertahun-tahun berlalu, tak satu pun anak diberikan. Sekarang, kita membayar hutang itu.”

Hening yang menyelimuti berubah menjadi ketegangan. “Kita butuh sembilan anak. Dan satu bayi… untuk menyempurnakan upacara.”

Para pengikutnya berlutut, merapal mantra dalam bahasa yang tak dikenal.

Bayi itu masih menangis.

Di antara para pengikut yang menunduk, ada satu orang yang menatap lekat ke depan.

Wajahnya tersembunyi di balik bayang-bayang jubah, tapi tangan yang menggenggam erat lututnya bergetar.

***

Hutan Desa Krishitang berdiri bisu di bawah langit malam yang kelam. Angin bertiup pelan, menyusup di antara dedaunan, membawa bisikan samar yang seakan bukan berasal dari dunia ini.

Di tengah kegelapan, Tetlom berdiri di hadapan pohon tua raksasa yang akarnya menjalar seperti tangan iblis mencengkeram tanah.

Cahaya remang-remang dari obor yang dibawa warga menari-nari di kulit kayu yang kasar, memperlihatkan ukiran-ukiran kuno yang mulai terbuka tabirnya.

Malam ini, rahasia yang terkubur selama puluhan tahun akan terungkap.

Tetlom menggenggam keris pusaka yang diberikan oleh Tetua Desa.

Senjatanya bergetar halus, seolah menyadari kehadiran kekuatan jahat yang merayapi udara.

Ia menatap ke depan, ke arah lingkaran ritual yang kini tampak jelas.

Sembilan sosok berjubah hitam berdiri melingkar, kepala mereka tertunduk, berkomat-kamit dalam bahasa yang tak bisa dipahami.

Di tengah lingkaran, bayi Pak Ramos terbaring di atas altar batu, menangis pelan seakan merasakan ancaman yang mengintai.

Tetlom melangkah maju, dan suara berat penuh kekuasaan menggema dari pemimpin ritual yang mengenakan jubah merah tua dengan hiasan tengkorak kecil di kerahnya.

"Kau telah melangkah terlalu jauh, Tetlom."

Tetlom tak gentar. "Aku melangkah sejauh yang diperlukan untuk menghentikan ini."

Seorang dari pengikut sekte itu terkekeh. "Tak ada yang bisa menghentikan takdir yang telah ditetapkan sejak dulu."

Tetlom menajamkan pandangannya. "Takdir? Ini bukan takdir. Ini hanyalah warisan dosa yang dipaksakan oleh ketakutan!"

Ia mengacungkan kerisnya. "Aku takkan membiarkan satu pun nyawa dikorbankan lagi."

Pemimpin ritual itu tersenyum samar, mengangkat tangannya, dan tiba-tiba tanah di sekitar altar berguncang hebat.

Akar-akar pohon menjalar ke atas, seperti ular raksasa yang mencoba meraih Tetlom.

Dengan gesit, Tetlom melompat, memutar tubuhnya, dan menebas akar yang meluncur ke arahnya.

Sekte itu mulai bergerak, mengelilingi Tetlom, menghunus belati yang berkilat dalam gelap.

Pertarungan pun dimulai.

Tetlom adalah pendekar yang terlatih. Dengan kecepatan luar biasa, ia menghindari serangan dan membalas dengan gerakan mematikan.

Satu persatu pengikut sekte jatuh, tak mampu menandingi ketangkasannya.

Namun, sesuatu yang lebih besar tengah menanti.

Di tengah kekacauan, salah satu jubah pengikut sekte tersingkap—membuka wajahnya.

Warga yang melihatnya menahan napas. Mata mereka membelalak dalam keterkejutan yang bercampur kengerian. Pak Ramos.

Tetlom terhenti sejenak. "Kau... kau yang selama ini menciptakan semua kebohongan ini?"

Pak Ramos terdiam. Nafasnya berat, matanya yang penuh keputusasaan menatap Tetlom seakan mencari jalan keluar dari situasi yang kini menghimpitnya.

"Kau bahkan mengorbankan bayimu sendiri?" suara Tetlom penuh kemarahan.

Pak Ramos menunduk. "Aku tidak punya pilihan. Ini adalah janji yang harus ditepati... janji yang kakekku buat puluhan tahun lalu."

Pemimpin ritual itu tertawa lirih. "Kau akhirnya melihat kebenaran, Tetlom. Kakeknya mendapatkan segalanya—kekayaan, pengaruh, kekuatan—dan kini, warisan itu menuntut haknya."

Tetlom mengayunkan kerisnya dengan tegas. "Tapi itu bukan hak! Itu perbudakan kepada kegelapan!"

Pemimpin sekte hanya mendengus, lalu mengangkat tangannya, membentuk simbol yang segera disusul oleh gelombang kekuatan hitam yang menggelegar dari altar.

Tetlom melompat, mengangkat kerisnya tinggi, lalu menghujamkannya ke tanah.

Cahaya putih meledak dari bilahnya, menghancurkan energi hitam itu dalam sekejap.

Altar batu terbelah, bayi Pak Ramos terlempar ke udara, dan sebelum ia jatuh,

Tetlom menangkapnya dalam satu gerakan mulus.

Pemimpin sekte menggeram, langkahnya terhuyung.

Para pengikutnya yang tersisa panik, berlarian ke segala arah, hanya untuk ditangkap oleh warga yang akhirnya menemukan keberanian mereka.

Pak Ramos jatuh berlutut, tubuhnya bergetar. "Aku... aku tak bisa lari dari ini..."

Tetlom menatapnya dingin. "Tidak, tapi kau bisa menebusnya dengan menghadapi hukumanmu."

Warga menyeret Pak Ramos dan delapan pengikut lainnya ke dalam mobil polisi.

Suasana begitu sunyi saat kendaraan itu melaju meninggalkan hutan.

Hanya suara angin yang berdesir di antara pepohonan, seakan hutan pun turut menghela napas lega.

Namun, di dalam mobil, pemimpin ritual itu duduk tenang.

Ia menoleh ke arah Pak Ramos dan para pengikutnya, lalu berbicara dengan suara rendah yang dingin.

"Kalian tahu... hanya mereka yang memiliki garis keturunan iblis yang bisa keluar masuk dua alam dengan bebas."

Semua yang berada di dalam mobil menoleh kepadanya dengan ngeri.

Hening sesaat, lalu pemimpin ritual itu menyeringai, melanjutkan kalimatnya dengan nada yang nyaris berbisik:

"Dan siapa yang melakukan itu tadi...?"

Di kejauhan, Tetlom berdiri di bawah cahaya bulan.

Pandangannya tertuju pada langit malam yang terbuka lebar.

Perasaan aneh mengalir di dalam dirinya.

Ada sesuatu yang belum selesai.

Dan ia tahu... cerita ini belum berakhir.

***

Di malam yang sama, di tempat yang jauh, sosok berjubah merah tua berdiri di depan cermin besar yang retak.

Suaranya lirih, hampir seperti gumaman, namun cukup jelas untuk mengguncang batas antara realitas dan mimpi buruk.

"Wahai Cermin, lihatlah, Akhirnya... garis keturunanku telah bangkit kembali. Ia lebih tangguh dan tak terkalahkan" Cermin itu bergetar, menampilkan bayangan Tetlom dalam siluet kabur.

"Ia belum menyadarinya... tapi waktunya akan tiba."

Lalu, cermin itu pecah, dan malam menelan semua jawabannya.



Iklan 728x90
×
Fiksi Fillo Baru KLIK