Cerita Sambung
Al 'Alamul Aswad
Episode 2: Aabidul Aswad
Oleh Erwinsyah Putra
Desa Krishitang selalu dikenal sebagai desa yang tenteram, tenang, dan damai. Namun, sebuah peristiwa mengerikan mengubah segalanya. Semuanya bermula dari suara. Suara yang hanya bisa didengar oleh orang-orang tertentu.
Anjuna,
seorang pemuda desa yang dikenal pendiam dan tekun, adalah salah satu dari
mereka.
Suara
itu datang di tengah malam, berbisik di telinganya seperti desau angin yang
mengancam.
Setiap
malam, ia terbangun dalam ketakutan, tetapi tak ada siapa pun di sekitar. Hanya
kegelapan pekat yang merayap di sudut kamarnya.
Suara
itu bukan hanya bisikan biasa. Ia datang dengan nyanyian, sebuah kidung purba
yang tidak pernah didengar Anjuna sebelumnya.
"Ngebe
tangi... ngebe tangi..." Ia tak tahu artinya, tapi dada Anjuna sesak
setiap kali mendengarnya.
Seolah-olah
nyanyian itu memanggil sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang lebih tua daripada
dirinya sendiri. Suara itu datang semakin sering.
Kadang
saat ia berjalan di ladang, kadang saat ia mencuci muka di sungai. Ia merasa
diawasi. Diperhatikan oleh sesuatu yang tak kasat mata.
Semakin
hari, tubuh Anjuna semakin kurus. Ia tak bisa tidur, tak bisa makan, dan
lingkar hitam di matanya semakin dalam. Hingga suatu malam, ia memutuskan untuk
mengikuti suara itu.
Dengan
tubuh lemas, ia berjalan keluar rumah, melangkah ke arah hutan tua di pinggiran
desa. Hutan yang dipercaya sebagai tempat tinggal roh-roh kuno.
Di
dalam kegelapan, di bawah bayang-bayang pohon besar yang menjulang, Anjuna
melihat sesuatu yang seharusnya tidak ada. Sebuah sosok. Sosok tinggi berjubah
merah tua, berdiri diam di antara pepohonan.
Wajahnya
tersembunyi dalam bayangan, tetapi suara itu berasal darinya.
"Ngebe
tangi... ngebe tangi..." Anjuna ingin lari, tetapi tubuhnya membeku. Sosok
itu mengangkat tangannya, menunjuk sesuatu di tanah.
Anjuna
mengikuti arah telunjuknya—dan menemukan sebuah pusara tua, tertutup lumut dan
akar yang menjalar.
Batu
nisannya retak, tapi ia masih bisa membaca satu nama yang terukir di sana. Nama
itu... adalah nama dirinya sendiri. Anjuna menjerit.
Ia
mundur, tetapi sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya. Tangan-tangan keluar
dari tanah, mencengkeram dengan kuat. Ia merasa tubuhnya ditarik masuk, ke
dalam kegelapan yang tak berdasar.
Dan
kemudian—semuanya menjadi gelap. Keesokan paginya, Anjuna ditemukan di depan
rumahnya, dalam keadaan linglung dan ketakutan.
Ia tak
ingat bagaimana ia kembali. Yang ia tahu, ada sesuatu di dalam dirinya yang
berubah. Sejak malam itu, Anjuna tak lagi mendengar suara-suara itu.
Tetapi
desa mulai mengalami keanehan-keanehan yang tak bisa dijelaskan.
Binatang-binatang ternak menghilang tanpa jejak. Tanaman mengering tanpa sebab.
***
Krishitang
bukan lagi desa yang damai. Dalam sebulan terakhir, sembilan anak telah
menghilang tanpa jejak.
Orang
tua mereka menangis, berdoa, dan memohon bantuan. Mereka tidak tahu apakah
anak-anak mereka masih hidup atau sudah mati. Tidak ada saksi, tidak ada
petunjuk, dan tidak ada jejak. Hanya keheningan yang mengerikan.
Di
tengah kepanikan ini, muncullah seseorang yang akan mengubah segalanya. Tetlom.
Tetlom
adalah gadis asli desa Krishitang. Berbeda dengan perempuan desa lainnya, ia
tak hanya cantik dan ramah, tetapi juga kuat dan cerdas.
Ia
menguasai pencak silat, memahami banyak ilmu pengobatan, dan dikenal sebagai
pemecah masalah di desa. Jika ada yang butuh bantuan, Tetlom selalu ada.
Ketika
anak-anak mulai menghilang, Tetlom tidak tinggal diam. Ia mulai menyelidiki. Ia
berbicara dengan setiap keluarga yang kehilangan anak.
Ia
menelusuri tempat terakhir di mana mereka terlihat. Dan semakin ia menyelidiki,
semakin banyak kejanggalan yang ia temukan.
Setiap
anak menghilang dengan cara yang berbeda.
Satu
anak hilang di tepi sungai saat mengambil air. Satu lagi menghilang dari kebun,
saat bermain dengan teman-temannya.
Ada
yang lenyap dari tempat tidur mereka, tanpa ada jejak pintu atau jendela yang
terbuka.
Dan
yang paling aneh, seorang anak yang hilang sempat berkata kepada ibunya bahwa
ia melihat sesuatu di luar jendela sebelum tidur. "Ibu... ada orang
berbaju merah di luar. Ia tersenyum kepadaku."
Tetlom
merasakan bulu kuduknya meremang.
Ia
tahu ini bukan penculikan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih kelam di
balik semua ini. Dan ia bersumpah akan menemukannya.
***
Malam
di Desa Krishitang kian pekat. Hanya nyala lampu minyak di teras-teras rumah
yang memberi sekelebat cahaya remang di antara kegelapan.
Tetlom
duduk bersila di lantai papan rumah seorang warga, menghadap orang tua dari
anak-anak yang hilang. “Aku ingin tahu semua yang kalian ingat.
Siapa
yang terakhir bersama mereka? Ke mana mereka pergi sebelum menghilang?”
suaranya tegas, namun tetap hangat.
Pak Hirjop,
seorang petani tua, mengusap wajahnya yang penuh garis kehidupan. “Anakku,
Randi, bilang dia ingin bermain ke rumah Cokgom sore itu.”
Mata
Tetlom menyipit. “Cokgom?” Cokgom adalah seorang guru relawan yang dikenal baik
di desa. Ia sering membantu anak-anak belajar membaca dan menulis.
Sosoknya
tak pernah tampak jahat, namun satu demi satu cerita mulai mencuat ke
permukaan.
“Dulu,
Cokgom pernah menampar si Dika karena mencuri mangga di depan rumahnya,” tambah
Bu Surti, ibunda Dika, dengan suara bergetar. “Anakku pulang menangis waktu
itu. Tapi setelahnya, ia tetap sering main ke sana. Aku pikir mereka sudah
berdamai…”
Tetlom
mencatat semua dalam pikirannya. Banyak anak yang sering berkumpul di rumah
Cokgom, banyak yang dekat dengannya.
Tapi
bukan itu yang membuatnya semakin curiga—melainkan fakta bahwa Cokgom tak
memiliki alibi atas malam-malam ketika anak-anak mulai menghilang.
Setiap
pertanyaan yang ia ajukan ke warga selalu mengarah pada Cokgom.
Malam
semakin larut.
Tetlom
menatap rumah Cokgom di kejauhan. Gelap. Sunyi. Terlalu sunyi.
***
Keesokan
harinya, kabar menggegerkan meledak di tengah desa. Seorang anak yang hilang
telah kembali—Tondi.
Tetlom
segera berlari ke rumah Tondi, di mana warga telah berkumpul dengan wajah penuh
tanda tanya dan kekhawatiran.
Tondi
duduk dengan tatapan kosong. Wajahnya tirus, pakaiannya lusuh, dan tubuhnya
bergetar seolah masih dicekam ketakutan.
Ia hanya
menggenggam tangan ibunya erat, seakan takut lepas dari genggaman itu.
Tetlom
berjongkok di hadapannya. “Tondi, kamu aman sekarang. Bisa ceritakan apa yang
terjadi?”
Mulanya,
bocah itu hanya menggeleng.
Lalu
perlahan, suaranya keluar—parau, nyaris berbisik. “Mereka membawaku ke tempat
yang gelap… Aku tidak tahu di mana. Aku mendengar suara orang-orang berdoa.
Tapi… bukan doa seperti di masjid atau gereja, Kak Tetlom…”
Tetlom
menelan ludah. “Aku… aku tidak melihat wajah mereka. Mereka memakai jubah.
Warna hitam dan merah. Aku tidak boleh bicara. Kalau aku bicara, mereka akan
menghukumku.” Ibunya menangis tertahan di belakangnya.
Tetlom
merasakan ketegangan di sekelilingnya. Lalu Tondi berkata sesuatu yang membuat
semua orang terhenyak: “Suaranya… mirip suara Pak Cokgom…” Warga mulai
berbisik. Saling berpandangan.
Dan
sebelum mereka bisa mencerna semuanya, kabar baru datang menerjang seperti
badai: Seorang bayi hilang. Anak Pak Ramos.
Kekhawatiran
yang tadinya hanya berupa kepingan gelisah kini menjelma menjadi ketakutan
nyata.
***
Tetlom
memejamkan mata. Menyusun ulang setiap kepingan misteri ini. Anak-anak, jubah
hitam merah, suara Cokgom, dan sekarang—bayi.
Ada
sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.
Malam
itu, di sebuah tempat yang tak tersentuh cahaya bulan, sekelompok orang berdiri
dalam lingkaran. Mereka semua mengenakan jubah hitam dan merah. Wajah mereka
tersembunyi dalam keremangan.
Di
tengah-tengah lingkaran itu, seorang bayi menangis pelan. Seorang pria berjubah
hitam dengan hiasan emas pada lehernya—pemimpin mereka—mengangkat tangannya.
“Kita
telah menunggu lama,” suaranya bergema. “Janji itu harus ditepati.”
Para
pengikutnya diam, menunduk.
Satu
suara muncul dari sisi kiri. “Tapi… apakah kita masih harus melakukannya?
Keluarga Ramos telah membangkang sejak generasi sebelumnya. Jika janji itu
tidak ditepati, apakah kita akan tetap menerima kemurkaan?”
Pemimpin
itu tertawa kecil, suara yang lebih mirip gemuruh tanah longsor.
“Kalian
meragukan kekuatan perjanjian yang dibuat oleh leluhur kalian sendiri?” Tak ada
yang menjawab.
“Tanah
ini, keberuntungan yang mereka nikmati, semua berasal dari satu kesepakatan.
Sang Pemuka Desa Pertama memberikan janji: satu keturunannya akan diserahkan
sebagai persembahan. Tapi mereka menipu! Bertahun-tahun berlalu, tak satu pun
anak diberikan. Sekarang, kita membayar hutang itu.”
Hening
yang menyelimuti berubah menjadi ketegangan. “Kita butuh sembilan anak. Dan
satu bayi… untuk menyempurnakan upacara.”
Para
pengikutnya berlutut, merapal mantra dalam bahasa yang tak dikenal.
Bayi
itu masih menangis.
Di
antara para pengikut yang menunduk, ada satu orang yang menatap lekat ke depan.
Wajahnya
tersembunyi di balik bayang-bayang jubah, tapi tangan yang menggenggam erat
lututnya bergetar.
***
Hutan
Desa Krishitang berdiri bisu di bawah langit malam yang kelam. Angin bertiup
pelan, menyusup di antara dedaunan, membawa bisikan samar yang seakan bukan
berasal dari dunia ini.
Di
tengah kegelapan, Tetlom berdiri di hadapan pohon tua raksasa yang akarnya
menjalar seperti tangan iblis mencengkeram tanah.
Cahaya
remang-remang dari obor yang dibawa warga menari-nari di kulit kayu yang kasar,
memperlihatkan ukiran-ukiran kuno yang mulai terbuka tabirnya.
Malam
ini, rahasia yang terkubur selama puluhan tahun akan terungkap.
Tetlom
menggenggam keris pusaka yang diberikan oleh Tetua Desa.
Senjatanya
bergetar halus, seolah menyadari kehadiran kekuatan jahat yang merayapi udara.
Ia
menatap ke depan, ke arah lingkaran ritual yang kini tampak jelas.
Sembilan
sosok berjubah hitam berdiri melingkar, kepala mereka tertunduk, berkomat-kamit
dalam bahasa yang tak bisa dipahami.
Di
tengah lingkaran, bayi Pak Ramos terbaring di atas altar batu, menangis pelan
seakan merasakan ancaman yang mengintai.
Tetlom
melangkah maju, dan suara berat penuh kekuasaan menggema dari pemimpin ritual
yang mengenakan jubah merah tua dengan hiasan tengkorak kecil di kerahnya.
"Kau
telah melangkah terlalu jauh, Tetlom."
Tetlom
tak gentar. "Aku melangkah sejauh yang diperlukan untuk menghentikan
ini."
Seorang
dari pengikut sekte itu terkekeh. "Tak ada yang bisa menghentikan takdir
yang telah ditetapkan sejak dulu."
Tetlom
menajamkan pandangannya. "Takdir? Ini bukan takdir. Ini hanyalah warisan
dosa yang dipaksakan oleh ketakutan!"
Ia
mengacungkan kerisnya. "Aku takkan membiarkan satu pun nyawa dikorbankan
lagi."
Pemimpin
ritual itu tersenyum samar, mengangkat tangannya, dan tiba-tiba tanah di sekitar
altar berguncang hebat.
Akar-akar
pohon menjalar ke atas, seperti ular raksasa yang mencoba meraih Tetlom.
Dengan
gesit, Tetlom melompat, memutar tubuhnya, dan menebas akar yang meluncur ke
arahnya.
Sekte
itu mulai bergerak, mengelilingi Tetlom, menghunus belati yang berkilat dalam
gelap.
Pertarungan
pun dimulai.
Tetlom
adalah pendekar yang terlatih. Dengan kecepatan luar biasa, ia menghindari
serangan dan membalas dengan gerakan mematikan.
Satu
persatu pengikut sekte jatuh, tak mampu menandingi ketangkasannya.
Namun,
sesuatu yang lebih besar tengah menanti.
Di
tengah kekacauan, salah satu jubah pengikut sekte tersingkap—membuka wajahnya.
Warga
yang melihatnya menahan napas. Mata mereka membelalak dalam keterkejutan yang
bercampur kengerian. Pak Ramos.
Tetlom
terhenti sejenak. "Kau... kau yang selama ini menciptakan semua kebohongan
ini?"
Pak
Ramos terdiam. Nafasnya berat, matanya yang penuh keputusasaan menatap Tetlom
seakan mencari jalan keluar dari situasi yang kini menghimpitnya.
"Kau
bahkan mengorbankan bayimu sendiri?" suara Tetlom penuh kemarahan.
Pak
Ramos menunduk. "Aku tidak punya pilihan. Ini adalah janji yang harus
ditepati... janji yang kakekku buat puluhan tahun lalu."
Pemimpin
ritual itu tertawa lirih. "Kau akhirnya melihat kebenaran, Tetlom.
Kakeknya mendapatkan segalanya—kekayaan, pengaruh, kekuatan—dan kini, warisan
itu menuntut haknya."
Tetlom
mengayunkan kerisnya dengan tegas. "Tapi itu bukan hak! Itu perbudakan
kepada kegelapan!"
Pemimpin
sekte hanya mendengus, lalu mengangkat tangannya, membentuk simbol yang segera
disusul oleh gelombang kekuatan hitam yang menggelegar dari altar.
Tetlom
melompat, mengangkat kerisnya tinggi, lalu menghujamkannya ke tanah.
Cahaya
putih meledak dari bilahnya, menghancurkan energi hitam itu dalam sekejap.
Altar
batu terbelah, bayi Pak Ramos terlempar ke udara, dan sebelum ia jatuh,
Tetlom
menangkapnya dalam satu gerakan mulus.
Pemimpin
sekte menggeram, langkahnya terhuyung.
Para
pengikutnya yang tersisa panik, berlarian ke segala arah, hanya untuk ditangkap
oleh warga yang akhirnya menemukan keberanian mereka.
Pak
Ramos jatuh berlutut, tubuhnya bergetar. "Aku... aku tak bisa lari dari
ini..."
Tetlom
menatapnya dingin. "Tidak, tapi kau bisa menebusnya dengan menghadapi
hukumanmu."
Warga
menyeret Pak Ramos dan delapan pengikut lainnya ke dalam mobil polisi.
Suasana
begitu sunyi saat kendaraan itu melaju meninggalkan hutan.
Hanya
suara angin yang berdesir di antara pepohonan, seakan hutan pun turut menghela
napas lega.
Namun,
di dalam mobil, pemimpin ritual itu duduk tenang.
Ia
menoleh ke arah Pak Ramos dan para pengikutnya, lalu berbicara dengan suara
rendah yang dingin.
"Kalian
tahu... hanya mereka yang memiliki garis keturunan iblis yang bisa keluar masuk
dua alam dengan bebas."
Semua
yang berada di dalam mobil menoleh kepadanya dengan ngeri.
Hening
sesaat, lalu pemimpin ritual itu menyeringai, melanjutkan kalimatnya dengan
nada yang nyaris berbisik:
"Dan
siapa yang melakukan itu tadi...?"
Di
kejauhan, Tetlom berdiri di bawah cahaya bulan.
Pandangannya
tertuju pada langit malam yang terbuka lebar.
Perasaan
aneh mengalir di dalam dirinya.
Ada
sesuatu yang belum selesai.
Dan ia
tahu... cerita ini belum berakhir.
***
Di
malam yang sama, di tempat yang jauh, sosok berjubah merah tua berdiri di depan
cermin besar yang retak.
Suaranya
lirih, hampir seperti gumaman, namun cukup jelas untuk mengguncang batas antara
realitas dan mimpi buruk.
"Wahai
Cermin, lihatlah, Akhirnya... garis keturunanku telah bangkit kembali. Ia lebih
tangguh dan tak terkalahkan" Cermin itu bergetar, menampilkan bayangan
Tetlom dalam siluet kabur.
"Ia
belum menyadarinya... tapi waktunya akan tiba."
Lalu, cermin itu pecah, dan malam menelan semua jawabannya.