Cerita Sambung
Perempuan Berkerudung Merah
Episode 3: Bayang Bayang Selasih
oleh Erwinsyah Putra
Bayang-Bayang Selasih
Aldi meletakkan ponselnya di atas meja, tetapi
pikirannya terus dipenuhi oleh kata-kata Rizki. Kau harus berhenti mencari dia. Itu saran terbaikku. Apa
maksudnya? Kenapa Rizki terdengar begitu serius, seolah-olah ada sesuatu yang
harus ia jauhi?
Rasanya sudah terlalu jauh bagi Aldi untuk
mundur sekarang. Setiap kali ia mencoba melupakan Selasih, justru semakin
banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya. Selasih selalu menghindari
pertemuan langsung. Setiap ajakan bertemu berakhir dengan alasan-alasan samar.
Kadang-kadang ia membalas pesan dengan cepat, kadang butuh waktu berjam-jam.
Ada sesuatu yang janggal, sesuatu yang tidak sejalan dengan kehangatan yang
dulu ia rasakan dari Selasih.
Malam itu, ia membuka kembali profil Instagram
Selasih. Jarinya menelusuri foto-foto lama, mencari petunjuk. Lalu, matanya
menangkap sebuah gambar: senja di tepi danau dengan keterangan sederhana: Tenang bukan berarti tanpa gelombang. Aldi
mengenali tempat itu—sebuah danau kecil di pinggiran kota, tempat orang-orang
sering menghabiskan waktu di sore hari. Mungkin, hanya mungkin, Selasih pernah
benar-benar berada di sana.
Keesokan harinya, ia mengendarai motornya
menuju danau itu. Matahari mulai turun di ufuk barat, mewarnai langit dengan
jingga keemasan. Angin sore menerpa wajahnya saat ia melangkah ke dermaga kayu
yang mengarah ke tengah danau. Tempat itu sepi, hanya ada beberapa orang yang
duduk menikmati senja. Ia menyandarkan kedua tangannya ke pagar kayu, menatap
permukaan air yang berkilauan.
Saat Aldi hendak berbalik pergi, sudut matanya
menangkap seseorang duduk sendirian di bawah pohon besar. Seorang wanita dengan
gamis berwarna lembut dan kerudung senada. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia
mengenali sosok itu.
Selasih.
Ia melangkah mendekat, tapi semakin dekat ia
berjalan, semakin hatinya dipenuhi keraguan. Jika ini benar-benar dia, kenapa
selama ini menghindar? Aldi ingin bertanya, ingin mendapat jawaban atas segala
pertanyaannya.
Ketika ia sudah hampir sampai, wanita itu
menoleh. Mata mereka bertemu. Aldi terdiam. Ada kehangatan dalam tatapan itu,
tapi juga sesuatu yang lain—seperti kesedihan yang tersembunyi di balik
senyumnya.
"Aldi?" suaranya pelan, hampir
terbawa angin.
Aldi menelan ludah. "Kamu... benar-benar
Selasih?"
Wanita itu tersenyum tipis, lalu mengangguk.
"Aku Selasih."
Untuk sesaat, Aldi merasa lega. Tapi kelegaan
itu tidak berlangsung lama. Ada sesuatu yang berbeda. Ia merasa seperti sedang
berdiri di tepi sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum bisa ia pahami
sepenuhnya.
"Kenapa kamu selalu menghindari
bertemu?" tanyanya akhirnya.
Selasih menunduk, memainkan ujung kerudungnya
dengan jemarinya. "Karena aku takut."
"Takut apa?"
Selasih mengangkat wajahnya, matanya berbinar
oleh cahaya senja yang mulai meredup. "Takut kamu kecewa saat tahu
kebenaran tentang aku."
Aldi mengernyit. "Apa maksudmu?"
Selasih terdiam beberapa saat, seakan sedang
mencari cara untuk menjelaskan sesuatu yang sulit. Lalu, dengan suara lirih, ia
berkata, "Aldi, aku bukan orang yang kamu pikirkan selama ini."
Angin sore bertiup lebih
kencang, membawa sebuah ketidakpastian yang menggantung di udara. Dan untuk pertama kalinya, Aldi merasa bahwa Selasih bukan hanya
seseorang dari masa lalu—tapi ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, dan
lebih misterius di balik dirinya.
***
"Aldi, aku bukan orang yang
kamu pikirkan selama ini."
Kata-kata Selasih menggantung di udara, menggema
di benak Aldi. Angin sore bertiup lebih dingin dari sebelumnya, membawa serta
ketidakpastian yang semakin menyesakkan dadanya. Aldi menatap wajah Selasih,
mencari jawaban di matanya yang dalam dan redup.
"Apa maksudmu?" suaranya lebih pelan
dari yang ia inginkan.
Selasih menarik napas panjang sebelum akhirnya
menatap Aldi dengan ekspresi yang sulit diartikan—campuran antara keraguan,
penyesalan, dan ketakutan. "Aku ingin kau mengenal aku, Aldi. Tapi bukan
seperti ini."
"Seperti apa, Selasih?" Aldi melangkah
lebih dekat, tak ingin membiarkan misteri ini menggantung lebih lama. "Kau
selalu menghindar, selalu menjauh. Aku mencoba memahami, tapi aku butuh
jawaban. Jika kau memang Selasih yang kukenal, kenapa terasa seperti ada
dinding tak kasatmata di antara kita?"
Selasih menunduk. Jemarinya meremas kain
gamisnya, seolah sedang berjuang dengan sesuatu yang begitu berat untuk
diucapkan. Beberapa detik berlalu, sebelum ia akhirnya berkata dengan suara
hampir berbisik, "Karena aku... bukan Selasih yang kau ingat."
Aldi mengerutkan kening. "Apa
maksudmu?"
"Ada banyak hal yang tak kau tahu tentang
aku. Apa yang terjadi setelah kita berpisah dulu, bagaimana aku menjalani
hidupku, apa yang telah aku lakukan..." suaranya bergetar. "Dan
mungkin... jika kau tahu semuanya, kau tidak akan melihatku dengan cara yang
sama lagi."
Detak jantung Aldi semakin cepat. Ia bisa
merasakan ketegangan yang semakin menyesakkan. "Aku tidak peduli tentang
masa lalumu, Selasih. Aku hanya ingin tahu kebenarannya."
Selasih mengangkat kepalanya, menatap Aldi
dengan mata yang penuh luka. "Kebenaran bisa lebih berat daripada yang kau
sangka."
Aldi menghela napas dalam, lalu dengan lembut
berkata, "Kalau begitu, biarkan aku yang menanggungnya bersamamu."
Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu
kembali, Selasih tersenyum. Tapi senyumnya pahit, seakan menandakan bahwa janji
itu bukan sesuatu yang bisa ditepati dengan mudah.
Matahari semakin
tenggelam, menyisakan cahaya temaram di langit. Dan Aldi
tahu, apa pun yang akan ia dengar setelah ini, hidupnya mungkin tidak akan
pernah sama lagi.
***
Malam itu, Aldi duduk di kamarnya dengan ponsel masih tergenggam erat di
tangannya. Percakapan terakhirnya dengan Selasih terus berulang di kepalanya,
seperti rekaman yang tak mau berhenti diputar. Ada sesuatu yang ia
rasakan—sebuah firasat yang begitu kuat, seakan-akan kebenaran yang akan ia
temui nanti tidak hanya mengubah perasaannya terhadap Selasih, tapi juga akan
mengguncang cara pandangnya terhadap masa lalunya sendiri.
Ia membuka Instagram dan menatap akun @Selasih_
yang sudah begitu akrab di matanya. Jarinya melayang di atas layar, ragu untuk
mengirim pesan lagi. Ia tidak ingin menekan Selasih, tapi hatinya dipenuhi
tanya. Siapa sebenarnya dia? Apa yang
disembunyikannya?
Sebuah pesan masuk.
Selasih_: "Aldi, aku ingin kamu tahu sesuatu.
Tapi aku takut."
AbdiNusa99: "Aku di sini. Kau bisa berbicara
denganku."
Pesan berikutnya masuk lebih lambat, seakan-akan
Selasih sedang berjuang dengan dirinya sendiri sebelum menulis.
Selasih_: "Aku pernah mengenalmu, jauh sebelum
pertemuan kita di coffee shop itu. Aku tahu tentang masa lalumu. Tentang
Sukma."
Aldi tercekat. Jantungnya berdetak lebih
cepat.
AbdiNusa99: "Bagaimana bisa? Apa
maksudmu?"
Tiga titik indikator mengetik muncul,
menghilang, muncul lagi. Aldi menunggu dengan napas tertahan.
Selasih_: "Karena aku adalah bagian dari cerita
itu. Dan karena... aku bukan hanya Selasih."
Darah Aldi berdesir. Ada sesuatu dalam
kata-kata itu yang membuat tengkuknya meremang. Ia menatap layar ponselnya,
mencoba memahami maksudnya.
AbdiNusa99: "Siapa kau sebenarnya, Selasih?"
Tidak ada balasan. Waktu berlalu, menit demi
menit, namun pesan itu tetap dibiarkan menggantung.
Keesokan harinya, ketika Aldi terbangun dengan
mata yang masih berat, ia langsung mengecek ponselnya. Tidak ada pesan baru
dari Selasih. Perasaan gelisah mengusik hatinya, semakin tajam dengan
bayang-bayang kata-kata terakhir Selasih.
Siang harinya, ia memutuskan untuk mencari
jawaban sendiri. Ia kembali ke Instagram, kali ini bukan untuk mengirim pesan,
tetapi untuk menelusuri jejak yang mungkin telah diabaikannya. Ia mencari
foto-foto lama di akun Selasih, mencari sesuatu yang bisa menjadi petunjuk.
Lalu ia menemukannya.
Sebuah unggahan tiga tahun lalu. Foto seorang
gadis berdiri di depan sebuah sekolah yang tidak asing—sekolahnya dulu. Gadis
itu berdiri membelakangi kamera, tetapi di kolom komentar ada seseorang yang
menandainya.
@Sukma.Arz
Jari-jari Aldi gemetar saat mengetik nama akun
itu di pencarian. Saat halaman terbuka, ia menahan napas.
Foto profil itu... wajah itu... bukan hanya
mirip. Itu benar-benar Sukma.
Satu kenyataan menghantamnya seperti gelombang
besar. Selasih
adalah Sukma.
Namun jika benar begitu, kenapa ia
menyembunyikan identitasnya? Apa yang begitu buruk hingga membuatnya takut
untuk mengakuinya?
Aldi kembali ke percakapan mereka di
Instagram, menatap pesan terakhir dari Selasih—atau lebih tepatnya, Sukma.
"Aku
bukan hanya Selasih."
Untuk pertama kalinya, Aldi merasa ia telah
melangkah ke dalam sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kisah cinta masa
lalu.
Dan ia belum tahu apakah
ia siap untuk kebenaran yang akan ia temukan.