Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Bayang Bayang Selasih

Kamis, 13 Februari 2025 | Februari 13, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-28T14:45:25Z

 


Cerita Sambung

Perempuan Berkerudung Merah

Episode 3: Bayang Bayang Selasih

oleh Erwinsyah Putra


Bayang-Bayang Selasih

Aldi meletakkan ponselnya di atas meja, tetapi pikirannya terus dipenuhi oleh kata-kata Rizki. Kau harus berhenti mencari dia. Itu saran terbaikku. Apa maksudnya? Kenapa Rizki terdengar begitu serius, seolah-olah ada sesuatu yang harus ia jauhi?

Rasanya sudah terlalu jauh bagi Aldi untuk mundur sekarang. Setiap kali ia mencoba melupakan Selasih, justru semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya. Selasih selalu menghindari pertemuan langsung. Setiap ajakan bertemu berakhir dengan alasan-alasan samar. Kadang-kadang ia membalas pesan dengan cepat, kadang butuh waktu berjam-jam. Ada sesuatu yang janggal, sesuatu yang tidak sejalan dengan kehangatan yang dulu ia rasakan dari Selasih.

Malam itu, ia membuka kembali profil Instagram Selasih. Jarinya menelusuri foto-foto lama, mencari petunjuk. Lalu, matanya menangkap sebuah gambar: senja di tepi danau dengan keterangan sederhana: Tenang bukan berarti tanpa gelombang. Aldi mengenali tempat itu—sebuah danau kecil di pinggiran kota, tempat orang-orang sering menghabiskan waktu di sore hari. Mungkin, hanya mungkin, Selasih pernah benar-benar berada di sana.

Keesokan harinya, ia mengendarai motornya menuju danau itu. Matahari mulai turun di ufuk barat, mewarnai langit dengan jingga keemasan. Angin sore menerpa wajahnya saat ia melangkah ke dermaga kayu yang mengarah ke tengah danau. Tempat itu sepi, hanya ada beberapa orang yang duduk menikmati senja. Ia menyandarkan kedua tangannya ke pagar kayu, menatap permukaan air yang berkilauan.

Saat Aldi hendak berbalik pergi, sudut matanya menangkap seseorang duduk sendirian di bawah pohon besar. Seorang wanita dengan gamis berwarna lembut dan kerudung senada. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mengenali sosok itu.

Selasih.

Ia melangkah mendekat, tapi semakin dekat ia berjalan, semakin hatinya dipenuhi keraguan. Jika ini benar-benar dia, kenapa selama ini menghindar? Aldi ingin bertanya, ingin mendapat jawaban atas segala pertanyaannya.

Ketika ia sudah hampir sampai, wanita itu menoleh. Mata mereka bertemu. Aldi terdiam. Ada kehangatan dalam tatapan itu, tapi juga sesuatu yang lain—seperti kesedihan yang tersembunyi di balik senyumnya.

"Aldi?" suaranya pelan, hampir terbawa angin.

Aldi menelan ludah. "Kamu... benar-benar Selasih?"

Wanita itu tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Aku Selasih."

Untuk sesaat, Aldi merasa lega. Tapi kelegaan itu tidak berlangsung lama. Ada sesuatu yang berbeda. Ia merasa seperti sedang berdiri di tepi sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.

"Kenapa kamu selalu menghindari bertemu?" tanyanya akhirnya.

Selasih menunduk, memainkan ujung kerudungnya dengan jemarinya. "Karena aku takut."

"Takut apa?"

Selasih mengangkat wajahnya, matanya berbinar oleh cahaya senja yang mulai meredup. "Takut kamu kecewa saat tahu kebenaran tentang aku."

Aldi mengernyit. "Apa maksudmu?"

Selasih terdiam beberapa saat, seakan sedang mencari cara untuk menjelaskan sesuatu yang sulit. Lalu, dengan suara lirih, ia berkata, "Aldi, aku bukan orang yang kamu pikirkan selama ini."

Angin sore bertiup lebih kencang, membawa sebuah ketidakpastian yang menggantung di udara. Dan untuk pertama kalinya, Aldi merasa bahwa Selasih bukan hanya seseorang dari masa lalu—tapi ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, dan lebih misterius di balik dirinya.

***

"Aldi, aku bukan orang yang kamu pikirkan selama ini."

Kata-kata Selasih menggantung di udara, menggema di benak Aldi. Angin sore bertiup lebih dingin dari sebelumnya, membawa serta ketidakpastian yang semakin menyesakkan dadanya. Aldi menatap wajah Selasih, mencari jawaban di matanya yang dalam dan redup.

"Apa maksudmu?" suaranya lebih pelan dari yang ia inginkan.

Selasih menarik napas panjang sebelum akhirnya menatap Aldi dengan ekspresi yang sulit diartikan—campuran antara keraguan, penyesalan, dan ketakutan. "Aku ingin kau mengenal aku, Aldi. Tapi bukan seperti ini."

"Seperti apa, Selasih?" Aldi melangkah lebih dekat, tak ingin membiarkan misteri ini menggantung lebih lama. "Kau selalu menghindar, selalu menjauh. Aku mencoba memahami, tapi aku butuh jawaban. Jika kau memang Selasih yang kukenal, kenapa terasa seperti ada dinding tak kasatmata di antara kita?"

Selasih menunduk. Jemarinya meremas kain gamisnya, seolah sedang berjuang dengan sesuatu yang begitu berat untuk diucapkan. Beberapa detik berlalu, sebelum ia akhirnya berkata dengan suara hampir berbisik, "Karena aku... bukan Selasih yang kau ingat."

Aldi mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

"Ada banyak hal yang tak kau tahu tentang aku. Apa yang terjadi setelah kita berpisah dulu, bagaimana aku menjalani hidupku, apa yang telah aku lakukan..." suaranya bergetar. "Dan mungkin... jika kau tahu semuanya, kau tidak akan melihatku dengan cara yang sama lagi."

Promo Diskon 50%

Promo Diskon 50%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

Detak jantung Aldi semakin cepat. Ia bisa merasakan ketegangan yang semakin menyesakkan. "Aku tidak peduli tentang masa lalumu, Selasih. Aku hanya ingin tahu kebenarannya."

Selasih mengangkat kepalanya, menatap Aldi dengan mata yang penuh luka. "Kebenaran bisa lebih berat daripada yang kau sangka."

Aldi menghela napas dalam, lalu dengan lembut berkata, "Kalau begitu, biarkan aku yang menanggungnya bersamamu."

Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu kembali, Selasih tersenyum. Tapi senyumnya pahit, seakan menandakan bahwa janji itu bukan sesuatu yang bisa ditepati dengan mudah.

Matahari semakin tenggelam, menyisakan cahaya temaram di langit. Dan Aldi tahu, apa pun yang akan ia dengar setelah ini, hidupnya mungkin tidak akan pernah sama lagi.

***

Malam itu, Aldi duduk di kamarnya dengan ponsel masih tergenggam erat di tangannya. Percakapan terakhirnya dengan Selasih terus berulang di kepalanya, seperti rekaman yang tak mau berhenti diputar. Ada sesuatu yang ia rasakan—sebuah firasat yang begitu kuat, seakan-akan kebenaran yang akan ia temui nanti tidak hanya mengubah perasaannya terhadap Selasih, tapi juga akan mengguncang cara pandangnya terhadap masa lalunya sendiri.

Ia membuka Instagram dan menatap akun @Selasih_ yang sudah begitu akrab di matanya. Jarinya melayang di atas layar, ragu untuk mengirim pesan lagi. Ia tidak ingin menekan Selasih, tapi hatinya dipenuhi tanya. Siapa sebenarnya dia? Apa yang disembunyikannya?

Sebuah pesan masuk.

Selasih_: "Aldi, aku ingin kamu tahu sesuatu. Tapi aku takut."

AbdiNusa99: "Aku di sini. Kau bisa berbicara denganku."

Pesan berikutnya masuk lebih lambat, seakan-akan Selasih sedang berjuang dengan dirinya sendiri sebelum menulis.

Selasih_: "Aku pernah mengenalmu, jauh sebelum pertemuan kita di coffee shop itu. Aku tahu tentang masa lalumu. Tentang Sukma."

Aldi tercekat. Jantungnya berdetak lebih cepat.

AbdiNusa99: "Bagaimana bisa? Apa maksudmu?"

Tiga titik indikator mengetik muncul, menghilang, muncul lagi. Aldi menunggu dengan napas tertahan.

Selasih_: "Karena aku adalah bagian dari cerita itu. Dan karena... aku bukan hanya Selasih."

Darah Aldi berdesir. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang membuat tengkuknya meremang. Ia menatap layar ponselnya, mencoba memahami maksudnya.

AbdiNusa99: "Siapa kau sebenarnya, Selasih?"

Tidak ada balasan. Waktu berlalu, menit demi menit, namun pesan itu tetap dibiarkan menggantung.

Keesokan harinya, ketika Aldi terbangun dengan mata yang masih berat, ia langsung mengecek ponselnya. Tidak ada pesan baru dari Selasih. Perasaan gelisah mengusik hatinya, semakin tajam dengan bayang-bayang kata-kata terakhir Selasih.

Siang harinya, ia memutuskan untuk mencari jawaban sendiri. Ia kembali ke Instagram, kali ini bukan untuk mengirim pesan, tetapi untuk menelusuri jejak yang mungkin telah diabaikannya. Ia mencari foto-foto lama di akun Selasih, mencari sesuatu yang bisa menjadi petunjuk.

Lalu ia menemukannya.

Sebuah unggahan tiga tahun lalu. Foto seorang gadis berdiri di depan sebuah sekolah yang tidak asing—sekolahnya dulu. Gadis itu berdiri membelakangi kamera, tetapi di kolom komentar ada seseorang yang menandainya.

@Sukma.Arz

Jari-jari Aldi gemetar saat mengetik nama akun itu di pencarian. Saat halaman terbuka, ia menahan napas.

Foto profil itu... wajah itu... bukan hanya mirip. Itu benar-benar Sukma.

Satu kenyataan menghantamnya seperti gelombang besar. Selasih adalah Sukma.

Promo Diskon 50%

Promo Diskon 50%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

Namun jika benar begitu, kenapa ia menyembunyikan identitasnya? Apa yang begitu buruk hingga membuatnya takut untuk mengakuinya?

Aldi kembali ke percakapan mereka di Instagram, menatap pesan terakhir dari Selasih—atau lebih tepatnya, Sukma.

"Aku bukan hanya Selasih."

Untuk pertama kalinya, Aldi merasa ia telah melangkah ke dalam sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kisah cinta masa lalu.

Dan ia belum tahu apakah ia siap untuk kebenaran yang akan ia temukan.

 

×
Fiksi Fillo Baru KLIK