Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan 728x90

Bayangan di Bawah Langit Biru

Selasa, 11 Februari 2025 | Februari 11, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-10T21:31:57Z


Cerita Sambung

Prithvi Hamare Hai

Episode 1: Bayangan di Bawah Langit Biru

oleh Erwinsyah Putra

Megara, ibu kota dunia, berdiri megah di bawah langit biru yang membentang seperti kanvas tanpa cela. Cahaya matahari buatan memancar dari orbit stasiun tenaga surya, menyinari kota yang tak pernah tidur. Gedung-gedung berbentuk prisma kristal menjulang, dikelilingi oleh taman vertikal dan jembatan udara yang menghubungkan distrik-distrik di ketinggian. Jalanan sibuk dengan kendaraan antigravitasi yang melayang hening, dan orang-orang melintas di trotoar holografik, sepatu mereka nyaris tak menyentuh tanah. 

Namun di balik segala kecanggihan ini, aturan-aturan lama masih hidup, tertanam seperti akar pohon tua yang enggan lepas dari tanah. Kecemerlangan kota hanyalah fasad, menutupi dunia yang diatur oleh aturan yang membelenggu sebagian besar penduduknya—khususnya kaum perempuan. 

Di pusat kota, Istana Parlemen Megara berdiri dengan megah, simbol kekuasaan yang tak tergoyahkan selama berabad-abad. Pilar-pilar biru terang menopang atap besar yang memantulkan cahaya seperti kristal safir, sementara di dalamnya suara lantang Sir Jack Obserra, Sekretaris Jenderal Bumi, menggema di aula besar. 

"Kita berada di era emas peradaban manusia," katanya dengan tangan terangkat tinggi. "Namun fondasi stabilitas ini dibangun dari aturan yang harus kita jaga. Setiap perubahan yang tergesa-gesa akan mengguncang keseimbangan yang telah kita perjuangkan." 

Di barisan depan, para anggota dewan—semuanya pria—mengangguk setuju, mengenakan jubah biru tua dengan lambang Bumi di dada mereka. Tidak ada perempuan di ruangan itu. Mereka dilarang hadir. Suara mereka dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas. 

Di belakang pilar marmer, Lady Cartine Obserra berdiri diam, menyaksikan pidato ayahnya dengan tatapan tajam. Tubuhnya terbungkus jubah putih dengan hiasan bordir emas, rambutnya ditata sempurna seperti tradisi perempuan bangsawan Bumi. Tetapi di balik penampilan anggunnya, matanya memancarkan kemarahan yang tak mampu ia sembunyikan. 

"Stabilitas," pikir Cartine. "Itulah alasan yang selalu mereka gunakan untuk membungkam perubahan. Mereka tahu, kalau aturan ini runtuh, kekuasaan mereka akan berakhir." 

Dengan langkah cepat, Cartine meninggalkan aula. Sepatu kulitnya berdetak pelan di lantai marmer berkilauan. Angin sejuk menyambutnya ketika ia keluar ke balkon terbuka, menghadap kota yang berpendar dalam cahaya malam. Udara di Bumi mungkin lebih bersih dari abad-abad sebelumnya, tetapi Cartine merasa sesak. Terlalu banyak yang harus berubah, dan ia tahu dirinya harus menjadi katalis perubahan itu. 

***

Di kejauhan, Pasar Udara Megara berdenyut dengan kehidupan malam. Cartine segera menuju ke sana, melewati jalan-jalan yang dipenuhi kios melayang. Di setiap sudut, pedagang dari berbagai penjuru tata surya menawarkan barang-barang unik—kristal energi dari Mars, logam langka dari Sabuk Asteroid, hingga kain tenun bercahaya dari Europa. Di tengah-tengah pasar yang penuh warna, Cartine menemukan tempat pertemuan rahasia mereka. 

Tirai holografik menutupi pintu kecil di sudut gelap pasar. Di dalamnya, dua sosok telah menunggu—Shekar Dion, diplomat muda dari Mars, dan Princess Maia Turn dari Jupiter. 

"Lady Cartine," kata Shekar, suaranya lembut namun penuh kehangatan. "Kami sudah menunggu." 

Maia menatap Cartine dengan senyum tipis, rambut peraknya memantulkan cahaya redup ruangan. 

"Aku tak percaya kau berhasil menyelinap keluar dari istana. Kau memang seberani yang dikatakan banyak orang." 

Cartine menanggapi dengan senyum kecil, meski di dalam hatinya, ketegangan masih menggantung. "Aku tidak punya pilihan. Kita sudah terlalu lama menunggu. Kalau kita terus membiarkan mereka memimpin dengan aturan lama, tak akan ada yang berubah. Kita harus bertindak sekarang." 

Shekar mengangguk, matanya penuh keyakinan. "Mars siap mendukungmu. Apa langkah pertama kita?" 

***

Malam semakin larut, dan lampu-lampu kota mulai redup. Di ruangan kecil itu, ketiga tokoh muda tersebut mulai merancang rencana besar yang akan mengguncang dunia. Cartine tahu, ini baru awal dari perjalanan panjang yang penuh bahaya. 

Suaranya terdengar tegas, tanpa keraguan. "Kita butuh jaringan yang lebih besar. Dukungan dari Mars dan Jupiter adalah kunci, tapi kita juga harus merangkul Sabuk Asteroid. Mereka mungkin tak diakui sebagai bagian dari sistem planet utama, tapi suara mereka akan memperkuat perlawanan kita." 

Maia tersenyum, tatapannya tajam. "Kalau kau yakin, Cartine, aku akan berdiri di sisimu. Kau memulai sesuatu yang besar—dan aku ingin menjadi bagian darinya." 

Ketika Cartine kembali ke istana malam itu, langit buatan telah berubah menjadi gelap pekat. Istana Obserra memancarkan cahaya biru lembut, seperti suar di tengah kegelapan. Di kamarnya, Cartine menyalakan perangkat komunikasi ilegal yang diselundupkan dari Mars, sesuatu yang bisa membuatnya dihukum berat jika ketahuan. 

"Mulai hari ini," katanya pada dirinya sendiri, matanya memantulkan cahaya dari layar kecil di tangannya. "Aku bukan lagi sekadar putri Sekretaris Jenderal. Aku akan menjadi suara perubahan."

***

Langit Luna gelap dan hening, terhampar seperti beludru hitam bertabur bintang. Di bawah kubah raksasa yang melindungi Kota Tycho, ribuan orang berdiri dengan harap, menatap ke panggung di pusat alun-alun. Cahaya lampu membias di kaca pelindung, memantulkan wajah-wajah yang haus akan perubahan.

Lady Cartine berdiri di sana, tegar seperti mercusuar di tengah lautan gelap. Pakaian biru tuanya bergoyang lembut dihembus angin buatan, kontras dengan rambut hitamnya yang berkilau tertimpa cahaya. Matanya menyapu lautan manusia yang menantikan suaranya. Napasnya pelan, teratur, seperti menghimpun kekuatan dari mereka yang berdiri di hadapannya.

“Ada yang salah di dunia ini.” Suaranya bergema pelan namun jelas, menghentikan semua suara di alun-alun. “Mereka memberi kita kehidupan di dunia asing ini, teknologi untuk bertahan, namun menolak kita kebebasan. Mereka berkata, ‘Ikuti aturan Bumi, atau jangan ikut berbicara.’ Tapi aturan mereka bukanlah milik kita.”

Kerumunan membeku, lalu perlahan pecah dalam gemuruh sorak-sorai. Kartine membiarkan momen itu bergulir, merasakannya menyentuh tiap sudut ruang. Senyuman kecil muncul di bibirnya, namun di balik senyum itu, ada kegelisahan yang tak terlihat.

Di barisan depan, Shekar Dion menatapnya penuh perhatian, tangan bersilang di dadanya. Dia tahu pidato ini bukan sekadar ucapan lantang. Ini adalah seruan untuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang berbahaya.

“Kau tahu dia akan membuat kekacauan besar, bukan?” Maia Turn, sang putri dari Kerajaan Jupiter, berbisik dengan nada setengah bercanda.

“Dan itu sebabnya aku di sini,” balas Shekar, matanya tak lepas dari Kartine. “Aku ingin melihat dunia lama terbakar.”

Di belakang panggung, seorang pria mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Kartine. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya berubah serius. Dengan anggukan kecil, dia berbalik ke arah kerumunan untuk terakhir kalinya, melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.

“Perjuangan kita baru dimulai,” katanya, suaranya lebih pelan namun penuh tekad. “Aku akan kembali.”

Dia melangkah pergi, meninggalkan sorak-sorai yang masih menggema di udara. Setiap langkah terasa berat, tapi dia tahu ini bukan akhir. Ini hanya awal.

Di dalam kapal antariksa, Kartine duduk di kursi dekat jendela, menatap gelapnya ruang angkasa. Cahaya Bumi mulai tampak di kejauhan, bulat dan bercahaya seperti permata di tengah kegelapan. Itu rumahnya, namun terasa semakin asing setiap kali dia kembali.

“Bumi,” bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Dulu aku mencintaimu tanpa syarat. Sekarang, aku harus melawanmu demi sesuatu yang lebih besar.”

Ren Folar, sang pilot, melangkah masuk ke ruang kendali. “Kita akan tiba dalam dua jam, Lady. Anda ingin beristirahat?”

Kartine menggeleng, pandangannya tetap tertuju pada Bumi yang semakin membesar. “Tidak, Ren. Aku harus bersiap. Dunia lama tidak akan mudah menerima apa yang akan datang.”

Ren hanya mengangguk pelan sebelum meninggalkannya sendiri. Di kejauhan, Bumi terus mendekat, seperti raksasa yang terbangun dari tidurnya, siap untuk menuntut penjelasan.

Kartine memejamkan mata sejenak, mendengar dengung pelan mesin kapal. Di dalam kepalanya, gema suara orang-orang di Luna masih terasa hidup. Dia tahu, ada pertempuran panjang yang menantinya di rumah. Tapi di balik segala ketidakpastian, ada satu hal yang pasti—dia tidak akan mundur.

Iklan 728x90
×
Fiksi Fillo Baru KLIK