Cerita Sambung
Prithvi Hamare Hai
Episode 2: Benih Perlawanan
oleh Erwinsyah Putra
Sabuk Asteroid Ceres, 7.000 tahun setelah era Bumi modern, telah menjadi pusat kehidupan unik di tata surya. Asteroid yang dulu hanyalah bongkahan batu dan logam kini dipenuhi hamparan ladang gandum berwarna keemasan, berkilauan di bawah cahaya matahari buatan yang menggantung di langit-langit kubah raksasa. Di sinilah gandum unggul ditanam—tumbuhan yang dirancang khusus untuk tumbuh di gravitasi rendah, menjadi sumber pangan utama bagi koloni di planet-planet luar.
Lady Cartine melangkah di antara deretan tanaman gandum tinggi yang bergoyang lembut. Udara di dalam kubah terasa hangat, dipenuhi aroma khas daun dan tanah basah buatan yang diciptakan melalui sistem simulasi ekosistem. Sepintas, tempat ini bisa disalahartikan sebagai ladang di pedalaman Bumi. Tapi, tidak ada langit biru di sini. Hanya lengkungan kubah transparan yang memisahkan mereka dari kehampaan luar angkasa.
Di sudut kebun, tersembunyi di balik barisan pohon sintetis yang mengatur kadar oksigen, Shekar Dion dari Mars menunggu dengan gelisah. Rambut hitamnya yang selalu acak-acakan membuatnya terlihat seperti petualang tak kenal lelah. Di sebelahnya berdiri Princess Maia Turn dari Jupiter, dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan. Maia mengenakan jubah hitam sederhana, jauh dari pakaian megah yang biasa dipakai bangsawan Jupiter.
“Kau terlambat, Cartine,” kata Shekar, melirik ke arahnya. “Kami hampir mengira kau ditangkap.”
Maia melipat tangannya di dada. “Ladang gandum ini bisa memberi makan seluruh koloni Mars dan Jupiter selama beberapa dekade. Dan teknologi pengembangannya membuat tanaman ini bisa tumbuh di atmosfer beracun atau di tanah beku. Sumber daya tak ternilai.”
Cartine mengangguk, matanya bersinar penuh ide. “Itulah sebabnya aku memilih tempat ini untuk pertemuan kita. Jika kita ingin melawan, kita butuh lebih dari sekadar kata-kata. Kita butuh kontrol atas pangan dan teknologi.”
“Dan kita mulai dari sini?” tanya Shekar sambil memandang sekeliling. “Dengan benih-benih dan ladang ini?”
“Tidak hanya itu,” jawab Cartine tegas. “Ceres memiliki jaringan distribusi yang luas ke seluruh tata surya. Kita bisa menyusup ke jalur pengiriman mereka, menyelundupkan pesan dan persenjataan melalui kapal-kapal kargo yang membawa gandum.”
Maia tersenyum kecil, ekspresinya penuh arti. “Ide yang berani. Tapi kita perlu sesuatu yang lebih kuat dari sekadar penyusupan. Kita harus menciptakan jaringan perlawanan yang tersebar di semua koloni. Jika kita ingin meruntuhkan kekuasaan Bumi, kita harus membangun kepercayaan di setiap planet.”
Shekar menyentuh salah satu tangkai gandum, meremasnya pelan di antara jarinya. “Mars punya orang-orang yang siap bertindak. Mereka sudah lelah hidup di bawah aturan Bumi yang terlalu mengekang. Jika kita bisa meyakinkan mereka bahwa kita punya rencana, mereka akan bergabung.”
Cartine menatap keduanya dengan tekad membara di matanya. “Aku tidak mencari orang-orang yang hanya bisa marah. Aku mencari mereka yang punya keberanian dan kesabaran untuk menyusun strategi. Perlawanan ini harus rapat dan tak tercium hingga saat yang tepat tiba.”
“Dan bagaimana kita memulainya?” tanya Maia serius. “Jika kau punya rencana, sekarang saatnya menjelaskannya.”
“Sinyal pertanian?” tanya Shekar, mengernyit.
“Ya. Setiap kebun di Ceres menggunakan gelombang radio untuk memantau kondisi tanaman. Kita akan menumpang di frekuensi itu untuk mengirim pesan-pesan kita.” Cartine menoleh ke Shekar. “Sementara itu, kau akan memobilisasi kelompokmu di Mars. Kita butuh orang-orang yang bisa bekerja di bawah radar, mereka yang bisa mengatur distribusi senjata dan mengatur logistik.”
Maia menatap peta itu dengan serius. “Dan kau, Cartine? Apa peranmu?”
“Aku akan tetap di Bumi,” jawab Cartine. “Aku harus tetap dekat dengan pusat kekuasaan. Dari sana, aku bisa memantau pergerakan mereka dan melindungi jaringan kita dari dalam.”
Shekar menepuk bahu Cartine. “Kita sudah melewati batas tidak kembali. Aku harap kau siap untuk semua kemungkinan.”
“Aku selalu siap,” jawab Cartine, matanya bersinar penuh tekad. “Ini bukan lagi soal pilihan. Ini soal bertahan hidup.”
Malam di Ceres terasa lebih sunyi dibanding siang. Cahaya redup dari kubah buatan berpendar lembut, menerangi ladang-ladang kosong yang kini tertidur. Dari balik jendela laboratorium, Cartine memandang langit penuh bintang, pikirannya melayang pada apa yang akan datang.
Dia tahu bahwa rencana ini bisa berakhir dengan kemenangan besar—atau kehancuran total. Tapi dalam hatinya, dia merasa inilah saatnya. Saat untuk melawan. Saat untuk merebut kembali kebebasan yang telah lama hilang.