Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan 728x90

Fataat Gharib

Rabu, 05 Februari 2025 | Februari 05, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-10T23:48:53Z



Cerita Sambung

Al 'Alamul Aswad

Episode 1: Fataat Gharib

Oleh Erwinsyah Putra

Kabut malam menyelimuti Desa Krishitang. Seperti selendang abu-abu yang menggantung di antara pepohonan, ini begitu dingin. Suara binatang malam terdengar sayup-sayup, namun ada sesuatu yang terasa berbeda—sebuah keheningan ganjil yang menggigit udara.

Tiop membuka pintu rumahnya dengan enggan. Angin dingin menyelusup masuk, membuat api di lampu minyak bergetar. Ia melangkah ke beranda, menatap pekarangan yang basah setelah hujan sore tadi. Sepasang mata mengawasinya dari kegelapan hutan, atau setidaknya, begitulah perasaannya.

"Pak?" suara Lenni memanggil dari dalam, sedikit bergetar. Tiop menoleh.

"Tak ada apa-apa. Masuklah, sudah malam." Namun, sebelum ia sempat menutup pintu, suara jeritan pecah di kejauhan.

Jeritan panjang, melengking, dan penuh ketakutan. Jantung Tiop berdegup kencang. Anjuna yang berada di dapur berhenti mengiris sayur. Matanya membesar, lalu ia menatap kedua orang tuanya.

"Apa itu?" Tak ada yang menjawab. Hanya keheningan yang menggantung. Dan kemudian, suara langkah kaki berlari di jalanan berbatu, disusul ketukan keras di pintu mereka.

"Pak Tiop! Cepat keluar!" suara seorang pria memanggil. Tiop mengenali suara itu. Lottung, kepala Desa Krishitang. Tiop menelan ludah, lalu melangkah keluar. Lenni dan Anjuna mengikutinya, berdiri di ambang pintu dengan wajah tegang.

Beberapa warga telah berkumpul di tengah jalan Desa Krishitang, obor di tangan mereka menerangi wajah-wajah panik.

"Ada apa?" tanya Tiop. Lottung mengusap wajahnya yang basah keringat.

"Kami menemukan mayat... di tepi hutan." Suaranya bergetar.

Lenni menutup mulutnya dengan kedua tangan. Anjuna diam, matanya menatap kosong ke dalam gelap.

"Siapa?" tanya Tiop, suaranya berat. Lottung menggeleng. 

"Kami belum tahu pasti. Tapi kondisinya..." Ia menarik napas dalam. "...sangat mengenaskan. Lebih baik Pak Tiop melihat sendiri."

Tiop tahu ia tidak bisa menolak. Ia meraih jaketnya dan bergegas mengikuti rombongan warga yang menuju hutan.

Saat mereka sampai di tepi hutan, pemandangan yang mereka temukan membuat beberapa warga menjerit ngeri. Mayat seorang pemuda terbujur kaku, dengan wajah yang hampir tidak bisa dikenali lagi. Darah mengering di lehernya yang penuh luka sayatan.

Babinsa Menek, satu-satunya Babinsa di Desa Krishitang itu, berjongkok di samping tubuh tersebut. Matanya menyipit saat melihat Tiop. "Kau kenal dia?"

Tiop menelan ludah.

Pemuda itu... wajahnya... sepertinya ia mengenalnya. Tetapi dari mana?

Bayangan samar menghantui pikirannya.

Sementara itu, Anjuna berdiri agak jauh, matanya menatap mayat itu tanpa ekspresi. Angin malam berhembus, membawa bisikan yang hanya bisa ia dengar seorang diri.

***

Malam itu, langit tampak gelap tanpa bintang. Di dalam rumah, suasana tegang merayap di antara dinding-dinding kayu. Tiop duduk di kursi dengan tangan mengepal, sementara Lenni mondar-mandir, sesekali menatap Anjuna yang duduk diam di sudut ruangan.

"Anjuna... katakan sesuatu." Lenni akhirnya membuka suara, suaranya penuh ketakutan.

Anjuna mengangkat wajahnya perlahan, matanya seperti genangan air yang dalam, tak terbaca. "Aku yang melakukannya," katanya lirih.

Tiop menegakkan tubuhnya. "Apa maksudmu?" Suaranya tajam, nyaris tidak percaya.

Anjuna menunduk, menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata, "Aku... ada di sana saat dia mati. Aku yang..." suaranya terputus.

Ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya, antara ketakutan dan keyakinan.

Lenni menjerit pelan, tangannya menutup mulutnya. "Ya Tuhan, Anjuna... apa yang kau lakukan?!"

Tiop mendekat, mencengkeram bahu putrinya. "Kau harus jelaskan semuanya! Apa yang terjadi di hutan malam itu?!"

Anjuna menghela napas panjang. "Dia mengikutiku. Aku tidak tahu kenapa. Aku sudah bilang padanya untuk berhenti, tapi dia tidak mau. Aku ketakutan, Ayah. Aku hanya ingin dia pergi."

"Lalu?" Tiop mendesak.

 Anjuna menggigit bibirnya lagi. "Aku... aku tidak ingat semuanya. Tapi tahu-tahu dia sudah tergeletak di tanah, berdarah-darah. Aku merasa ada sesuatu yang menggerakkanku... sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri."

Tiop dan Lenni saling berpandangan.

Ini bukan sekadar perkelahian biasa. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap di balik pengakuan Anjuna.

"Kita harus menutupi ini," kata Tiop akhirnya, suaranya dingin dan tegas.

Lenni menatapnya dengan ngeri. "Tiop! Ini pembunuhan!"

"Ini putri kita, Lenni," kata Tiop, matanya tajam. "Kita tidak bisa membiarkannya dipenjara."

Anjuna tetap diam.

Dalam kegelapan ruangan, matanya menatap bayangan di sudut ruangan. Dan bayangan itu... seolah-olah tersenyum kepadanya.

***

Hujan turun deras malam itu. Guyurannya mengguyur atap rumah Tiop, menciptakan irama monoton yang seolah menenggelamkan suara-suara lain di Desa Krishitang yang semakin dilanda ketakutan. Namun, suara gemuruh petir tak mampu menutupi bisikan kecemasan yang merayapi pikiran Tiop dan Lenni.

Di ruang tamu yang remang-remang, mereka duduk berhadapan dengan Anjuna. Gadis itu menunduk, rambutnya yang basah menempel di wajah pucatnya. Tangannya mencengkeram ujung bajunya dengan gemetar.

"Anjuna," suara Tiop serak, nyaris tak terdengar di antara derasnya hujan.

"Katakan yang sebenarnya. Apa yang terjadi malam itu di hutan?"

Anjuna mengangkat wajahnya perlahan. Mata gelapnya kosong, seolah ada sesuatu yang lebih dalam tersembunyi di balik tatapan itu. "Aku tidak ingat," bisiknya.

Lenni menatap putrinya dengan gelisah. "Anjuna, Babinsa menemukan bukti baru. Jejak kaki... lebih kecil dari milik orang dewasa. Mereka mulai curiga."

Anjuna menggeleng lemah. "Aku... aku hanya ingat berlari. Hutan itu gelap, dan aku mendengar suara-suara. Tapi aku tidak tahu apa yang kulakukan. Aku tidak ingat!"

Tiop meremas pelipisnya. "Anjuna, kau harus jujur. Kita tidak bisa melindungimu kalau kau sendiri tidak tahu apa yang terjadi."

Tiba-tiba, ketukan keras menggema dari pintu depan. Lenni terlonjak, sementara Tiop dengan sigap bangkit dan berjalan ke pintu. Di balik kayu tua itu, sosok Babinsa Menek berdiri dengan jas hujan yang basah kuyup.

"Pak Tiop," kata Menek dengan suara tegas. "Kami menemukan sesuatu lagi. Kali ini, saya butuh jawaban."

Tiop menahan napas. "Apa yang kalian temukan?"

Menek mengangkat sebuah kantong plastik berisi sesuatu—liontin perak berbentuk bulan sabit, berlumuran tanah.

"Ini ditemukan di dekat mayat korban terakhir," ujar Menek. "Apakah ini milik seseorang di keluarga Anda?"

Di belakang Tiop, Lenni terisak tertahan, dan Anjuna hanya bisa menatap liontin itu dengan ekspresi campuran antara ngeri dan kebingungan.

"Aku tidak ingat pernah menjatuhkannya..." bisik Anjuna, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Tiop mengepalkan tangannya. Ini bukan sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.

Dan mereka harus segera menemukan jawabannya sebelum semuanya terlambat.

***

Malam itu, angin berhembus lebih kencang dari biasanya. Hutan di pinggiran Desa Krishitang bergoyang liar, ranting-ranting beradu dengan suara berderak yang mengerikan. Di tengah gelapnya malam, Tiop duduk di tepi ranjangnya, memandangi liontin perak berbentuk bulan sabit yang kini tergenggam erat di tangannya.

Di ruangan sebelah, Lenni menangis dalam diam, sementara Anjuna tetap diam sejak Babinsa datang sore tadi. Matanya yang kosong seolah menatap sesuatu yang tak bisa dilihat oleh orang lain.

"Aku harus mencari tahu sendiri," bisik Tiop pada dirinya sendiri. Ia menyelipkan liontin itu ke dalam sakunya dan beranjak keluar, meninggalkan rumah yang kini terasa semakin menyesakkan.

Tanpa suara, ia menyelinap ke luar dan berjalan menuju hutan. Semakin dalam ia melangkah, semakin gelap dan dingin udara terasa. Kabut tebal bergelayut di antara pepohonan, seolah menyembunyikan sesuatu yang enggan terungkap.

Setiap langkah yang ia ambil menimbulkan suara gemerisik, seakan-akan ada yang mengikuti di belakangnya. Tiba-tiba, suara gemeretak terdengar dari kejauhan. Tiop menahan napas, matanya mencari sumber suara.

Samar-samar, ia melihat cahaya redup berpendar di balik pepohonan. Jantungnya berdetak kencang saat ia semakin mendekat. Dari balik batang pohon besar, ia mengintip dan melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Di tengah lingkaran batu yang tertata rapi, seorang wanita tua dengan jubah hitam berdiri membelakanginya. Tangannya bergerak-gerak di atas nyala api kecil, menggumamkan sesuatu dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Di sekelilingnya, beberapa orang berdiri diam, wajah mereka tertutup bayangan. Tiop mundur perlahan, tetapi sebuah ranting kering patah di bawah kakinya.

Seketika, wanita tua itu berhenti melantunkan mantra dan menoleh ke arahnya. Tatapan matanya kosong, namun ada sesuatu yang berkilat jahat di dalamnya.

"Kau seharusnya tidak ada di sini," bisik suara wanita itu, bergema di antara pepohonan.

Tiop merasa tubuhnya membeku. Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa ia telah melangkah terlalu jauh—dan kini, tidak ada jalan kembali.

***

Tiop tidak bisa bergerak. Napasnya tertahan di tenggorokan saat wanita tua itu melangkah mendekat, matanya menembus kegelapan seperti bara api yang menyala di malam buta.

"Kau seharusnya tidak ada di sini," suara itu kembali menggema, kali ini lebih dingin, lebih tajam. Tiba-tiba, seseorang menariknya dari belakang.

Sebelum sempat berteriak, sebuah tangan kasar menutup mulutnya dan menyeretnya menjauh dari lingkaran batu. Tiop berusaha melawan, tetapi cengkeraman itu kuat.

Setelah beberapa meter, sosok di belakangnya melepaskan tangannya. Tiop terhuyung, berbalik cepat, dan terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya.

"Menek?!" Tiop terengah-engah. Babinsa Menek berdiri di sana, wajahnya tegang. "Cepat pergi dari sini, Tiop! Kau tak tahu apa yang sedang kau hadapi."

"Apa maksudmu?! Apa yang terjadi di sini? Apa hubunganmu dengan mereka?"

Tiop menuntut jawaban, rasa marah dan ketakutan berbaur dalam suaranya.

Menek menggeleng. "Kau pikir ini hanya tentang pembunuhan? Tidak, Tiop. Ini jauh lebih besar dari itu. Mereka sudah lama mengendalikan Desa Krishitang ini. Aku sudah menyelidikinya bertahun-tahun. Dan kau baru saja melangkah masuk ke dalam permainan mereka."

Sebelum Tiop bisa bertanya lebih jauh, suara langkah kaki mendekat dari arah lingkaran batu. Menek menggenggam lengan Tiop erat. "Percayalah padaku, kau harus pergi. Mereka sudah tahu kau ada di sini. Aku akan mencoba menahan mereka."

Tiop ragu. "Bagaimana dengan Anjuna? Apa mereka mengincarnya?"

Menek menatapnya dengan serius. "Bukan hanya mengincarnya. Mereka membutuhkannya." Kata-kata itu menghantam Tiop seperti petir di siang bolong.

Ia ingin bertanya lebih banyak, tetapi Menek sudah mendorongnya pergi.

"Lari, Tiop. Lindungi keluargamu!"

Dengan jantung berdegup kencang, Tiop berlari menembus hutan yang gelap. Ranting-ranting mencakar kulitnya, bayangan-bayangan bergerak di sudut matanya. Tapi hanya ada satu hal dalam pikirannya saat ini—Anjuna. Ia harus melindunginya, apapun yang terjadi.

Di belakangnya, suara-suara mulai bergema di antara pepohonan. Bisikan. Tertawa kecil. Seolah hutan itu sendiri sedang mengejarnya.

Dan saat ia tiba di tepi Desa Krishitang, sebuah firasat buruk menyelinap ke dalam dadanya. Sesuatu telah terjadi di rumahnya.

***

Tiop berlari secepat yang ia bisa menuju rumahnya. Napasnya memburu, dadanya terasa seperti akan meledak. Ia tiba di depan rumah dan mendapati pintu telah terbuka. Tidak ada suara. Sunyi. Terlalu sunyi.

"Lenni! Anjuna!" serunya, memasuki rumah dengan hati-hati.

Di ruang tengah, Lenni duduk membeku di lantai, wajahnya pucat pasi. Tangannya gemetar, menunjuk sesuatu di sudut ruangan. Tiop mengikuti arah tatapannya.

Di sana, berdiri Anjuna. Dengan pakaian yang berlumuran darah, matanya kosong, senyumnya samar, dan di tangannya, ia menggenggam sebilah pisau yang masih meneteskan darah segar.

"Anjuna… apa yang kau lakukan?" suara Tiop hampir tidak keluar.

Anjuna menatapnya lama sebelum berkata pelan, "Ayah… aku ingat semuanya."

Tiop menelan ludah, tubuhnya menegang. "Apa maksudmu?"

Anjuna tersenyum, kali ini lebih lebar. "Aku bukan korban dari mereka. Aku adalah bagian dari mereka. Sejak awal." Lenni terisak.

"Tidak… itu tidak mungkin! Kau anak kami!" Anjuna menggeleng pelan.

"Aku bukan anak kandung kalian. Aku adalah bagian dari ritual yang mereka jalankan bertahun-tahun lalu. Menek mencoba melindungiku, tapi ia terlambat. Ingatan yang mereka segel dalam kepalaku akhirnya terbuka. Aku… Aku yang harus melanjutkan ini."

Tiop terhuyung mundur. Kepalanya berputar.

Semua kejadian di Desa Krishitang, semua pembunuhan… apakah itu ulah Anjuna?

Dari luar rumah, suara langkah kaki mendekat. Bayangan-bayangan tinggi dengan jubah hitam muncul di depan pintu. Mereka tidak berusaha masuk. Mereka menunggu. "

Mereka datang menjemputku," bisik Anjuna. "Ini takdirku."

Tiop mencengkeram bahu Anjuna. "Tidak! Kau bisa melawan ini, Anjuna! Kau bisa memilih!"

Anjuna menatapnya dengan mata penuh kasih sayang, namun juga kepastian. "Aku sudah memilih, Ayah. Kalian hanya perlu mengingat… bagaimana semua ini dimulai."

Dan sebelum Tiop bisa menghentikannya, Anjuna melangkah keluar, menuju bayangan yang menunggunya.

Para sosok berjubah hitam menunduk hormat sebelum membawanya pergi ke dalam gelapnya malam.

Tiop jatuh terduduk. Nafasnya berat, pikirannya kacau. Ini bukan akhir. Ini baru permulaan.

Lenni terisak. "Tiop… kita harus tahu kenapa… kita harus tahu siapa sebenarnya Anjuna."

Tiop mengangkat wajahnya. Matanya dipenuhi tekad. "Kita akan mencari tahu. Kita akan kembali ke awal."

Iklan 728x90
×
Fiksi Fillo Baru KLIK