Cerita Sambung
Al 'Alamul Aswad
Episode 1: Fataat Gharib
Oleh Erwinsyah Putra
Kabut malam menyelimuti Desa
Krishitang. Seperti selendang abu-abu yang menggantung di antara pepohonan, ini
begitu dingin. Suara binatang malam terdengar sayup-sayup, namun ada sesuatu
yang terasa berbeda—sebuah keheningan ganjil yang menggigit udara.
Tiop membuka pintu rumahnya
dengan enggan. Angin dingin menyelusup masuk, membuat api di lampu minyak
bergetar. Ia melangkah ke beranda, menatap pekarangan yang basah setelah hujan
sore tadi. Sepasang mata mengawasinya dari kegelapan hutan, atau setidaknya,
begitulah perasaannya.
"Pak?" suara Lenni
memanggil dari dalam, sedikit bergetar. Tiop menoleh.
"Tak ada apa-apa. Masuklah,
sudah malam." Namun, sebelum ia sempat menutup pintu, suara jeritan pecah
di kejauhan.
Jeritan panjang, melengking, dan
penuh ketakutan. Jantung Tiop berdegup kencang. Anjuna yang berada di dapur
berhenti mengiris sayur. Matanya membesar, lalu ia menatap kedua orang tuanya.
"Apa itu?" Tak ada yang
menjawab. Hanya keheningan yang menggantung. Dan kemudian, suara langkah kaki
berlari di jalanan berbatu, disusul ketukan keras di pintu mereka.
"Pak Tiop! Cepat
keluar!" suara seorang pria memanggil. Tiop mengenali suara itu. Lottung,
kepala Desa Krishitang. Tiop menelan ludah, lalu melangkah keluar. Lenni dan
Anjuna mengikutinya, berdiri di ambang pintu dengan wajah tegang.
Beberapa warga telah berkumpul di
tengah jalan Desa Krishitang, obor di tangan mereka menerangi wajah-wajah
panik.
"Ada apa?" tanya Tiop.
Lottung mengusap wajahnya yang basah keringat.
"Kami menemukan mayat... di
tepi hutan." Suaranya bergetar.
Lenni menutup mulutnya dengan
kedua tangan. Anjuna diam, matanya menatap kosong ke dalam gelap.
"Siapa?" tanya Tiop,
suaranya berat. Lottung menggeleng.
"Kami belum tahu pasti. Tapi
kondisinya..." Ia menarik napas dalam. "...sangat mengenaskan. Lebih
baik Pak Tiop melihat sendiri."
Tiop tahu ia tidak bisa menolak.
Ia meraih jaketnya dan bergegas mengikuti rombongan warga yang menuju hutan.
Saat mereka sampai di tepi hutan,
pemandangan yang mereka temukan membuat beberapa warga menjerit ngeri. Mayat
seorang pemuda terbujur kaku, dengan wajah yang hampir tidak bisa dikenali
lagi. Darah mengering di lehernya
yang penuh luka sayatan.
Babinsa Menek, satu-satunya
Babinsa di Desa Krishitang itu, berjongkok di samping tubuh tersebut. Matanya
menyipit saat melihat Tiop. "Kau kenal dia?"
Tiop menelan ludah.
Pemuda itu... wajahnya...
sepertinya ia mengenalnya. Tetapi dari mana?
Bayangan samar menghantui
pikirannya.
Sementara itu, Anjuna berdiri
agak jauh, matanya menatap mayat itu tanpa ekspresi. Angin malam berhembus,
membawa bisikan yang hanya bisa ia dengar seorang diri.
***
Malam itu, langit tampak gelap
tanpa bintang. Di dalam rumah, suasana tegang merayap di antara dinding-dinding
kayu. Tiop duduk di kursi dengan tangan mengepal, sementara Lenni
mondar-mandir, sesekali menatap Anjuna yang duduk diam di sudut ruangan.
"Anjuna... katakan
sesuatu." Lenni akhirnya membuka suara, suaranya penuh ketakutan.
Anjuna mengangkat wajahnya
perlahan, matanya seperti genangan air yang dalam, tak terbaca. "Aku yang
melakukannya," katanya lirih.
Tiop menegakkan tubuhnya.
"Apa maksudmu?" Suaranya tajam, nyaris tidak percaya.
Anjuna menunduk, menggigit
bibirnya sebelum akhirnya berkata, "Aku... ada di sana saat dia mati. Aku
yang..." suaranya terputus.
Ada sesuatu yang bergetar dalam
dirinya, antara ketakutan dan keyakinan.
Lenni menjerit pelan, tangannya
menutup mulutnya. "Ya Tuhan, Anjuna... apa yang kau lakukan?!"
Tiop mendekat, mencengkeram bahu
putrinya. "Kau harus jelaskan semuanya! Apa yang terjadi di hutan malam
itu?!"
Anjuna menghela napas panjang.
"Dia mengikutiku. Aku tidak tahu kenapa. Aku sudah bilang padanya untuk
berhenti, tapi dia tidak mau. Aku ketakutan, Ayah. Aku hanya ingin dia
pergi."
"Lalu?" Tiop mendesak.
Anjuna menggigit bibirnya lagi. "Aku...
aku tidak ingat semuanya. Tapi tahu-tahu dia sudah tergeletak di tanah,
berdarah-darah. Aku merasa ada sesuatu yang menggerakkanku... sesuatu yang
lebih besar dari diriku sendiri."
Tiop dan Lenni saling berpandangan.
Ini bukan sekadar perkelahian
biasa. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap di balik pengakuan Anjuna.
"Kita harus menutupi
ini," kata Tiop akhirnya, suaranya dingin dan tegas.
Lenni menatapnya dengan ngeri.
"Tiop! Ini pembunuhan!"
"Ini putri kita,
Lenni," kata Tiop, matanya tajam. "Kita tidak bisa membiarkannya
dipenjara."
Anjuna tetap diam.
Dalam kegelapan ruangan, matanya
menatap bayangan di sudut ruangan. Dan bayangan itu... seolah-olah tersenyum
kepadanya.
***
Hujan turun deras malam itu.
Guyurannya mengguyur atap rumah Tiop, menciptakan irama monoton yang seolah
menenggelamkan suara-suara lain di Desa Krishitang yang semakin dilanda
ketakutan. Namun, suara gemuruh petir tak mampu menutupi bisikan kecemasan yang
merayapi pikiran Tiop dan Lenni.
Di ruang tamu yang remang-remang,
mereka duduk berhadapan dengan Anjuna. Gadis itu menunduk, rambutnya yang basah
menempel di wajah pucatnya. Tangannya mencengkeram ujung bajunya dengan
gemetar.
"Anjuna," suara Tiop
serak, nyaris tak terdengar di antara derasnya hujan.
"Katakan yang sebenarnya.
Apa yang terjadi malam itu di hutan?"
Anjuna mengangkat wajahnya
perlahan. Mata gelapnya kosong, seolah ada sesuatu yang lebih dalam tersembunyi
di balik tatapan itu. "Aku tidak ingat," bisiknya.
Lenni menatap putrinya dengan
gelisah. "Anjuna, Babinsa menemukan bukti baru. Jejak kaki... lebih kecil
dari milik orang dewasa. Mereka mulai curiga."
Anjuna menggeleng lemah.
"Aku... aku hanya ingat berlari. Hutan itu gelap, dan aku mendengar
suara-suara. Tapi aku tidak tahu apa yang kulakukan. Aku tidak ingat!"
Tiop meremas pelipisnya.
"Anjuna, kau harus jujur. Kita tidak bisa melindungimu kalau kau sendiri
tidak tahu apa yang terjadi."
Tiba-tiba, ketukan keras menggema
dari pintu depan. Lenni terlonjak, sementara Tiop dengan sigap bangkit dan
berjalan ke pintu. Di balik kayu tua itu, sosok Babinsa Menek berdiri dengan
jas hujan yang basah kuyup.
"Pak Tiop," kata Menek
dengan suara tegas. "Kami menemukan sesuatu lagi. Kali ini, saya butuh
jawaban."
Tiop menahan napas. "Apa yang
kalian temukan?"
Menek mengangkat sebuah kantong
plastik berisi sesuatu—liontin perak berbentuk bulan sabit, berlumuran tanah.
"Ini ditemukan di dekat
mayat korban terakhir," ujar Menek. "Apakah ini milik seseorang di
keluarga Anda?"
Di belakang Tiop, Lenni terisak
tertahan, dan Anjuna hanya bisa menatap liontin itu dengan ekspresi campuran
antara ngeri dan kebingungan.
"Aku tidak ingat pernah
menjatuhkannya..." bisik Anjuna, hampir seperti berbicara pada dirinya
sendiri.
Tiop mengepalkan tangannya. Ini bukan
sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.
Dan mereka harus segera menemukan
jawabannya sebelum semuanya terlambat.
***
Malam itu, angin berhembus lebih
kencang dari biasanya. Hutan di pinggiran Desa Krishitang bergoyang liar,
ranting-ranting beradu dengan suara berderak yang mengerikan. Di tengah
gelapnya malam, Tiop duduk di tepi ranjangnya, memandangi liontin perak
berbentuk bulan sabit yang kini tergenggam erat di tangannya.
Di ruangan sebelah, Lenni
menangis dalam diam, sementara Anjuna tetap diam sejak Babinsa datang sore
tadi. Matanya yang kosong seolah menatap sesuatu yang tak bisa dilihat oleh
orang lain.
"Aku harus mencari tahu
sendiri," bisik Tiop pada dirinya sendiri. Ia menyelipkan liontin itu ke
dalam sakunya dan beranjak keluar, meninggalkan rumah yang kini terasa semakin
menyesakkan.
Tanpa suara, ia menyelinap ke
luar dan berjalan menuju hutan. Semakin dalam ia melangkah, semakin gelap dan
dingin udara terasa. Kabut tebal bergelayut di antara pepohonan, seolah
menyembunyikan sesuatu yang enggan terungkap.
Setiap langkah yang ia ambil
menimbulkan suara gemerisik, seakan-akan ada yang mengikuti di belakangnya.
Tiba-tiba, suara gemeretak terdengar dari kejauhan. Tiop menahan napas, matanya
mencari sumber suara.
Samar-samar, ia melihat cahaya
redup berpendar di balik pepohonan. Jantungnya berdetak kencang saat ia semakin
mendekat. Dari balik batang pohon besar, ia mengintip dan melihat sesuatu yang
membuat darahnya membeku.
Di tengah lingkaran batu yang
tertata rapi, seorang wanita tua dengan jubah hitam berdiri membelakanginya.
Tangannya bergerak-gerak di atas nyala api kecil, menggumamkan sesuatu dalam
bahasa yang tidak ia mengerti. Di sekelilingnya, beberapa orang berdiri diam,
wajah mereka tertutup bayangan. Tiop mundur perlahan, tetapi sebuah ranting
kering patah di bawah kakinya.
Seketika, wanita tua itu berhenti
melantunkan mantra dan menoleh ke arahnya. Tatapan matanya kosong, namun ada
sesuatu yang berkilat jahat di dalamnya.
"Kau seharusnya tidak ada di
sini," bisik suara wanita itu, bergema di antara pepohonan.
Tiop merasa tubuhnya membeku.
Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa ia telah melangkah terlalu jauh—dan
kini, tidak ada jalan kembali.
***
Tiop tidak bisa bergerak.
Napasnya tertahan di tenggorokan saat wanita tua itu melangkah mendekat,
matanya menembus kegelapan seperti bara api yang menyala di malam buta.
"Kau seharusnya tidak ada di sini," suara itu kembali menggema,
kali ini lebih dingin, lebih tajam. Tiba-tiba, seseorang menariknya dari
belakang.
Sebelum sempat berteriak, sebuah
tangan kasar menutup mulutnya dan menyeretnya menjauh dari lingkaran batu. Tiop
berusaha melawan, tetapi cengkeraman itu kuat.
Setelah beberapa meter, sosok di
belakangnya melepaskan tangannya. Tiop terhuyung, berbalik cepat, dan terkejut
melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
"Menek?!" Tiop
terengah-engah. Babinsa Menek berdiri di sana, wajahnya tegang. "Cepat
pergi dari sini, Tiop! Kau tak tahu apa yang sedang kau hadapi."
"Apa maksudmu?! Apa yang
terjadi di sini? Apa hubunganmu dengan mereka?"
Tiop menuntut jawaban, rasa marah
dan ketakutan berbaur dalam suaranya.
Menek menggeleng. "Kau pikir
ini hanya tentang pembunuhan? Tidak, Tiop. Ini jauh lebih besar dari itu.
Mereka sudah lama mengendalikan Desa Krishitang ini. Aku sudah menyelidikinya
bertahun-tahun. Dan kau baru saja melangkah masuk ke dalam permainan
mereka."
Sebelum Tiop bisa bertanya lebih
jauh, suara langkah kaki mendekat dari arah lingkaran batu. Menek menggenggam
lengan Tiop erat. "Percayalah padaku, kau harus pergi. Mereka sudah tahu
kau ada di sini. Aku akan mencoba menahan mereka."
Tiop ragu. "Bagaimana dengan
Anjuna? Apa mereka mengincarnya?"
Menek menatapnya dengan serius.
"Bukan hanya mengincarnya. Mereka membutuhkannya." Kata-kata itu
menghantam Tiop seperti petir di siang bolong.
Ia ingin bertanya lebih banyak,
tetapi Menek sudah mendorongnya pergi.
"Lari, Tiop. Lindungi
keluargamu!"
Dengan jantung berdegup kencang,
Tiop berlari menembus hutan yang gelap. Ranting-ranting mencakar kulitnya, bayangan-bayangan
bergerak di sudut matanya. Tapi hanya ada satu hal dalam pikirannya saat
ini—Anjuna. Ia harus melindunginya, apapun yang terjadi.
Di belakangnya, suara-suara mulai
bergema di antara pepohonan. Bisikan. Tertawa kecil. Seolah hutan itu sendiri sedang
mengejarnya.
Dan saat ia tiba di tepi Desa
Krishitang, sebuah firasat buruk menyelinap ke dalam dadanya. Sesuatu telah
terjadi di rumahnya.
***
Tiop berlari secepat yang ia bisa
menuju rumahnya. Napasnya memburu, dadanya terasa seperti akan meledak. Ia tiba
di depan rumah dan mendapati pintu telah terbuka. Tidak ada suara. Sunyi.
Terlalu sunyi.
"Lenni! Anjuna!"
serunya, memasuki rumah dengan hati-hati.
Di ruang tengah, Lenni duduk
membeku di lantai, wajahnya pucat pasi. Tangannya gemetar, menunjuk sesuatu di
sudut ruangan. Tiop mengikuti arah tatapannya.
Di sana, berdiri Anjuna. Dengan
pakaian yang berlumuran darah, matanya kosong, senyumnya samar, dan di
tangannya, ia menggenggam sebilah pisau yang masih meneteskan darah segar.
"Anjuna… apa yang kau lakukan?"
suara Tiop hampir tidak keluar.
Anjuna menatapnya lama sebelum
berkata pelan, "Ayah… aku ingat semuanya."
Tiop menelan ludah, tubuhnya
menegang. "Apa maksudmu?"
Anjuna tersenyum, kali ini lebih
lebar. "Aku bukan korban dari mereka. Aku adalah bagian dari mereka. Sejak
awal." Lenni terisak.
"Tidak… itu tidak mungkin!
Kau anak kami!" Anjuna menggeleng pelan.
"Aku bukan anak kandung
kalian. Aku adalah bagian dari ritual yang mereka jalankan bertahun-tahun lalu.
Menek mencoba melindungiku, tapi ia terlambat. Ingatan yang mereka segel dalam
kepalaku akhirnya terbuka. Aku… Aku yang harus melanjutkan ini."
Tiop terhuyung mundur. Kepalanya
berputar.
Semua kejadian di Desa
Krishitang, semua pembunuhan… apakah itu ulah Anjuna?
Dari luar rumah, suara langkah kaki
mendekat. Bayangan-bayangan tinggi dengan jubah hitam muncul di depan pintu.
Mereka tidak berusaha masuk. Mereka menunggu. "
Mereka datang menjemputku,"
bisik Anjuna. "Ini takdirku."
Tiop mencengkeram bahu Anjuna. "Tidak! Kau bisa
melawan ini, Anjuna! Kau bisa memilih!"
Anjuna menatapnya dengan mata
penuh kasih sayang, namun juga kepastian. "Aku sudah memilih, Ayah. Kalian
hanya perlu mengingat… bagaimana semua ini dimulai."
Dan sebelum Tiop bisa
menghentikannya, Anjuna melangkah keluar, menuju bayangan yang menunggunya.
Para sosok berjubah hitam
menunduk hormat sebelum membawanya pergi ke dalam gelapnya malam.
Tiop jatuh terduduk. Nafasnya
berat, pikirannya kacau. Ini bukan akhir. Ini baru permulaan.
Lenni terisak. "Tiop… kita
harus tahu kenapa… kita harus tahu siapa sebenarnya Anjuna."
Tiop mengangkat wajahnya. Matanya
dipenuhi tekad. "Kita akan mencari tahu. Kita akan kembali ke awal."