Cerita Pendek
Darah Intan
oleh Erwinsyah PutraMalam itu,
angin berembus lembut membawa aroma tanah basah selepas hujan. Cahaya lampu
minyak menggantung di tengah ruangan, berpendar temaram di dinding kayu rumah
peninggalan leluhur. Panda duduk bersila di atas tikar pandan, kedua tangannya
mengepal di lutut, sementara di hadapannya, Umak, Ayah, dan Laung duduk dengan
wajah tegang. Pembicaraan yang selama ini dihindari akhirnya tak bisa
dielakkan.
"Kenapa
kalian menolak aku menikahi Intan?" suara Panda pecah, nadanya lebih
menyerupai tuntutan daripada pertanyaan. Matanya tajam menatap Umak yang
menghela napas berat.
Umak
menundukkan kepala, tangannya meremas kain sarung yang menutupi pahanya.
"Nak, bukan kami tak mau. Ada sesuatu yang harus kau ketahui…"
Panda
mendengus, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Sesuatu apa? Kenapa kalian
terus bersembunyi di balik kata-kata tanpa jawaban? Apa karena dia sudah
menikah dengan Laung? Apa itu alasannya?"
“Intan itu Iboto mu, mang” Umak berjalan menuju lemari,
matanya tertuju pada foto Panda sewaktu bayi.
“Aku Siregar, sedangkan Intan boru Lubis. Kenapa disebut
iboto, justru Intan itu Boru Tulang ku” Panda berdiri “Lagian Ompung kita juga
tidak ada garis persaudaraan dengan Ompungnya”
“Intan itu Iboto mu, anak ku!” Umak berbalik menatap
Panda, nadanya mulai menurun, berjalan menuju Intan yang duduk di samping Laung.
Laung yang
sejak tadi diam, kini mengangkat wajahnya. Ada sesuatu yang aneh dalam sorot
matanya—campuran antara rasa bersalah dan keengganan untuk berbicara. Ia
mengusap lehernya sebelum akhirnya berkata pelan, "Aku tidak pernah ingin
menikahi Intan…"
Panda
tersentak. "Apa maksudmu?"
Laung
menelan ludah, jemarinya menggenggam gelas teh yang sudah dingin di hadapannya.
"Dulu, aku juga tidak mengerti. Aku hanya menurut. Aku tidak ingin
menyakitimu, Panda, tapi…"
Panda merasa
dadanya berdesir dingin. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini,
sesuatu yang selama ini disembunyikan darinya.
"Tapi
apa, Laung? Bicara!" desaknya, nadanya meninggi.
Laung
menatapnya lekat, matanya penuh kepedihan. "Kau tidak tahu bagaimana
rasanya hidup dalam rumah yang dingin? Setiap malam aku tidur dengan wanita
yang tak pernah menginginkanku di sisinya. Tatapannya kosong, hatinya milik
orang lain. Aku suaminya, tapi tak pernah sekalipun aku merasakan kehangatan
seorang istri. Setiap kali aku mendekat, ia menahan air matanya, seolah aku ini
musibah baginya! Aku menjalani neraka ini bukan karena aku ingin, Panda. Aku dijebak
dalam kebohongan yang sama sepertimu!"
Panda
menggeram. "Dan kau pikir aku peduli? Kau tetap tidur di ranjang
bersamanya! Kau tetap memilikinya! Aku? Aku hanya bisa menahan diri melihat
wanita yang kucintai menyandang namamu!"
Laung
terdiam, napasnya memburu. Panda bangkit, dadanya bergemuruh. "Setiap
malam aku memikirkan bagaimana dia menghabiskan waktunya bersamamu! Bagaimana
dia menyentuhmu, berbagi napas denganmu! Kau, orang yang kupanggil saudara, kau
merebutnya! Kau penyebab aku kehilangan dia!"
Tiba-tiba,
Intan berlari masuk ke ruangan. "Cukup, Panda! Hentikan!" Matanya
penuh ketakutan. "Jangan salahkan Laung! Ini bukan salahnya!"
Panda
menatap Intan dengan perih. "Kau masih membelanya, Intan? Aku tahu kau
mencintaiku! Aku tahu hatimu bukan untuknya! Lalu kenapa? Kenapa kau tetap
memilih berada di sisinya?!"
Intan
menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar. "Karena dia suamiku, Panda… Apa pun
yang terjadi, aku telah menikah dengannya. Aku harus menjalani ini, meski
hatiku tetap milikmu… Aku tak bisa meninggalkannya."
Panda merasa
dunianya runtuh. Ia mendekat, menggenggam bahu Intan dengan kasar. "Jadi
aku harus menerima kenyataan bahwa kau tidur dengan pria lain setiap malam,
sementara aku mati perlahan dalam kerinduan? Kau memintaku untuk itu?!"
Laung segera
menarik Panda menjauh. "Jangan sentuh dia seperti itu!"
Kemarahan
Panda memuncak. Dengan gerakan cepat, ia meraih pisau yang tergeletak di atas
meja kayu dan menghunusnya ke arah Laung. Mata Laung membelalak, tetapi ia tak
bergerak, seolah sudah pasrah pada nasibnya.
"Kau
merenggut segalanya dariku!" Panda meraung, napasnya terengah-engah.
Tangannya gemetar memegang pisau yang hampir menyentuh dada Laung.
"Panda,
hentikan!" Intan menjerit, mencoba menghalangi. Dalam kekacauan itu, pisau
Panda tak sengaja menyayat lengan Intan. Darah merembes dari kain bajunya yang
koyak. Intan mengerang, tubuhnya oleng sebelum jatuh ke lantai.
"INTAN!"
jeritan Umak memenuhi ruangan. Laung segera merangkul tubuh istrinya yang
berlumuran darah, sementara Panda terduduk, pisau terlepas dari tangannya.
Semua orang
panik. Ayah segera mengangkat Intan ke dalam pelukannya, berlari keluar rumah
untuk membawanya ke rumah sakit.
Dalam
kekacauan itu, Laung tiba-tiba berbisik lirih, "Karena kau dan dia… adalah
saudara sepersusuan…"
Panda
terhuyung. Seluruh dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Nafasnya tercekat,
pikirannya berputar liar. Semua kemarahan, semua kebencian yang ia simpan
selama ini, mendadak sirna—digantikan oleh rasa perih yang lebih dalam dari
luka mana pun.
Mereka semua
pergi. Panda tidak ikut membawa Intan ke rumah sakit. Ia hanya diam, masih
terduduk di tempatnya.
Angin
kembali berembus, lebih dingin dari sebelumnya. Dalam remang cahaya lampu
minyak, Panda menatap pisau di tangannya. Jleeeeb! Logam itu
menembus perutnya. Ia
tidak menangis, tidak meraung. Perlahan, ia merasakan sesuatu yang hangat
merembes dari perutnya.
Tangannya
gemetar menyentuh luka itu, merasakan basahnya darah yang mulai membanjiri
tubuhnya. Pandangannya kabur, napasnya tersengal.
Ia menatap
langit di luar jendela. Untuk pertama kalinya, ia melihat bintang yang begitu
jauh dan tak terjangkau—seperti perasaannya terhadap Intan. Kini, ia tahu. Ia
harus melepaskan.
Matanya
perlahan tertutup. Nafasnya mulai terputus-putus.
Malam
semakin larut. Di dalam sunyi yang membelenggu, hanya ada tubuh Panda yang
terduduk diam, tersisa dalam kesunyian yang abadi.