Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Darah Intan

Selasa, 04 Februari 2025 | Februari 04, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-10T21:34:03Z

Cerita Pendek

Darah Intan

oleh Erwinsyah Putra

Malam itu, angin berembus lembut membawa aroma tanah basah selepas hujan. Cahaya lampu minyak menggantung di tengah ruangan, berpendar temaram di dinding kayu rumah peninggalan leluhur. Panda duduk bersila di atas tikar pandan, kedua tangannya mengepal di lutut, sementara di hadapannya, Umak, Ayah, dan Laung duduk dengan wajah tegang. Pembicaraan yang selama ini dihindari akhirnya tak bisa dielakkan.

"Kenapa kalian menolak aku menikahi Intan?" suara Panda pecah, nadanya lebih menyerupai tuntutan daripada pertanyaan. Matanya tajam menatap Umak yang menghela napas berat.

Umak menundukkan kepala, tangannya meremas kain sarung yang menutupi pahanya. "Nak, bukan kami tak mau. Ada sesuatu yang harus kau ketahui…"

Panda mendengus, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Sesuatu apa? Kenapa kalian terus bersembunyi di balik kata-kata tanpa jawaban? Apa karena dia sudah menikah dengan Laung? Apa itu alasannya?"

“Intan itu Iboto mu, mang” Umak berjalan menuju lemari, matanya tertuju pada foto Panda sewaktu bayi.

“Aku Siregar, sedangkan Intan boru Lubis. Kenapa disebut iboto, justru Intan itu Boru Tulang ku” Panda berdiri “Lagian Ompung kita juga tidak ada garis persaudaraan dengan Ompungnya”

“Intan itu Iboto mu, anak ku!” Umak berbalik menatap Panda, nadanya mulai menurun, berjalan menuju Intan yang duduk di samping Laung.

Laung yang sejak tadi diam, kini mengangkat wajahnya. Ada sesuatu yang aneh dalam sorot matanya—campuran antara rasa bersalah dan keengganan untuk berbicara. Ia mengusap lehernya sebelum akhirnya berkata pelan, "Aku tidak pernah ingin menikahi Intan…"

Panda tersentak. "Apa maksudmu?"

Laung menelan ludah, jemarinya menggenggam gelas teh yang sudah dingin di hadapannya. "Dulu, aku juga tidak mengerti. Aku hanya menurut. Aku tidak ingin menyakitimu, Panda, tapi…"

Panda merasa dadanya berdesir dingin. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini, sesuatu yang selama ini disembunyikan darinya.

"Tapi apa, Laung? Bicara!" desaknya, nadanya meninggi.

Laung menatapnya lekat, matanya penuh kepedihan. "Kau tidak tahu bagaimana rasanya hidup dalam rumah yang dingin? Setiap malam aku tidur dengan wanita yang tak pernah menginginkanku di sisinya. Tatapannya kosong, hatinya milik orang lain. Aku suaminya, tapi tak pernah sekalipun aku merasakan kehangatan seorang istri. Setiap kali aku mendekat, ia menahan air matanya, seolah aku ini musibah baginya! Aku menjalani neraka ini bukan karena aku ingin, Panda. Aku dijebak dalam kebohongan yang sama sepertimu!"

Panda menggeram. "Dan kau pikir aku peduli? Kau tetap tidur di ranjang bersamanya! Kau tetap memilikinya! Aku? Aku hanya bisa menahan diri melihat wanita yang kucintai menyandang namamu!"

Laung terdiam, napasnya memburu. Panda bangkit, dadanya bergemuruh. "Setiap malam aku memikirkan bagaimana dia menghabiskan waktunya bersamamu! Bagaimana dia menyentuhmu, berbagi napas denganmu! Kau, orang yang kupanggil saudara, kau merebutnya! Kau penyebab aku kehilangan dia!"

Tiba-tiba, Intan berlari masuk ke ruangan. "Cukup, Panda! Hentikan!" Matanya penuh ketakutan. "Jangan salahkan Laung! Ini bukan salahnya!"

Panda menatap Intan dengan perih. "Kau masih membelanya, Intan? Aku tahu kau mencintaiku! Aku tahu hatimu bukan untuknya! Lalu kenapa? Kenapa kau tetap memilih berada di sisinya?!"

Intan menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar. "Karena dia suamiku, Panda… Apa pun yang terjadi, aku telah menikah dengannya. Aku harus menjalani ini, meski hatiku tetap milikmu… Aku tak bisa meninggalkannya."

Panda merasa dunianya runtuh. Ia mendekat, menggenggam bahu Intan dengan kasar. "Jadi aku harus menerima kenyataan bahwa kau tidur dengan pria lain setiap malam, sementara aku mati perlahan dalam kerinduan? Kau memintaku untuk itu?!"

Laung segera menarik Panda menjauh. "Jangan sentuh dia seperti itu!"

Kemarahan Panda memuncak. Dengan gerakan cepat, ia meraih pisau yang tergeletak di atas meja kayu dan menghunusnya ke arah Laung. Mata Laung membelalak, tetapi ia tak bergerak, seolah sudah pasrah pada nasibnya.

"Kau merenggut segalanya dariku!" Panda meraung, napasnya terengah-engah. Tangannya gemetar memegang pisau yang hampir menyentuh dada Laung.

"Panda, hentikan!" Intan menjerit, mencoba menghalangi. Dalam kekacauan itu, pisau Panda tak sengaja menyayat lengan Intan. Darah merembes dari kain bajunya yang koyak. Intan mengerang, tubuhnya oleng sebelum jatuh ke lantai.

"INTAN!" jeritan Umak memenuhi ruangan. Laung segera merangkul tubuh istrinya yang berlumuran darah, sementara Panda terduduk, pisau terlepas dari tangannya.

Semua orang panik. Ayah segera mengangkat Intan ke dalam pelukannya, berlari keluar rumah untuk membawanya ke rumah sakit.

Dalam kekacauan itu, Laung tiba-tiba berbisik lirih, "Karena kau dan dia… adalah saudara sepersusuan…"

Panda terhuyung. Seluruh dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Nafasnya tercekat, pikirannya berputar liar. Semua kemarahan, semua kebencian yang ia simpan selama ini, mendadak sirna—digantikan oleh rasa perih yang lebih dalam dari luka mana pun.

Mereka semua pergi. Panda tidak ikut membawa Intan ke rumah sakit. Ia hanya diam, masih terduduk di tempatnya.

Angin kembali berembus, lebih dingin dari sebelumnya. Dalam remang cahaya lampu minyak, Panda menatap pisau di tangannya. Jleeeeb! Logam itu menembus perutnya. Ia tidak menangis, tidak meraung. Perlahan, ia merasakan sesuatu yang hangat merembes dari perutnya.

Tangannya gemetar menyentuh luka itu, merasakan basahnya darah yang mulai membanjiri tubuhnya. Pandangannya kabur, napasnya tersengal.

Ia menatap langit di luar jendela. Untuk pertama kalinya, ia melihat bintang yang begitu jauh dan tak terjangkau—seperti perasaannya terhadap Intan. Kini, ia tahu. Ia harus melepaskan.

Matanya perlahan tertutup. Nafasnya mulai terputus-putus.

Malam semakin larut. Di dalam sunyi yang membelenggu, hanya ada tubuh Panda yang terduduk diam, tersisa dalam kesunyian yang abadi.

 

×
Fiksi Fillo Baru KLIK