Cerita Sari Nyata
Di Bawah Bumi, Di Atas Langit
oleh Erwinsyah Putra
Di sebuah
desa kecil yang jauh dari pusat pemerintahan kolonial Belanda, hiduplah seorang
pria bernama Malik Rasyid, sosok sederhana dengan tatapan tajam yang menyimpan
gelora perjuangan. Ia adalah anak dari seorang petani miskin, tumbuh di tengah
sawah dan bau lumpur yang menemani hari-harinya. Namun, Malik tidak pernah
merasa kecil meski dunia seolah mengecilkan dirinya. Ia memiliki sesuatu yang
tidak bisa dihancurkan: keyakinan bahwa negeri ini harus merdeka, bebas dari
belenggu tirani.
Masa itu
adalah masa kelam. Pajak-pajak tinggi mencekik leher rakyat, sementara
tanah-tanah pertanian dirampas oleh para tuan tanah yang bekerja sama dengan
pemerintah kolonial. Setiap orang yang berani melawan, berisiko diasingkan atau
lebih buruk—hilang tanpa jejak.
Di suatu
senja yang membara, Malik duduk di sebuah bangku kayu di depan rumah panggung
kecilnya. Di tangannya, ia memegang sebuah buku catatan lusuh yang penuh dengan
tulisan-tulisan tangan. Wajahnya tampak letih, tetapi matanya tetap menyala.
"Malik,
apakah kau yakin dengan rencana ini?" suara lirih itu datang dari sahabat
setianya, Fadil. Fadil adalah sosok yang selalu ada di samping Malik sejak
mereka kecil. Wajahnya penuh keraguan.
"Tidak
ada jalan lain, Fadil," jawab Malik tanpa ragu. "Jika kita tidak
bergerak sekarang, mereka akan terus merampas tanah kita, menghancurkan hidup
kita, dan menginjak-injak martabat kita. Aku tidak bisa lagi diam. Aku lebih
baik mati berdiri daripada hidup berlutut."
Fadil
menatapnya lama. Ada ketakutan di hatinya, tetapi juga kekaguman. Malik selalu
seperti itu, penuh keyakinan, meski badai di depannya begitu besar.
Malik
bukan sekadar seorang petani yang ingin melawan. Ia adalah sosok yang pernah
merasakan dunia luar. Selama beberapa tahun, ia sempat belajar di kota besar di
bawah asuhan seorang guru yang memperkenalkannya pada ide-ide revolusi. Ia
membaca buku-buku karya pemikir besar seperti Karl Marx, Lenin, dan tulisan
para pejuang kemerdekaan Asia. Salah satu buku yang paling mempengaruhinya adalah
sebuah karya tentang konsep "revolusi total".
"Revolusi
tidak pernah datang dari senjata semata," kata Malik suatu malam kepada
Fadil. "Ia datang dari kesadaran rakyat bahwa mereka memiliki hak untuk
hidup lebih baik."
Beberapa
minggu kemudian, di sebuah ruang bawah tanah yang sempit dan remang-remang,
sekelompok pemuda berkumpul di sekeliling Malik. Mereka semua mengenakan
pakaian lusuh, mata mereka dipenuhi semangat yang sama. Malik berdiri di
tengah, suaranya menggema di ruangan kecil itu.
"Saudara-saudara,
kita telah cukup lama hidup di bawah bayang-bayang ketidakadilan. Mereka yang
berkuasa telah melupakan kita, menindas kita dengan pajak yang tak masuk akal,
merampas hak kita, dan membiarkan kita kelaparan. Kita bukan budak di negeri
kita sendiri!" suaranya menggelegar, membuat ruangan itu bergetar oleh
energi yang ia pancarkan.
Seorang
pemuda bernama Ihsan berdiri, mengepalkan tangan. "Apa yang harus kita
lakukan, Malik? Aku lelah hidup seperti ini! Katakan, dan aku akan ikut
bersamamu sampai akhir!"
Malik
tersenyum tipis. Ia tahu bahwa perjuangan ini bukan sekadar soal senjata atau
kekuatan fisik. Ini adalah perjuangan ide dan keberanian. Ia menatap setiap
wajah di ruangan itu, memastikan bahwa mereka memahami risiko yang akan mereka
hadapi.
"Kita
akan melawan dengan cara yang tidak pernah mereka duga. Kita akan menyusup ke
kota, menyebarkan pamflet-pamflet, menyadarkan rakyat tentang hak mereka. Kita
akan membangunkan mereka dari tidur panjang mereka. Dan ketika saatnya tiba,
kita akan berdiri bersama, melawan penindasan ini."
Pamflet-pamflet
itu berisi seruan yang menggugah:
"Rakyat
tidak akan selamanya tunduk! Negeri ini milik kita, bukan milik para
penindas!"
Suara
sorak-sorai kecil memenuhi ruangan. Meski sebagian dari mereka adalah pemuda
miskin tanpa banyak harapan, kata-kata Malik seperti suluh yang membakar
semangat mereka.
Hari-hari
berlalu. Di sudut-sudut kota, pamflet-pamflet berisi seruan perlawanan mulai
muncul. Pesan-pesan yang ditulis tangan itu menyebar cepat, mengisi hati rakyat
dengan harapan baru. Nama "Gerakan Matahari", gerakan yang dipimpin
oleh Malik, mulai terdengar di mana-mana.
Namun,
berita tentang gerakan itu juga sampai ke telinga para penguasa. Malik menjadi
buruan nomor satu. Ia tahu waktunya di kota tidak akan lama lagi.
"Malik,
mereka mencarimu," bisik Fatimah, seorang perempuan muda yang juga ikut
dalam gerakan itu. Mata Fatimah penuh kecemasan, tetapi ada cinta yang tak ia
sembunyikan dalam tatapannya.
"Aku
tahu, Fatimah," jawab Malik sambil menggenggam tangannya. "Tapi aku
tidak akan lari. Mereka boleh mencariku, menangkapku, bahkan membunuhku. Tapi
ide ini, perjuangan ini, tidak akan pernah mati."
Fatimah
terdiam. Ia tahu tak ada yang bisa menghentikan Malik. Ia hanya berharap takdir
akan sedikit lebih baik kepada pria yang ia cintai itu.
Suatu
malam, suara derap kaki memenuhi gang-gang sempit di kota itu. Pasukan
bersenjata datang mencari Malik. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, Malik
berdiri di depan pintu, menunggu dengan tenang. Ia tahu malam ini adalah
akhirnya.
"Malik
Rasyid! Kau dikepung! Serahkan dirimu!" suara keras dari luar memecah
keheningan malam.
Fadil
muncul dari balik tirai, wajahnya penuh kepanikan. "Malik, kita harus
pergi! Masih ada jalan belakang!"
Malik
menggeleng. "Tidak, Fadil. Jika aku pergi sekarang, mereka akan memburu
orang-orang lain. Aku akan menghadapi mereka. Ini bukan akhir, ini hanya awal
dari sesuatu yang lebih besar."
Fadil
terisak, tetapi ia tahu tak ada gunanya membantah. Malik selalu tahu apa yang
ia lakukan.
Dengan
langkah mantap, Malik membuka pintu. Pasukan bersenjata segera menyergapnya, memborgol
tangannya. Namun, sebelum mereka membawanya pergi, Malik menatap orang-orang di
sekelilingnya.
"Kalian
bisa menangkap tubuhku, tapi kalian tidak akan pernah bisa membunuh
ide-ideku," katanya dengan suara lantang. Kata-kata itu menggema, merasuk
ke dalam hati setiap orang yang mendengarnya.
Malam
itu, Malik dibawa pergi. Namun, namanya tidak pernah mati. Ide-idenya terus
hidup di hati mereka yang pernah mendengarnya, membakar semangat perlawanan
yang tidak akan pernah padam.
Bertahun-tahun
kemudian, di sebuah tugu kecil di tengah kota, nama Malik Rasyid terukir dengan
tinta emas. Ia menjadi simbol perjuangan yang tidak pernah menyerah, sosok yang
memberikan segalanya demi kebebasan.
Di tengah
keramaian kota, seorang bocah kecil bertanya kepada ayahnya, "Ayah, siapa
Malik Rasyid?"
Sang ayah
tersenyum, menatap tugu itu dengan mata yang berkaca-kaca. "Dia adalah
seseorang yang percaya bahwa keadilan harus diperjuangkan, bahkan jika itu
berarti mengorbankan segalanya."
Dan di
bawah langit yang mulai berwarna jingga, nama Malik Rasyid tetap hidup, bersama
angin yang membawa cerita perjuangannya ke setiap sudut negeri.
Terinspirasi dari Perjuangan Tan Malaka.