Jum'at 14 Mar 2025

Notification

×
Jum'at, 14 Mar 2025

Iklan

Iklan

Di Bawah Bumi, Di Atas Langit

Selasa, 11 Februari 2025 | Februari 11, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-10T22:45:15Z

Cerita Sari Nyata

(dari Kisah Tan Malaka)

Di Bawah Bumi, Di Atas Langit

oleh Erwinsyah Putra

Di sebuah desa kecil yang jauh dari pusat pemerintahan kolonial Belanda, hiduplah seorang pria bernama Malik Rasyid, sosok sederhana dengan tatapan tajam yang menyimpan gelora perjuangan. Ia adalah anak dari seorang petani miskin, tumbuh di tengah sawah dan bau lumpur yang menemani hari-harinya. Namun, Malik tidak pernah merasa kecil meski dunia seolah mengecilkan dirinya. Ia memiliki sesuatu yang tidak bisa dihancurkan: keyakinan bahwa negeri ini harus merdeka, bebas dari belenggu tirani.

Masa itu adalah masa kelam. Pajak-pajak tinggi mencekik leher rakyat, sementara tanah-tanah pertanian dirampas oleh para tuan tanah yang bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Setiap orang yang berani melawan, berisiko diasingkan atau lebih buruk—hilang tanpa jejak.

Di suatu senja yang membara, Malik duduk di sebuah bangku kayu di depan rumah panggung kecilnya. Di tangannya, ia memegang sebuah buku catatan lusuh yang penuh dengan tulisan-tulisan tangan. Wajahnya tampak letih, tetapi matanya tetap menyala.

"Malik, apakah kau yakin dengan rencana ini?" suara lirih itu datang dari sahabat setianya, Fadil. Fadil adalah sosok yang selalu ada di samping Malik sejak mereka kecil. Wajahnya penuh keraguan.

"Tidak ada jalan lain, Fadil," jawab Malik tanpa ragu. "Jika kita tidak bergerak sekarang, mereka akan terus merampas tanah kita, menghancurkan hidup kita, dan menginjak-injak martabat kita. Aku tidak bisa lagi diam. Aku lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut."

Fadil menatapnya lama. Ada ketakutan di hatinya, tetapi juga kekaguman. Malik selalu seperti itu, penuh keyakinan, meski badai di depannya begitu besar.

Malik bukan sekadar seorang petani yang ingin melawan. Ia adalah sosok yang pernah merasakan dunia luar. Selama beberapa tahun, ia sempat belajar di kota besar di bawah asuhan seorang guru yang memperkenalkannya pada ide-ide revolusi. Ia membaca buku-buku karya pemikir besar seperti Karl Marx, Lenin, dan tulisan para pejuang kemerdekaan Asia. Salah satu buku yang paling mempengaruhinya adalah sebuah karya tentang konsep "revolusi total".

"Revolusi tidak pernah datang dari senjata semata," kata Malik suatu malam kepada Fadil. "Ia datang dari kesadaran rakyat bahwa mereka memiliki hak untuk hidup lebih baik."


Beberapa minggu kemudian, di sebuah ruang bawah tanah yang sempit dan remang-remang, sekelompok pemuda berkumpul di sekeliling Malik. Mereka semua mengenakan pakaian lusuh, mata mereka dipenuhi semangat yang sama. Malik berdiri di tengah, suaranya menggema di ruangan kecil itu.

"Saudara-saudara, kita telah cukup lama hidup di bawah bayang-bayang ketidakadilan. Mereka yang berkuasa telah melupakan kita, menindas kita dengan pajak yang tak masuk akal, merampas hak kita, dan membiarkan kita kelaparan. Kita bukan budak di negeri kita sendiri!" suaranya menggelegar, membuat ruangan itu bergetar oleh energi yang ia pancarkan.

Seorang pemuda bernama Ihsan berdiri, mengepalkan tangan. "Apa yang harus kita lakukan, Malik? Aku lelah hidup seperti ini! Katakan, dan aku akan ikut bersamamu sampai akhir!"

Malik tersenyum tipis. Ia tahu bahwa perjuangan ini bukan sekadar soal senjata atau kekuatan fisik. Ini adalah perjuangan ide dan keberanian. Ia menatap setiap wajah di ruangan itu, memastikan bahwa mereka memahami risiko yang akan mereka hadapi.

"Kita akan melawan dengan cara yang tidak pernah mereka duga. Kita akan menyusup ke kota, menyebarkan pamflet-pamflet, menyadarkan rakyat tentang hak mereka. Kita akan membangunkan mereka dari tidur panjang mereka. Dan ketika saatnya tiba, kita akan berdiri bersama, melawan penindasan ini."

Pamflet-pamflet itu berisi seruan yang menggugah:

"Rakyat tidak akan selamanya tunduk! Negeri ini milik kita, bukan milik para penindas!"

Suara sorak-sorai kecil memenuhi ruangan. Meski sebagian dari mereka adalah pemuda miskin tanpa banyak harapan, kata-kata Malik seperti suluh yang membakar semangat mereka.


Hari-hari berlalu. Di sudut-sudut kota, pamflet-pamflet berisi seruan perlawanan mulai muncul. Pesan-pesan yang ditulis tangan itu menyebar cepat, mengisi hati rakyat dengan harapan baru. Nama "Gerakan Matahari", gerakan yang dipimpin oleh Malik, mulai terdengar di mana-mana.

Namun, berita tentang gerakan itu juga sampai ke telinga para penguasa. Malik menjadi buruan nomor satu. Ia tahu waktunya di kota tidak akan lama lagi.

"Malik, mereka mencarimu," bisik Fatimah, seorang perempuan muda yang juga ikut dalam gerakan itu. Mata Fatimah penuh kecemasan, tetapi ada cinta yang tak ia sembunyikan dalam tatapannya.

"Aku tahu, Fatimah," jawab Malik sambil menggenggam tangannya. "Tapi aku tidak akan lari. Mereka boleh mencariku, menangkapku, bahkan membunuhku. Tapi ide ini, perjuangan ini, tidak akan pernah mati."

Fatimah terdiam. Ia tahu tak ada yang bisa menghentikan Malik. Ia hanya berharap takdir akan sedikit lebih baik kepada pria yang ia cintai itu.


Suatu malam, suara derap kaki memenuhi gang-gang sempit di kota itu. Pasukan bersenjata datang mencari Malik. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, Malik berdiri di depan pintu, menunggu dengan tenang. Ia tahu malam ini adalah akhirnya.

"Malik Rasyid! Kau dikepung! Serahkan dirimu!" suara keras dari luar memecah keheningan malam.

Fadil muncul dari balik tirai, wajahnya penuh kepanikan. "Malik, kita harus pergi! Masih ada jalan belakang!"

Malik menggeleng. "Tidak, Fadil. Jika aku pergi sekarang, mereka akan memburu orang-orang lain. Aku akan menghadapi mereka. Ini bukan akhir, ini hanya awal dari sesuatu yang lebih besar."

Fadil terisak, tetapi ia tahu tak ada gunanya membantah. Malik selalu tahu apa yang ia lakukan.

Dengan langkah mantap, Malik membuka pintu. Pasukan bersenjata segera menyergapnya, memborgol tangannya. Namun, sebelum mereka membawanya pergi, Malik menatap orang-orang di sekelilingnya.

"Kalian bisa menangkap tubuhku, tapi kalian tidak akan pernah bisa membunuh ide-ideku," katanya dengan suara lantang. Kata-kata itu menggema, merasuk ke dalam hati setiap orang yang mendengarnya.

Malam itu, Malik dibawa pergi. Namun, namanya tidak pernah mati. Ide-idenya terus hidup di hati mereka yang pernah mendengarnya, membakar semangat perlawanan yang tidak akan pernah padam.


Bertahun-tahun kemudian, di sebuah tugu kecil di tengah kota, nama Malik Rasyid terukir dengan tinta emas. Ia menjadi simbol perjuangan yang tidak pernah menyerah, sosok yang memberikan segalanya demi kebebasan.

Di tengah keramaian kota, seorang bocah kecil bertanya kepada ayahnya, "Ayah, siapa Malik Rasyid?"

Sang ayah tersenyum, menatap tugu itu dengan mata yang berkaca-kaca. "Dia adalah seseorang yang percaya bahwa keadilan harus diperjuangkan, bahkan jika itu berarti mengorbankan segalanya."

Dan di bawah langit yang mulai berwarna jingga, nama Malik Rasyid tetap hidup, bersama angin yang membawa cerita perjuangannya ke setiap sudut negeri.

Terinspirasi dari Perjuangan Tan Malaka.

Iklan 728x90
Iklan 728x90
×
Fiksi Fillo Baru KLIK