Cerita Sari Nyata
Gelap yang Bercahaya
oleh Erwinsyah Putra
Amat Boyan, seorang perampok legendaris dari Sumatra Timur, dikenal karena kekejamannya. Namun, di balik sosok garangnya, ia menyimpan dendam pada penjajah yang menghancurkan keluarganya. Perjalanan hidupnya berubah ketika perjuangan mempertahankan kemerdekaan memberi Amat kesempatan untuk menebus dosa-dosanya di masa lalu.
***
Di tengah
malam yang gelap, suara derap langkah kuda dan kereta tua terdengar di jalan
setapak di tepi hutan Sumatra Timur. Penduduk desa menutup jendela mereka
dengan tergesa-gesa. Nama Ahmad Bayan bergaung di bibir mereka dengan nada
ketakutan.
Amat
berdiri di atas bukit kecil, mengawasi jalan di bawahnya. Ia mengenakan penutup
kepala hitam, matanya tajam, dan di pinggangnya tergantung sebilah parang yang
sudah mencicipi darah tak terhitung jumlahnya.
"Harta
itu milik Belanda. Kita rampas, lalu bagikan pada yang butuh," katanya pada anak buahnya, suara
beratnya menggema di udara dingin.
"Dan
kalau ada yang melawan, apa yang harus kita lakukan, Bang?" tanya Sutan, tangan kanannya.
Malam
itu, Amat dan anak buahnya menyerbu konvoi Belanda. Tembakan pecah, jeritan
terdengar, dan kegelapan menyelimuti medan pertempuran kecil itu. Saat fajar
tiba, Amat kembali ke persembunyian di hutan, membawa harta yang cukup untuk
membantu keluarga-keluarga miskin yang terlilit utang pada Belanda.
***
Di sebuah
gubuk kecil di tepi sungai, Amat duduk di depan api unggun, menatap nyala api
yang menari. Di tangannya, ia memegang kalung kecil berbentuk bunga
melati—satu-satunya kenangan dari istrinya yang tewas ketika Belanda membakar
rumah mereka bertahun-tahun silam.
"Kau
lihat ini, Nur?" gumamnya
pelan, seolah berbicara pada istrinya yang telah tiada. "Aku akan
pastikan mereka membayar untuk setiap tetes darah yang mereka ambil
darimu."
Namun, di
balik kebencian itu, Amat mulai merasa lelah. Setiap perampokan dan pertumpahan
darah membuat beban di hatinya semakin berat.
"Sampai
kapan aku hidup seperti ini?" pikirnya. Ia tahu, ia bukan pahlawan sejati. Di
mata sebagian orang, ia hanyalah seorang bandit yang haus darah.
***
Suatu
malam, Amat bertemu dengan Kiai Marzuki, seorang tokoh perjuangan yang
sedang mengumpulkan pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kiai
Marzuki tahu siapa Amat—dan ia tahu bahwa Amat adalah orang yang dibutuhkan
untuk memimpin perlawanan di daerah itu.
Kata-kata
Kiai Marzuki menghantam hati Amat. Ia tahu, ada kebenaran dalam ucapan itu.
****
Amat
menerima tawaran itu. Ia mulai memimpin serangan gerilya melawan pasukan
Belanda, menggunakan taktik yang sama seperti ketika ia masih menjadi perampok.
Perbedaannya, kali ini ia tidak merampas harta—ia merebut kembali kebebasan
yang dirampas dari rakyatnya.
Setiap
kemenangan kecil menjadi cahaya baru dalam hidupnya. Amat mulai dikenal bukan
lagi sebagai bandit, tetapi sebagai pahlawan yang melindungi rakyat dari
cengkeraman penjajah.
Namun,
perang selalu membawa korban. Suatu malam, Amat harus memilih antara
menyelamatkan sekelompok penduduk desa atau membunuh komandan Belanda yang
bertanggung jawab atas pembantaian keluarganya. Dengan berat hati, ia memilih
menyelamatkan penduduk desa, membiarkan dendam lamanya berlalu.
***
Perang
usai. Amat kembali ke gubuk kecilnya di tepi sungai, tubuhnya penuh luka dan
rambutnya memutih. Ia bukan lagi raja jalanan yang ditakuti, tetapi seorang
pria tua yang telah berdamai dengan masa lalunya.
Di sebuah
pagi yang tenang, Kiai Marzuki datang menemuinya.
***
Ahmad
Bayan menghilang dari sejarah seperti bayangan malam yang tersapu cahaya pagi.
Namun, kisahnya tetap hidup di antara penduduk desa, menjadi legenda tentang
pria yang berjuang di dua dunia—sebagai bandit dan sebagai pahlawan.
Setiap
anak yang tumbuh di desa itu mendengar kisahnya: "Jangan pernah menilai
seseorang hanya dari masa lalunya. Bahkan seorang bandit bisa menjadi
pahlawan."