Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Gelap yang Bercahaya

Selasa, 11 Februari 2025 | Februari 11, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-28T14:52:46Z

Cerita Sari Nyata

(dari Kisah Amat Boyan)

Gelap yang Bercahaya 

oleh Erwinsyah Putra

Amat Boyan, seorang perampok legendaris dari Sumatra Timur, dikenal karena kekejamannya. Namun, di balik sosok garangnya, ia menyimpan dendam pada penjajah yang menghancurkan keluarganya. Perjalanan hidupnya berubah ketika perjuangan mempertahankan kemerdekaan memberi Amat kesempatan untuk menebus dosa-dosanya di masa lalu.

***

Promo Diskon 50%

Promo Diskon 50%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

Di tengah malam yang gelap, suara derap langkah kuda dan kereta tua terdengar di jalan setapak di tepi hutan Sumatra Timur. Penduduk desa menutup jendela mereka dengan tergesa-gesa. Nama Ahmad Bayan bergaung di bibir mereka dengan nada ketakutan.

Amat berdiri di atas bukit kecil, mengawasi jalan di bawahnya. Ia mengenakan penutup kepala hitam, matanya tajam, dan di pinggangnya tergantung sebilah parang yang sudah mencicipi darah tak terhitung jumlahnya.

"Harta itu milik Belanda. Kita rampas, lalu bagikan pada yang butuh," katanya pada anak buahnya, suara beratnya menggema di udara dingin.

"Dan kalau ada yang melawan, apa yang harus kita lakukan, Bang?" tanya Sutan, tangan kanannya.

Amat menoleh, wajahnya tak menunjukkan belas kasih.
"Kita tidak pilih kasih. Entah Belanda, entah pengkhianat, mereka semua sama di mata parangku."

Malam itu, Amat dan anak buahnya menyerbu konvoi Belanda. Tembakan pecah, jeritan terdengar, dan kegelapan menyelimuti medan pertempuran kecil itu. Saat fajar tiba, Amat kembali ke persembunyian di hutan, membawa harta yang cukup untuk membantu keluarga-keluarga miskin yang terlilit utang pada Belanda.

***

Di sebuah gubuk kecil di tepi sungai, Amat duduk di depan api unggun, menatap nyala api yang menari. Di tangannya, ia memegang kalung kecil berbentuk bunga melati—satu-satunya kenangan dari istrinya yang tewas ketika Belanda membakar rumah mereka bertahun-tahun silam.

"Kau lihat ini, Nur?" gumamnya pelan, seolah berbicara pada istrinya yang telah tiada. "Aku akan pastikan mereka membayar untuk setiap tetes darah yang mereka ambil darimu."

Namun, di balik kebencian itu, Amat mulai merasa lelah. Setiap perampokan dan pertumpahan darah membuat beban di hatinya semakin berat.

"Sampai kapan aku hidup seperti ini?" pikirnya. Ia tahu, ia bukan pahlawan sejati. Di mata sebagian orang, ia hanyalah seorang bandit yang haus darah.

***

Suatu malam, Amat bertemu dengan Kiai Marzuki, seorang tokoh perjuangan yang sedang mengumpulkan pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kiai Marzuki tahu siapa Amat—dan ia tahu bahwa Amat adalah orang yang dibutuhkan untuk memimpin perlawanan di daerah itu.

"Amat, aku tahu kau punya masa lalu kelam. Tapi negara ini butuh orang sepertimu," kata Kiai Marzuki.
"Aku tidak berjuang untuk siapa pun lagi, Kiai. Aku sudah kehilangan segalanya," jawab Amat dingin.
"Kalau begitu, berjuanglah untuk jiwamu sendiri. Ini kesempatanmu untuk menebus dosa."

Kata-kata Kiai Marzuki menghantam hati Amat. Ia tahu, ada kebenaran dalam ucapan itu.

****

Amat menerima tawaran itu. Ia mulai memimpin serangan gerilya melawan pasukan Belanda, menggunakan taktik yang sama seperti ketika ia masih menjadi perampok. Perbedaannya, kali ini ia tidak merampas harta—ia merebut kembali kebebasan yang dirampas dari rakyatnya.

Setiap kemenangan kecil menjadi cahaya baru dalam hidupnya. Amat mulai dikenal bukan lagi sebagai bandit, tetapi sebagai pahlawan yang melindungi rakyat dari cengkeraman penjajah.

Namun, perang selalu membawa korban. Suatu malam, Amat harus memilih antara menyelamatkan sekelompok penduduk desa atau membunuh komandan Belanda yang bertanggung jawab atas pembantaian keluarganya. Dengan berat hati, ia memilih menyelamatkan penduduk desa, membiarkan dendam lamanya berlalu.

***

Perang usai. Amat kembali ke gubuk kecilnya di tepi sungai, tubuhnya penuh luka dan rambutnya memutih. Ia bukan lagi raja jalanan yang ditakuti, tetapi seorang pria tua yang telah berdamai dengan masa lalunya.

Di sebuah pagi yang tenang, Kiai Marzuki datang menemuinya.

"Apa rencanamu sekarang, Amat?"
Amat tersenyum tipis.
"Aku hanya ingin hidup tenang. Mungkin menanam padi, atau menulis cerita tentang orang yang kau sebut pahlawan itu."

***

Promo Diskon 50%

Promo Diskon 50%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

Ahmad Bayan menghilang dari sejarah seperti bayangan malam yang tersapu cahaya pagi. Namun, kisahnya tetap hidup di antara penduduk desa, menjadi legenda tentang pria yang berjuang di dua dunia—sebagai bandit dan sebagai pahlawan.

Setiap anak yang tumbuh di desa itu mendengar kisahnya: "Jangan pernah menilai seseorang hanya dari masa lalunya. Bahkan seorang bandit bisa menjadi pahlawan."

 

×
Fiksi Fillo Baru KLIK