Cerita Sambung
Prithvi Hamare Hai
Episode 3: Hukum Tanpa Nama
oleh Erwinsyah Putra
Di bawah kubah kaca raksasa yang melindungi Ceres dari kehampaan luar angkasa, matahari buatan bersinar lembut, membanjiri ladang gandum dengan cahaya keemasan. Angin buatan berembus pelan, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Di sini, di tengah-tengah Sabuk Asteroid, kehidupan tumbuh subur meski jauh dari Bumi.
Lady Cartine berjalan pelan di antara barisan gandum, jari-jarinya menyentuh butir-butir kecil yang hampir matang. Suara gemerisik gandum seperti bisikan lembut, sementara pikirannya tenggelam dalam kekhawatiran. Shekar Dion, lelaki Mars yang selama ini mendukungnya dari bayang-bayang, sudah menunggunya di ujung ladang bersama Maia, putri pemimpin Jupiter yang tangguh dan cerdas.
Di bawah naungan pohon ara sintetis yang berdiri di tepi kebun, Shekar membuka percakapan, suaranya rendah namun tajam. “Cartine, jaringanmu di Mars sudah bergerak. Mereka siap, tetapi risikonya semakin besar.”
Cartine menatapnya sejenak, lalu menoleh pada Maia, yang mengangguk setuju. “Kita harus berhati-hati, Cartine. Patriark Bumi tidak akan tinggal diam jika mereka mencium rencana kita.”
Cartine tersenyum tipis, meski sorot matanya tetap tegas. “Hati-hati adalah bagian dari hidup kita. Tapi kali ini, kita tidak punya waktu untuk ragu.” Dia memandang hamparan gandum di depannya, suaranya nyaris berbisik. “Kita akan mengubah dunia dengan cara yang mereka tidak pernah duga.”
Angin kembali berembus pelan, membawa suara langkah kaki yang hampir tak terdengar. Di kejauhan, di balik bayang-bayang gudang benih, Karel berdiri diam, matanya memperhatikan dengan cermat. Tidak ada yang menyadari keberadaannya. Di tangannya, perangkat kecil bersinar merah.
“Informasi ini akan segera sampai ke Bumi,” pikirnya dengan dingin. Dia tahu risikonya, tetapi baginya, kesetiaan pada Patriark lebih penting dari segalanya.
***
Langit di atas kubah berubah warna, menandakan pergantian waktu. Di dalam Laboratorium Eden, tempat penelitian benih terbaik Sabuk dilakukan, Cartine, Shekar, dan Maia duduk mengelilingi meja bulat. Sebuah hologram melayang di tengah-tengah mereka, menampilkan rute pengiriman gandum yang akan menjadi saluran rahasia untuk menyebarkan pesan mereka ke seluruh tata surya.
“Koloni Jupiter akan menjadi kunci,” kata Maia sambil menelusuri jalur holografis dengan jarinya. “Jika mereka bergabung dengan kita, ini akan mengubah segalanya. Mereka memiliki teknologi gravitasi buatan yang bisa kita gunakan.”
Shekar mengetukkan jarinya ke meja, berpikir keras. “Tapi rute ini terlalu jelas. Jika mereka tahu kita menggunakan pengiriman gandum sebagai saluran komunikasi, kita akan berada dalam bahaya besar.”
Cartine mengangkat dagunya, matanya bersinar dengan tekad. “Kita tidak punya pilihan lain. Ini satu-satunya cara untuk menjangkau koloni-koloni yang paling jauh. Kita harus bertindak sebelum Patriark mengambil alih segalanya.”
Namun, di sudut ruang, bayangan gelap kembali mengintai. Karel sudah lebih dulu mengirimkan pesan itu. Di Bumi, Patriark sudah mulai bergerak.
***
Malam di Ceres tiba dengan cepat, tetapi di laboratorium, tak ada waktu untuk beristirahat. Diskusi terus berlanjut, strategi disusun dengan cermat. Namun, ketegangan mulai terasa seperti tali yang perlahan ditarik, siap putus kapan saja.
Aiden, salah satu anggota kepercayaan Cartine, tiba-tiba masuk ke ruangan dengan wajah tegang. “Pesan kita bocor,” katanya tanpa basa-basi. “Mereka tahu tentang pengiriman ke Mars.”
Hening. Mata Cartine menyipit, tatapannya berubah dingin dalam sekejap. “Bagaimana itu bisa terjadi?”
Aiden menggeleng pelan. “Hanya ada segelintir orang yang tahu rencana ini. Itu berarti pengkhianat ada di antara kita.”
Shekar mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. “Kita harus segera menemukan siapa dia sebelum informasi lebih banyak bocor.”
“Dan kita akan menemukannya,” potong Cartine tegas. “Tapi yang lebih penting, kita harus bertindak sebelum mereka bergerak lebih dulu. Kita kirimkan sinyal palsu dan alihkan perhatian mereka. Jika mereka fokus ke Mars, kita akan meluncur ke Jupiter dan menyebarkan pesan dari sana.”
Di kejauhan, kapal-kapal kecil milik Patriark mulai bermunculan dari kegelapan, menyelinap di antara asteroid Sabuk. Mereka bergerak seperti bayangan, senyap dan mematikan, menuju Ceres.
Sementara itu, di dalam kubah, Cartine berdiri di balkon kecil yang menghadap ladang gandum. Lampu-lampu dermaga berkilauan seperti bintang di kejauhan. Di sampingnya, Maia dan Shekar berdiri, diam dalam pikirannya masing-masing.
“Apa pun yang terjadi,” bisik Cartine, “kita tidak akan mundur.”
Langit di atas mereka mulai memerah, seolah meramalkan badai yang akan datang.