Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Jejak yang Tak Terlihat

Kamis, 13 Februari 2025 | Februari 13, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-28T14:43:08Z

 

Cerita Pendek

Jejak yang Tak Terlihat

oleh Erwinsyah Putra

Malam itu, Raka duduk di sudut perpustakaan sekolah, memandangi buku di depannya tanpa benar-benar membaca. Pikirannya penuh dengan tanda tanya. Tiga hari yang lalu, sekolahnya gempar karena kasus pencurian laptop milik Pak Arya, guru matematika mereka. Yang membuatnya semakin heboh, laptop itu berisi soal ujian akhir yang akan berlangsung dalam dua minggu ke depan.

Bayu langsung menjadi tersangka utama. Anak yang sering terlibat masalah itu memang punya reputasi buruk. Pernah tertangkap mencuri makanan di kantin dan terlibat beberapa kali perkelahian. Semua orang seakan setuju bahwa Bayu pasti pelakunya. Tapi Raka punya firasat berbeda. Sesuatu terasa tidak benar.

Ia mulai menyelidiki dengan cara sederhana: bertanya pada beberapa teman sekelas.

"Aku lihat Bayu lewat koridor dekat ruang guru malam itu," kata Dimas, salah satu anak terpintar di kelasnya. "Jadi, ya... menurutku dia pelakunya."

"Serius? Dia keluar dari ruang guru?" tanya Raka, mencoba memastikan.

Promo Diskon 50%

Promo Diskon 50%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

"Nggak, sih. Cuma lewat aja," jawab Dimas sambil mengangkat bahu.

Jawaban itu membuat Raka semakin curiga. Jika Bayu benar-benar mencuri laptop, pasti ada yang melihatnya masuk atau keluar dari ruangan itu. Tapi sejauh ini, semua hanya berisi asumsi.

Raka kemudian menemui Pak Joko, satpam sekolah, yang malam itu bertugas.

"Pak, CCTV sekolah waktu malam kejadian masih ada?" tanyanya.

Pak Joko menghela napas panjang. "Sayangnya, kamera di dekat ruang guru rusak. Udah lama nggak diperbaiki."

Raka merasa semakin yakin ada yang tidak beres. Tanpa bukti rekaman, tuduhan ke Bayu hanya berdasarkan dugaan belaka.

Ia memutuskan untuk berbicara langsung dengan Bayu. Menunggu saat yang tepat untuk mendengar versi cerita dari anak yang semua orang anggap sebagai pencuri itu.

***

Keesokan harinya, Raka menunggu Bayu di belakang gedung olahraga—tempat favoritnya untuk menyendiri. Ia tahu, jika mendekati Bayu di depan banyak orang, hanya akan membuatnya semakin defensif.

Benar saja, tak lama kemudian Bayu muncul, duduk di bangku semen dengan wajah muram.

"Ada apa, Raka?" tanyanya tanpa menoleh.

"Aku cuma mau nanya sesuatu soal kasus laptop Pak Arya," ujar Raka hati-hati.

Bayu mendengus. "Kamu juga percaya kalau aku pelakunya?"

"Bukan itu. Aku cuma mau dengar ceritamu," jawab Raka jujur.

Bayu terdiam beberapa saat sebelum akhirnya bicara. "Malam itu, aku memang ada di koridor ruang guru, tapi aku nggak masuk ke dalam. Aku cuma lewat karena habis dipanggil Pak Joko. Dia lihat aku nongkrong di belakang sekolah dan nyuruh pulang."

Raka menatapnya tajam. "Jadi, kamu ada alibi?"

"Aku sampai gerbang sekolah sekitar jam delapan malam. Pak Joko bisa mengonfirmasi itu," ujar Bayu, masih dengan nada kesal.

Raka berpikir sejenak. Jika Bayu benar-benar meninggalkan sekolah jam delapan malam, lalu kapan pencurian terjadi?

"Kamu lihat siapa pun yang mencurigakan malam itu?" tanya Raka.

Bayu menggeleng. "Sepi. Tapi pas aku jalan keluar, aku sempat dengar suara langkah kaki dari arah ruang guru."

"Langkah kaki?" Raka mengulang dengan penuh perhatian.

"Iya. Awalnya pelan, lalu makin cepat, kayak orang buru-buru. Tapi aku nggak lihat siapa-siapa."

Detak jantung Raka berdegup lebih cepat. Jika ada orang lain di dekat ruang guru malam itu, berarti ada kemungkinan pencurinya bukan Bayu.

Ia harus mencari tahu lebih banyak.

Dan satu hal yang pasti—ada seseorang yang ingin Bayu menjadi kambing hitam.

***

Raka berjalan cepat menuju pos satpam. Ia harus memastikan satu hal—alibi Bayu. Jika benar Bayu meninggalkan sekolah pukul delapan, maka ia bukan pencuri laptop Pak Arya.

Pak Joko sedang duduk di depan layar monitor CCTV, mengamati halaman sekolah. Saat Raka mendekat, pria paruh baya itu menoleh dan tersenyum kecil.

"Ada apa, Nak?"

"Pak, saya mau nanya soal malam pencurian laptop Pak Arya. Waktu itu Bapak lihat Bayu keluar sekolah jam berapa?"

Pak Joko mengerutkan kening, lalu mengangguk pelan. "Iya, Bayu keluar sekitar jam delapan. Saya sendiri yang lihat dia jalan ke gerbang."

Raka menghela napas lega. Itu berarti Bayu tidak mungkin pelakunya.

"Tapi Pak, kalau begitu siapa yang masih di dalam sekolah setelah jam delapan?"

Pak Joko terdiam sejenak. "Hmm... Setelah Bayu keluar, seingat saya, tinggal beberapa guru yang masih ada di ruang guru. Pak Arya juga masih di sana, kayaknya sedang ngerjain sesuatu di laptopnya."

Raka merasakan ada yang janggal. Jika Pak Arya masih ada di ruang guru setelah Bayu pergi, lalu kapan pencurian terjadi?

"Terus, Pak Arya pulang jam berapa?" tanyanya lagi.

"Seingat saya, sekitar jam sembilan lebih. Saya lihat dia keluar ruang guru, bawa tasnya, lalu pergi ke parkiran," jawab Pak Joko.

Raka semakin bingung. Jika Pak Arya masih ada di ruang guru setelah Bayu pergi, berarti ada kemungkinan laptopnya belum dicuri saat itu. Tapi jika benar begitu, kenapa esok paginya laptop itu sudah hilang?

Ada sesuatu yang tidak beres.

Raka memutuskan untuk kembali ke ruang guru, mencari petunjuk yang mungkin terlewat. Saat ia sampai di depan ruangan itu, pintunya terkunci, tetapi ada celah kecil di jendela yang bisa ia intip.

Matanya langsung tertuju pada meja Pak Arya. Ada sesuatu yang aneh.

Lapisan debu tipis menutupi hampir semua permukaan meja—kecuali satu bagian. Sebuah jejak tangan samar terlihat di bagian meja tempat laptop biasanya diletakkan.

Seseorang telah mengambil laptop itu—dan memastikan tidak meninggalkan jejak lain.

Tapi Raka yakin, tidak ada kejahatan yang sempurna.

Dan ia akan menemukan jawabannya.

***

Malam semakin larut ketika Raka kembali ke rumah. Pikirannya penuh dengan kemungkinan. Jika Bayu bukan pelakunya, dan Pak Arya masih berada di ruang guru setelah Bayu pergi, maka pencurinya pasti seseorang yang masih ada di sekolah setelah pukul sembilan.

Raka mengingat ucapan Pak Joko—hanya beberapa guru yang tersisa di ruang guru malam itu. Tapi siapa?

Esok paginya, Raka tiba lebih awal di sekolah. Ia menuju ruang guru, berharap bisa menemukan sesuatu sebelum banyak orang datang. Ia memperhatikan meja Pak Arya lebih teliti. Selain jejak tangan yang ia lihat kemarin, tidak ada tanda-tanda lain. Tapi saat ia menggeser kursi Pak Arya, sesuatu menarik perhatiannya.

Sebuah pena kecil, berwarna hitam dengan logo sekolah terukir di sampingnya. Itu bukan pena biasa—itu pena khusus yang hanya diberikan kepada staf sekolah dalam acara tahunan.

"Siapa yang terakhir ada di ruangan ini selain Pak Arya?" gumam Raka.

Lalu ia teringat sesuatu—Pak Arya pulang dengan membawa tasnya. Bagaimana jika laptopnya tidak benar-benar dicuri di ruang guru?

Raka memutuskan untuk menemui seseorang yang mungkin bisa memberikan jawaban—Pak Arya sendiri.

***

Pak Arya sedang mengoreksi tugas di mejanya saat Raka mengetuk pintu.

"Pak, maaf mengganggu. Saya ingin bertanya tentang laptop Bapak yang hilang."

Pak Arya menatapnya dengan bingung. "Kenapa kamu tertarik dengan itu, Raka?"

Promo Diskon 50%

Promo Diskon 50%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

"Saya hanya ingin tahu lebih banyak. Saya merasa ada yang aneh dengan kasus ini," jawab Raka jujur.

Pak Arya menghela napas. "Jujur saja, saya juga bingung. Laptop saya ada di meja saat saya terakhir melihatnya, tapi keesokan paginya, hilang begitu saja."

Raka mengamati gerak-gerik gurunya. Ia tampak ragu, seolah menyembunyikan sesuatu.

"Lalu, Bapak pulang jam berapa malam itu?"

"Kurang lebih jam sembilan lebih sedikit. Saya mengunci ruang guru sebelum pergi," jawabnya.

"Laptop Bapak ada di dalam tas saat Bapak pulang?"

Pak Arya mengerutkan dahi. "Tentu saja tidak. Kalau begitu, pasti saya sadar kalau laptop saya hilang sebelum pulang, bukan?"

Raka mengangguk, lalu mengambil pena hitam dari saku celananya dan menunjukkannya kepada Pak Arya.

"Bapak kenal dengan ini?"

Pak Arya terdiam sejenak. "Itu pena dari acara tahunan sekolah. Semua guru punya."

"Benar. Tapi saya menemukannya di bawah meja Bapak," kata Raka pelan. "Bapak yakin tidak ada orang lain di ruang guru sebelum Bapak pulang?"

Pak Arya tampak berpikir. Lalu, matanya sedikit melebar, seperti mengingat sesuatu.

"Saya ingat! Malam itu, Pak Jati sempat kembali ke ruang guru sebentar. Katanya ia lupa membawa buku catatan."

Pak Jati—guru olahraga yang jarang terlihat di ruang guru kecuali jika ada urusan penting.

Raka merasakan ada sesuatu yang janggal.

***

Raka memutuskan untuk menemui Pak Jati saat jam istirahat. Ia menunggunya di luar ruang guru, dan begitu pria bertubuh kekar itu keluar, Raka mendekatinya.

"Pak Jati, maaf, saya ingin bertanya sesuatu."

Pak Jati menoleh. "Ada apa, Raka?"

"Benarkah Bapak kembali ke ruang guru malam pencurian laptop Pak Arya?"

Raut wajah Pak Jati sedikit berubah. "Hah? Oh... iya, saya lupa buku catatan saya, jadi saya kembali sebentar."

"Lalu, apakah Bapak melihat sesuatu yang aneh di ruangan itu?"

Pak Jati menggeleng. "Tidak, semua tampak biasa saja."

Tapi Raka menangkap sesuatu—jawaban Pak Jati terdengar terlalu cepat, seolah ia sudah menyiapkannya.

"Pak, ini pena milik salah satu guru, dan saya menemukannya di meja Pak Arya," kata Raka sambil mengeluarkan pena hitam itu.

Pak Jati menatap pena itu, lalu tertawa kecil. "Pena seperti itu ada banyak, Raka. Kamu tidak bisa menuduh seseorang hanya karena sebuah pena."

"Tentu saja tidak," kata Raka, tetap tenang. "Tapi ada satu hal lagi. CCTV di luar ruang guru memang rusak, tapi kamera di koridor dekat pintu masuk sekolah masih berfungsi. Jika Bapak benar-benar hanya kembali untuk mengambil buku, maka seharusnya Bapak langsung keluar setelah itu."

Pak Jati terdiam.

Raka melanjutkan, "Tapi jika ternyata Bapak berada di ruang guru lebih lama dari yang seharusnya, mungkin Bapak bisa menjelaskan kenapa?"

Pak Jati terlihat gelisah. Matanya beralih ke arah lain, lalu akhirnya ia menghela napas.

"Kau ini benar-benar cerdik, Raka," katanya pelan. "Baiklah... Aku memang mengambil sesuatu dari ruang guru malam itu. Tapi bukan laptop."

Raka menatapnya tajam. "Lalu, apa yang Bapak ambil?"

Pak Jati ragu, lalu akhirnya berkata, "Aku mengambil berkas ujian olahraga. Aku butuh berkas itu untuk menyusun nilai."

"Dan laptop Pak Arya?"

Pak Jati menggeleng. "Aku tidak melihatnya sama sekali."

Raka merasa sedikit kecewa, tetapi juga lega. Pak Jati mungkin menyembunyikan sesuatu, tapi ia bukan pencurinya.

***

Hari itu, Raka kembali ke pos satpam untuk melihat rekaman CCTV yang masih berfungsi. Ia meminta izin Pak Joko untuk melihat rekaman malam itu.

Saat memeriksa rekaman, ada satu sosok yang membuatnya terkejut.

Seseorang masuk ke ruang guru setelah Pak Arya pergi. Sosok itu bergerak dengan hati-hati, mengenakan jaket dengan tudung yang menutupi wajahnya.

Dan saat orang itu keluar, ia membawa sesuatu di tangannya—sebuah tas laptop.

Jantung Raka berdegup kencang.

Ini dia.

Pencuri sebenarnya.

Tapi siapa dia?

Rekaman itu terlalu buram untuk menunjukkan wajahnya dengan jelas. Namun, ada satu detail yang tidak bisa disembunyikan—sebuah gelang kulit di pergelangan tangan kirinya.

Raka pernah melihat gelang itu sebelumnya.

Tapi di mana?

Ia harus mencari tahu—sebelum orang itu tahu bahwa dirinya sedang diselidiki.

***

Raka merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Setiap petunjuk yang ia kumpulkan mengarah pada satu hal: pencuri laptop itu bukan Bayu. Namun, jika bukan Bayu, lalu siapa?

Ia memutuskan untuk menemui Pak Arya langsung. Guru matematika itu duduk di ruangannya, tampak sibuk dengan setumpuk kertas ujian.

"Pak, saya ingin bertanya soal laptop yang hilang," kata Raka hati-hati.

Pak Arya menatapnya tajam. "Kamu masih penasaran soal itu?"

"Ya, Pak. Saya hanya ingin tahu, kapan terakhir kali Bapak benar-benar melihat laptop itu?"

Pak Arya menghela napas. "Seingat saya, sebelum saya pulang. Saya ingat jelas, saya menutupnya dan memasukkannya ke dalam tas."

"Dan setelah itu, Bapak langsung pulang?"

Pak Arya mengangguk, tetapi sesuatu di matanya membuat Raka merinding.

"Pak, maaf sebelumnya… tapi saya rasa laptop itu tidak dicuri sebelum Bapak pulang."

Pak Arya terdiam. Matanya menyipit.

Raka melanjutkan. "Bayu sudah pergi sebelum jam delapan, tapi Bapak baru keluar sekitar jam sembilan lebih. Jika laptop itu dicuri sebelum itu, maka pelakunya bukan Bayu. Tapi kalau laptop itu masih ada saat Bapak pulang… bagaimana bisa keesokan harinya hilang?"

Hening.

Lalu sesuatu yang tak Raka duga terjadi. Pak Arya tertawa kecil. Tertawa sinis.

"Kamu anak pintar, Raka," katanya, suaranya nyaris seperti bisikan. "Tapi terkadang, kebenaran lebih menyakitkan daripada kebohongan."

Raka menelan ludah. "Maksud Bapak?"

Pak Arya menatap lurus ke matanya. "Laptop itu… tidak pernah dicuri."

Promo Diskon 50%

Promo Diskon 50%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

Dunia Raka seakan berhenti berputar.

"Apa maksud Bapak?"

Pak Arya bersandar di kursinya, wajahnya santai tetapi matanya penuh perhitungan. "Laptop itu memang sengaja saya sembunyikan. Saya ingin melihat seberapa jauh orang-orang akan percaya pada sesuatu yang belum tentu benar. Dan ternyata… semua orang dengan mudah menyalahkan Bayu."

Raka mengepalkan tangannya. "Jadi, semua ini permainan Bapak?"

"Sebut saja eksperimen sosial," jawabnya santai. "Kamu sudah melihat sendiri, kan? Tanpa bukti kuat, semua orang langsung menyalahkan seseorang hanya karena masa lalunya."

Raka merasa marah, kesal, tetapi juga lega. Marah karena Bayu dijadikan kambing hitam. Kesal karena Pak Arya mempermainkan keadaan. Dan lega… karena akhirnya ia menemukan jawabannya.

"Tapi Pak, kenapa?"

Pak Arya tersenyum tipis. "Karena kadang, kita perlu melihat seberapa mudah kebohongan diterima sebagai kebenaran."

Raka berdiri, tangannya gemetar. Ia ingin marah, ingin membalas. Tapi ia tahu, kebenaran sudah terungkap. Dan ia akan memastikan semua orang tahu.

Bayu harus dibersihkan namanya.

Dan Pak Arya… harus bertanggung jawab.

 

×
Fiksi Fillo Baru KLIK