
Cerita Pendek
Jejak yang Tak Terlihat
oleh Erwinsyah Putra
Malam itu, Raka duduk di sudut perpustakaan sekolah, memandangi buku di
depannya tanpa benar-benar membaca. Pikirannya penuh dengan tanda tanya. Tiga
hari yang lalu, sekolahnya gempar karena kasus pencurian laptop milik Pak Arya,
guru matematika mereka. Yang membuatnya semakin heboh, laptop itu berisi soal
ujian akhir yang akan berlangsung dalam dua minggu ke depan.
Bayu langsung menjadi tersangka utama. Anak yang sering terlibat masalah itu
memang punya reputasi buruk. Pernah tertangkap mencuri makanan di kantin dan
terlibat beberapa kali perkelahian. Semua orang seakan setuju bahwa Bayu pasti
pelakunya. Tapi Raka punya firasat berbeda. Sesuatu terasa tidak benar.
Ia mulai menyelidiki dengan cara sederhana: bertanya pada beberapa teman
sekelas.
"Aku lihat Bayu lewat koridor dekat ruang guru malam itu," kata
Dimas, salah satu anak terpintar di kelasnya. "Jadi, ya... menurutku dia
pelakunya."
"Serius? Dia keluar dari ruang guru?" tanya Raka, mencoba
memastikan.
"Nggak, sih. Cuma lewat aja," jawab Dimas sambil mengangkat bahu.
Jawaban itu membuat Raka semakin curiga. Jika Bayu benar-benar mencuri
laptop, pasti ada yang melihatnya masuk atau keluar dari ruangan itu. Tapi
sejauh ini, semua hanya berisi asumsi.
Raka kemudian menemui Pak Joko, satpam sekolah, yang malam itu bertugas.
"Pak, CCTV sekolah waktu malam kejadian masih ada?" tanyanya.
Pak Joko menghela napas panjang. "Sayangnya, kamera di dekat ruang guru
rusak. Udah lama nggak diperbaiki."
Raka merasa semakin yakin ada yang tidak beres. Tanpa bukti rekaman, tuduhan
ke Bayu hanya berdasarkan dugaan belaka.
Ia memutuskan untuk berbicara langsung dengan Bayu. Menunggu saat yang tepat
untuk mendengar versi cerita dari anak yang semua orang anggap sebagai pencuri
itu.
***
Keesokan harinya, Raka menunggu Bayu di belakang gedung olahraga—tempat
favoritnya untuk menyendiri. Ia tahu, jika mendekati Bayu di depan banyak
orang, hanya akan membuatnya semakin defensif.
Benar saja, tak lama kemudian Bayu muncul, duduk
di bangku semen dengan wajah muram.
"Ada apa, Raka?" tanyanya tanpa
menoleh.
"Aku cuma mau nanya sesuatu soal kasus
laptop Pak Arya," ujar Raka hati-hati.
Bayu mendengus. "Kamu juga percaya kalau
aku pelakunya?"
"Bukan itu. Aku cuma mau dengar
ceritamu," jawab Raka jujur.
Bayu terdiam beberapa saat sebelum akhirnya
bicara. "Malam itu, aku memang ada di koridor ruang guru, tapi aku nggak
masuk ke dalam. Aku cuma lewat karena habis dipanggil Pak Joko. Dia lihat aku
nongkrong di belakang sekolah dan nyuruh pulang."
Raka menatapnya tajam. "Jadi, kamu ada
alibi?"
"Aku sampai gerbang sekolah sekitar jam
delapan malam. Pak Joko bisa mengonfirmasi itu," ujar Bayu, masih dengan
nada kesal.
Raka berpikir sejenak. Jika Bayu benar-benar
meninggalkan sekolah jam delapan malam, lalu kapan pencurian terjadi?
"Kamu lihat siapa pun yang mencurigakan
malam itu?" tanya Raka.
Bayu menggeleng. "Sepi. Tapi pas aku
jalan keluar, aku sempat dengar suara langkah kaki dari arah ruang guru."
"Langkah kaki?" Raka mengulang
dengan penuh perhatian.
"Iya. Awalnya pelan, lalu makin cepat,
kayak orang buru-buru. Tapi aku nggak lihat siapa-siapa."
Detak jantung Raka berdegup lebih cepat. Jika
ada orang lain di dekat ruang guru malam itu, berarti ada kemungkinan
pencurinya bukan Bayu.
Ia harus mencari tahu lebih banyak.
Dan satu hal yang
pasti—ada seseorang yang ingin Bayu menjadi kambing hitam.
***
Raka berjalan cepat menuju pos satpam. Ia harus memastikan satu hal—alibi
Bayu. Jika benar Bayu meninggalkan sekolah pukul delapan, maka ia bukan pencuri
laptop Pak Arya.
Pak Joko sedang duduk di depan layar monitor
CCTV, mengamati halaman sekolah. Saat Raka mendekat, pria paruh baya itu
menoleh dan tersenyum kecil.
"Ada apa, Nak?"
"Pak, saya mau nanya soal malam pencurian
laptop Pak Arya. Waktu itu Bapak lihat Bayu keluar sekolah jam berapa?"
Pak Joko mengerutkan kening, lalu mengangguk
pelan. "Iya, Bayu keluar sekitar jam delapan. Saya sendiri yang lihat dia
jalan ke gerbang."
Raka menghela napas lega. Itu berarti Bayu tidak
mungkin pelakunya.
"Tapi Pak, kalau begitu siapa yang masih di
dalam sekolah setelah jam delapan?"
Pak Joko terdiam sejenak. "Hmm... Setelah
Bayu keluar, seingat saya, tinggal beberapa guru yang masih ada di ruang guru.
Pak Arya juga masih di sana, kayaknya sedang ngerjain sesuatu di
laptopnya."
Raka merasakan ada yang janggal. Jika Pak Arya
masih ada di ruang guru setelah Bayu pergi, lalu kapan pencurian terjadi?
"Terus, Pak Arya pulang jam berapa?"
tanyanya lagi.
"Seingat saya, sekitar jam sembilan
lebih. Saya lihat dia keluar ruang guru, bawa tasnya, lalu pergi ke
parkiran," jawab Pak Joko.
Raka semakin bingung. Jika Pak Arya masih ada
di ruang guru setelah Bayu pergi, berarti ada kemungkinan laptopnya belum
dicuri saat itu. Tapi jika benar begitu, kenapa esok paginya laptop itu sudah
hilang?
Ada sesuatu yang tidak beres.
Raka memutuskan untuk kembali ke ruang guru,
mencari petunjuk yang mungkin terlewat. Saat ia sampai di depan ruangan itu,
pintunya terkunci, tetapi ada celah kecil di jendela yang bisa ia intip.
Matanya langsung tertuju pada meja Pak Arya.
Ada sesuatu yang aneh.
Lapisan debu tipis menutupi hampir semua
permukaan meja—kecuali satu bagian. Sebuah jejak tangan samar terlihat di
bagian meja tempat laptop biasanya diletakkan.
Seseorang telah mengambil laptop itu—dan
memastikan tidak meninggalkan jejak lain.
Tapi Raka yakin, tidak ada kejahatan yang
sempurna.
Dan ia akan menemukan
jawabannya.
***
Malam
semakin larut ketika Raka kembali ke rumah. Pikirannya penuh dengan
kemungkinan. Jika Bayu bukan pelakunya, dan Pak Arya masih berada di ruang guru
setelah Bayu pergi, maka pencurinya pasti seseorang yang masih ada di sekolah
setelah pukul sembilan.
Raka
mengingat ucapan Pak Joko—hanya beberapa guru yang tersisa di ruang guru malam
itu. Tapi siapa?
Esok
paginya, Raka tiba lebih awal di sekolah. Ia menuju ruang guru, berharap bisa
menemukan sesuatu sebelum banyak orang datang. Ia memperhatikan meja Pak Arya
lebih teliti. Selain jejak tangan yang ia lihat kemarin, tidak ada tanda-tanda
lain. Tapi saat ia menggeser kursi Pak Arya, sesuatu menarik perhatiannya.
Sebuah
pena kecil, berwarna hitam dengan logo sekolah terukir di sampingnya. Itu bukan
pena biasa—itu pena khusus yang hanya diberikan kepada staf sekolah dalam acara
tahunan.
"Siapa
yang terakhir ada di ruangan ini selain Pak Arya?" gumam Raka.
Lalu ia
teringat sesuatu—Pak Arya pulang dengan membawa tasnya. Bagaimana jika
laptopnya tidak benar-benar dicuri di ruang guru?
Raka
memutuskan untuk menemui seseorang yang mungkin bisa memberikan jawaban—Pak
Arya sendiri.
***
Pak Arya
sedang mengoreksi tugas di mejanya saat Raka mengetuk pintu.
"Pak,
maaf mengganggu. Saya ingin bertanya tentang laptop Bapak yang hilang."
Pak Arya
menatapnya dengan bingung. "Kenapa kamu tertarik dengan itu, Raka?"
"Saya
hanya ingin tahu lebih banyak. Saya merasa ada yang aneh dengan kasus
ini," jawab Raka jujur.
Pak Arya
menghela napas. "Jujur saja, saya juga bingung. Laptop saya ada di meja
saat saya terakhir melihatnya, tapi keesokan paginya, hilang begitu saja."
Raka
mengamati gerak-gerik gurunya. Ia tampak ragu, seolah menyembunyikan sesuatu.
"Lalu,
Bapak pulang jam berapa malam itu?"
"Kurang
lebih jam sembilan lebih sedikit. Saya mengunci ruang guru sebelum pergi,"
jawabnya.
"Laptop
Bapak ada di dalam tas saat Bapak pulang?"
Pak Arya
mengerutkan dahi. "Tentu saja tidak. Kalau begitu, pasti saya sadar kalau
laptop saya hilang sebelum pulang, bukan?"
Raka
mengangguk, lalu mengambil pena hitam dari saku celananya dan menunjukkannya
kepada Pak Arya.
"Bapak
kenal dengan ini?"
Pak Arya
terdiam sejenak. "Itu pena dari acara tahunan sekolah. Semua guru
punya."
"Benar.
Tapi saya menemukannya di bawah meja Bapak," kata Raka pelan. "Bapak
yakin tidak ada orang lain di ruang guru sebelum Bapak pulang?"
Pak Arya
tampak berpikir. Lalu, matanya sedikit melebar, seperti mengingat sesuatu.
"Saya
ingat! Malam itu, Pak Jati sempat kembali ke ruang guru sebentar. Katanya ia
lupa membawa buku catatan."
Pak
Jati—guru olahraga yang jarang terlihat di ruang guru kecuali jika ada urusan
penting.
Raka
merasakan ada sesuatu yang janggal.
***
Raka
memutuskan untuk menemui Pak Jati saat jam istirahat. Ia menunggunya di luar
ruang guru, dan begitu pria bertubuh kekar itu keluar, Raka mendekatinya.
"Pak
Jati, maaf, saya ingin bertanya sesuatu."
Pak Jati
menoleh. "Ada apa, Raka?"
"Benarkah
Bapak kembali ke ruang guru malam pencurian laptop Pak Arya?"
Raut
wajah Pak Jati sedikit berubah. "Hah? Oh... iya, saya lupa buku catatan
saya, jadi saya kembali sebentar."
"Lalu,
apakah Bapak melihat sesuatu yang aneh di ruangan itu?"
Pak Jati
menggeleng. "Tidak, semua tampak biasa saja."
Tapi Raka
menangkap sesuatu—jawaban Pak Jati terdengar terlalu cepat, seolah ia sudah
menyiapkannya.
"Pak,
ini pena milik salah satu guru, dan saya menemukannya di meja Pak Arya,"
kata Raka sambil mengeluarkan pena hitam itu.
Pak Jati
menatap pena itu, lalu tertawa kecil. "Pena seperti itu ada banyak, Raka.
Kamu tidak bisa menuduh seseorang hanya karena sebuah pena."
"Tentu
saja tidak," kata Raka, tetap tenang. "Tapi ada satu hal lagi. CCTV
di luar ruang guru memang rusak, tapi kamera di koridor dekat pintu masuk
sekolah masih berfungsi. Jika Bapak benar-benar hanya kembali untuk mengambil
buku, maka seharusnya Bapak langsung keluar setelah itu."
Pak Jati
terdiam.
Raka
melanjutkan, "Tapi jika ternyata Bapak berada di ruang guru lebih lama
dari yang seharusnya, mungkin Bapak bisa menjelaskan kenapa?"
Pak Jati
terlihat gelisah. Matanya beralih ke arah lain, lalu akhirnya ia menghela
napas.
"Kau
ini benar-benar cerdik, Raka," katanya pelan. "Baiklah... Aku memang
mengambil sesuatu dari ruang guru malam itu. Tapi bukan laptop."
Raka
menatapnya tajam. "Lalu, apa yang Bapak ambil?"
Pak Jati
ragu, lalu akhirnya berkata, "Aku mengambil berkas ujian olahraga. Aku
butuh berkas itu untuk menyusun nilai."
"Dan
laptop Pak Arya?"
Pak Jati
menggeleng. "Aku tidak melihatnya sama sekali."
Raka
merasa sedikit kecewa, tetapi juga lega. Pak Jati mungkin menyembunyikan
sesuatu, tapi ia bukan pencurinya.
***
Hari itu,
Raka kembali ke pos satpam untuk melihat rekaman CCTV yang masih berfungsi. Ia
meminta izin Pak Joko untuk melihat rekaman malam itu.
Saat
memeriksa rekaman, ada satu sosok yang membuatnya terkejut.
Seseorang
masuk ke ruang guru setelah Pak Arya pergi. Sosok itu bergerak dengan
hati-hati, mengenakan jaket dengan tudung yang menutupi wajahnya.
Dan saat
orang itu keluar, ia membawa sesuatu di tangannya—sebuah tas laptop.
Jantung
Raka berdegup kencang.
Ini dia.
Pencuri
sebenarnya.
Tapi
siapa dia?
Rekaman
itu terlalu buram untuk menunjukkan wajahnya dengan jelas. Namun, ada satu
detail yang tidak bisa disembunyikan—sebuah gelang kulit di pergelangan tangan
kirinya.
Raka
pernah melihat gelang itu sebelumnya.
Tapi di
mana?
Ia harus
mencari tahu—sebelum orang itu tahu bahwa dirinya sedang diselidiki.
***
Raka merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Setiap petunjuk yang ia
kumpulkan mengarah pada satu hal: pencuri laptop itu bukan Bayu. Namun, jika
bukan Bayu, lalu siapa?
Ia memutuskan untuk menemui Pak Arya langsung.
Guru matematika itu duduk di ruangannya, tampak sibuk dengan setumpuk kertas
ujian.
"Pak, saya ingin bertanya soal laptop yang
hilang," kata Raka hati-hati.
Pak Arya menatapnya tajam. "Kamu masih
penasaran soal itu?"
"Ya, Pak. Saya hanya ingin tahu, kapan
terakhir kali Bapak benar-benar melihat laptop itu?"
Pak Arya menghela napas. "Seingat saya,
sebelum saya pulang. Saya ingat jelas, saya menutupnya dan memasukkannya ke
dalam tas."
"Dan setelah itu, Bapak langsung
pulang?"
Pak Arya mengangguk, tetapi sesuatu di matanya
membuat Raka merinding.
"Pak, maaf sebelumnya… tapi saya rasa
laptop itu tidak dicuri sebelum Bapak pulang."
Pak Arya terdiam. Matanya menyipit.
Raka melanjutkan. "Bayu sudah pergi
sebelum jam delapan, tapi Bapak baru keluar sekitar jam sembilan lebih. Jika
laptop itu dicuri sebelum itu, maka pelakunya bukan Bayu. Tapi kalau laptop itu
masih ada saat Bapak pulang… bagaimana bisa keesokan harinya hilang?"
Hening.
Lalu sesuatu yang tak Raka duga terjadi. Pak
Arya tertawa kecil. Tertawa sinis.
"Kamu anak pintar, Raka," katanya,
suaranya nyaris seperti bisikan. "Tapi terkadang, kebenaran lebih
menyakitkan daripada kebohongan."
Raka menelan ludah. "Maksud Bapak?"
Pak Arya menatap lurus ke matanya.
"Laptop itu… tidak pernah dicuri."
Dunia Raka seakan berhenti berputar.
"Apa maksud Bapak?"
Pak Arya bersandar di kursinya, wajahnya
santai tetapi matanya penuh perhitungan. "Laptop itu memang sengaja saya
sembunyikan. Saya ingin melihat seberapa jauh orang-orang akan percaya pada
sesuatu yang belum tentu benar. Dan ternyata… semua orang dengan mudah
menyalahkan Bayu."
Raka mengepalkan tangannya. "Jadi, semua
ini permainan Bapak?"
"Sebut saja eksperimen sosial,"
jawabnya santai. "Kamu sudah melihat sendiri, kan? Tanpa bukti kuat, semua
orang langsung menyalahkan seseorang hanya karena masa lalunya."
Raka merasa marah, kesal, tetapi juga lega.
Marah karena Bayu dijadikan kambing hitam. Kesal karena Pak Arya mempermainkan
keadaan. Dan lega… karena akhirnya ia menemukan jawabannya.
"Tapi Pak, kenapa?"
Pak Arya tersenyum tipis. "Karena kadang,
kita perlu melihat seberapa mudah kebohongan diterima sebagai kebenaran."
Raka berdiri, tangannya gemetar. Ia ingin
marah, ingin membalas. Tapi ia tahu, kebenaran sudah terungkap. Dan ia akan
memastikan semua orang tahu.
Bayu harus dibersihkan namanya.
Dan Pak Arya… harus
bertanggung jawab.