Cerita Pendek
Kasir, Ibu, dan Satu Juta Rupiah
oleh Erwinsyah Putra
Hujan
baru saja berhenti ketika Rina menyelesaikan shift malamnya di supermarket
kecil di pinggiran kota. Ia berjalan menuju meja kasir, menghitung uang
kembalian terakhir, lalu menghela napas panjang. Gajinya masih kurang untuk
membayar biaya rumah sakit ibunya. Tiga hari lagi, jika ia tak membayar,
perawatan ibunya akan dihentikan.
Matanya
menatap lantai, kosong, hingga sesuatu menarik perhatiannya.
Uang.
Lembar-lembar
ratusan ribu yang terlipat rapi, berserakan di dekat rak minuman. Ia menelan
ludah, lalu menunduk, memungutnya dengan tangan gemetar. Sekilas, ia
menghitungnya. Satu juta rupiah. Jumlah yang nyaris cukup untuk menutupi
kekurangannya.
Ia
menoleh ke sekeliling. Toko sudah hampir sepi, hanya ada beberapa pelanggan di
ujung lorong.
Apa ini
rejeki tak terduga? Atau ujian?
Rina
menggenggam uang itu erat. Lalu, tiba-tiba—
“Oh! Itu
uang saya!”
Seorang
wanita tua muncul entah dari mana. Rambutnya disanggul longgar, matanya sedikit
cekung. Ia menatap uang di tangan Rina dengan ekspresi panik.
Rina
menatapnya. “Ibu yakin ini uang Ibu?”
“Iya,
iya! Saya baru saja belanja di sini. Saya pasti menjatuhkannya.” Wanita itu
tersenyum lemah. “Terima kasih ya, Nak. Saya kira uang saya hilang.”
Rina
menahan napas. Ia bisa saja langsung menyerahkan uang itu dan semua selesai.
Tapi ada
sesuatu dalam sorot mata wanita itu. Sesuatu yang ragu-ragu.
“Maaf,
Bu,” kata Rina pelan, “Bisa saya tahu apa saja yang tadi Ibu beli?”
Wanita
itu tersentak. Ia melirik kantong plastiknya, lalu tergagap, “A-apa? Ya…
makanan, susu… roti…”
Rina menajamkan
tatapannya. Struk belanja wanita itu mencuat dari dalam kantong plastiknya. Ia
bisa melihat jelas jumlah totalnya: Rp73.500.
Wanita
ini… tidak mungkin membawa satu juta hanya untuk belanja segitu sedikitnya.
Hatinya
berdebar.
Jika
wanita ini berbohong, maka uang ini…?
Rina
tersenyum tipis. “Maaf, Bu. Saya harus melaporkan ini dulu ke manajer sebelum
mengembalikannya.”
Ekspresi
wanita itu berubah. “Tidak usah! Saya buru-buru. Berikan saja sekarang!”
“Tapi—”
Tiba-tiba,
wanita itu menarik tasnya lebih erat, lalu melangkah cepat ke luar toko.
Rina
berdiri terpaku.
Apa itu
tadi?
Ia
menggigit bibir. Ada sesuatu yang tidak beres.
Dorongan
aneh muncul dalam dirinya. Ia melepas celemek kasirnya, mengambil jaket, lalu
mengikuti wanita itu dari kejauhan.
Perasaannya
berkecamuk.
Ia ingin
berbalik. Ini bukan urusannya. Tapi sesuatu membuatnya tetap di tempat.
Dari
celah jendela, ia mengintip.
Wanita
itu tidak sendiri. Ada seorang pria di dalam rumah. Kurus, wajahnya lelah,
duduk di kursi roda dengan selang oksigen.
“Sri…”
suara pria itu lemah. “Uangnya ada?”
Wanita
itu—Sri—mengangguk. “Tidak banyak. Tapi cukup buat beli obat malam ini.”
Pria itu
menghela napas lega. “Syukurlah…”
Rina
menatap pemandangan itu dengan dada sesak.
Jadi…
uang ini bukan milik wanita itu. Tapi dia membutuhkannya untuk seseorang yang
ia sayangi.
Sama
seperti dirinya.
Tangannya
yang menggenggam uang terasa berat. Jika ia memberikan ini pada mereka, ibunya
kehilangan kesempatan untuk sembuh. Tapi jika ia mengambilnya, pria di dalam
rumah itu mungkin tidak akan bertahan lebih lama.
Ia
menutup matanya.
Tuhan…
keputusan apa yang harus aku ambil?
Saat ia
masih bimbang, ponselnya bergetar. Panggilan dari rumah sakit.
Ia
menjawab dengan suara gemetar.
“Halo?”
“Rina…”
suara perawat terdengar cemas. “Ibumu… kondisinya menurun. Kami butuh
persetujuan segera untuk tindakan darurat.”
Darahnya
seakan berhenti mengalir.
***
Rina
berdiri di depan pintu rumah wanita itu, menatap uang dalam genggamannya.
Dalam
hidup, ia selalu percaya kejujuran adalah hal terpenting. Tapi sekarang,
kejujuran saja tidak cukup.
Hidup
bukan hitam dan putih.
Hanya
satu pilihan yang bisa ia ambil.
Dengan
tangan gemetar, ia memasukkan uang itu ke dalam amplop dan menyelipkannya di
bawah pintu.
Lalu, ia
berlari.
Berharap,
di tempat lain, sebuah keajaiban akan terjadi untuknya juga.
***
Keesokan
paginya, saat ia kembali ke rumah sakit, sesuatu yang tak ia duga terjadi.
Seorang
dokter menghampirinya. “Rina?”
“Iya,
Dok?”
“Ada
seseorang yang melunasi seluruh biaya rumah sakit ibumu.”
Jantungnya
berhenti berdetak sejenak. “A-apa? Siapa?”
Dokter
itu menggeleng. “Kami tidak tahu. Dia tidak mau menyebutkan nama.”
Rina
menggigit bibir, air mata menggenang di matanya.
Siapa
yang telah membantunya?
Apakah
semesta membalas kebaikannya?
Atau… ada
orang lain yang juga diam-diam memperhatikannya selama ini?
Jawabannya
akan tetap menjadi misteri.