Cerita Pendek
Kita Bertemu di Mimpi
oleh Erwinsyah Putra
Malam
itu, Adrian bermimpi lagi.
Ia berada
di taman yang selalu sama—sebuah taman kecil di atas bukit, diterangi
lampu-lampu gantung yang berpendar lembut. Di seberang meja kayu di depannya,
duduk seorang wanita dengan rambut hitam panjang yang tertiup angin. Matanya
hangat, penuh cahaya, dan senyumnya... selalu terasa familiar.
"Apa
kau tahu kita selalu bertemu di sini?" wanita itu bertanya, suaranya
lembut seperti alunan musik malam.
Adrian
tersenyum kecil. "Tentu saja. Aku bahkan hafal bagaimana angin selalu
berembus saat kau tertawa."
Wanita
itu tertawa pelan, lalu menyandarkan dagunya di atas tangan. "Kau pikir
ini nyata?"
"Aku
ingin ini nyata," gumam Adrian. "Karena aku merasa seperti telah
mengenalmu sejak lama."
Wanita
itu diam sejenak, seakan ingin mengatakan sesuatu. Tapi seperti biasa, sebelum
ia sempat membuka mulutnya lagi—segala sesuatu di sekitar mereka memudar.
Dan
Adrian terbangun.
Kemudian,
ia melihatnya.
Wanita
itu.
Ia
berdiri di depan kafe, mengenakan sweater abu-abu dan celana jeans sederhana.
Rambut panjangnya terurai seperti dalam mimpinya, dan ekspresinya terlihat
canggung, seakan ia tidak yakin apakah harus masuk atau tidak.
Jantung
Adrian berdegup kencang.
Tanpa
sadar, ia berdiri dari kursinya.
Dan saat
wanita itu melangkah masuk, mata mereka bertemu.
Hening.
Wanita
itu menatap Adrian dengan ekspresi terkejut, seperti baru saja melihat hantu.
Kemudian, dengan suara nyaris berbisik, ia berkata:
"Kita...
pernah bertemu di suatu tempat, bukan?"
Adrian
menelan ludah, merasakan debar yang aneh di dadanya. "Tidak hanya satu
tempat... tapi di banyak malam."
Wanita
itu mengerjap, bibirnya sedikit terbuka. "Kau juga mengingatnya?"
Adrian
mengangguk.
Mereka
berdiri di sana, saling menatap, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Dunia di sekitar mereka terasa melambat, seakan hanya ada mereka berdua.
"Aku
Adrian," katanya akhirnya.
Wanita
itu tersenyum samar. "Alya."
Seperti
ada sesuatu yang meledak pelan di dalam hati Adrian. Nama itu... terasa begitu
familiar.
***
Mereka
menghabiskan waktu berjam-jam duduk di kafe itu, berbicara tentang mimpi-mimpi
mereka. Setiap detail yang mereka ceritakan persis sama—taman di atas
bukit, lampu-lampu yang berpendar, bahkan percakapan yang mereka lakukan.
"Ini
gila," gumam Alya sambil memijat pelipisnya. "Bagaimana bisa kita
bermimpi hal yang sama? Seperti... mimpi bersama?"
"Aku
juga tidak tahu," kata Adrian. "Tapi aku merasa ada alasan kenapa ini
terjadi."
Alya
menatap lurus ke dalam mata Adrian. "Mungkinkah... kita saling mengenal di
kehidupan lain?"
Jantung
Adrian berdegup kencang.
Sesuatu
dalam dirinya mengatakan bahwa perasaan ini bukan sekadar kebetulan. Bahwa ada
sesuatu—entah apa—yang menghubungkan mereka di luar batas ruang dan waktu.
Lalu
tiba-tiba, Alya merasakan sesuatu yang aneh di kepalanya. Pandangannya
berputar, dadanya sesak.
"Alya?"
Adrian panik melihat wajahnya yang mendadak pucat.
Alya
memejamkan matanya sejenak, lalu berkata dengan suara bergetar.
"Aku...
aku ingat sesuatu."
Adrian
menunggu, jantungnya berdebar keras.
Alya
membuka mata, dan tatapannya dipenuhi ketakutan.
"Aku
ingat bagaimana aku... mati."
***
Alya
terengah-engah, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
"Aku
tidak tahu kenapa aku baru mengingatnya sekarang... tapi aku yakin kita pernah
hidup sebelumnya, Adrian."
Adrian
merasakan tubuhnya menegang. "Apa maksudmu?"
Alya
menggigit bibirnya, lalu berbisik:
"Dalam
kehidupan sebelumnya... aku meninggal karena kecelakaan. Dan kau..." ia
menatap Adrian dengan tatapan penuh emosi.
"Kau
yang mencoba menyelamatkanku, tapi kau juga ikut mati."
Adrian
membeku.
Sekelebat
ingatan yang aneh melintas di kepalanya. Ia melihat hujan deras. Cahaya lampu
mobil. Tangannya yang berusaha menggapai seseorang. Lalu suara benturan keras.
Dan
kemudian... kegelapan.
"Aku
ingat," bisik Adrian.
Mereka
saling menatap, napas mereka memburu.
Mungkinkah...
mereka memang ditakdirkan untuk bertemu lagi?
Atau ini
adalah peringatan bahwa sejarah akan terulang?
***
Adrian
menggenggam tangan Alya, menatapnya dalam-dalam.
"Kita
harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kita."
Alya
mengangguk, meskipun dalam hatinya ada ketakutan yang sulit dijelaskan.
Di luar
kafe, langit mendung mulai menggantung.
Dan entah
kenapa, mereka berdua merasakan firasat buruk.
Seakan
waktu sedang menghitung mundur.
Sampai
kapan mereka bisa tetap bersama... sebelum sesuatu memisahkan mereka lagi?