Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan 728x90

Kursi Kosong di Warkop Senja

Senin, 10 Februari 2025 | Februari 10, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-10T16:26:38Z



Cerita Pendek

Kursi Kosong di Warkop Senja

oleh Erwinsyah Putra

Senja selalu punya cerita di sudut kota itu. Di sebuah warung kopi kecil di tepi jalan, tempat di mana aroma kopi berpadu dengan suara motor tua dan tawa anak-anak yang bermain di kejauhan. Warung itu sederhana, dengan bangku-bangku kayu yang sudah lapuk dimakan waktu. Namun, ada satu kursi yang selalu kosong—di pojok, tepat di sebelah jendela yang menghadap ke jalan.

Kursi itu seperti menyimpan rahasia. Tidak ada yang pernah duduk di sana, bahkan saat warung penuh sesak. Seperti ada kesepakatan tak tertulis antara para pelanggan dan pemilik warung, Pak Hasan. Setiap kali ada yang mencoba duduk di sana, Pak Hasan akan mendekat dengan senyum tipis dan berkata lembut, "Kursi itu... lebih baik dibiarkan kosong."

Suatu senja yang basah setelah hujan reda, seorang pemuda bernama Dika masuk ke warung itu. Jaketnya basah, rambutnya kusut, dan matanya tampak lelah. Ia mengusap wajahnya yang basah oleh gerimis sebelum melangkah ke dalam. Ia memesan kopi hitam tanpa gula, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Matanya tertumbuk pada kursi kosong di sudut itu.

"Boleh aku duduk di sana?" tanyanya sambil menunjuk kursi itu.

Pak Hasan, yang sedang menuang kopi, menghentikan gerakannya sejenak. Pandangannya beralih dari cangkir ke Dika. Udara seolah membeku.

"Kursi itu... istimewa," jawab Pak Hasan pelan. "Kau pasti ingin tahu ceritanya."

Dika mengangguk. Rasa ingin tahunya membuncah. Ia merasa ada sesuatu yang tak biasa di balik kursi kosong itu.

Pak Hasan menarik napas panjang, lalu duduk di bangku di seberang Dika. Suaranya rendah dan berat saat ia mulai bercerita.

"Dulu, kursi itu milik seseorang yang sangat berarti bagi banyak orang di sini. Namanya Alika. Ia selalu duduk di sana setiap senja, menikmati kopi sambil menulis di buku catatannya. Orang-orang bilang, ia punya mimpi besar. Ingin menulis buku yang akan mengubah dunia. Tapi... dunia terlalu keras padanya."

Pak Hasan terdiam sejenak, menatap jendela yang basah oleh sisa hujan. "Alika pergi tanpa jejak suatu hari. Hanya buku catatannya yang tertinggal di kursi itu. Tidak ada yang tahu ke mana ia menghilang. Beberapa mengatakan ia merantau, mencari mimpi yang lebih besar. Yang lain percaya ia menyerah pada dunia. Sejak itu, kursi itu tetap kosong. Seolah menunggunya kembali."

Dika mendengarkan dengan saksama, matanya tak lepas dari Pak Hasan. Hening menyelimuti sejenak sebelum Dika akhirnya berkata, "Apa yang ada di buku catatannya, Pak?"

Pak Hasan tersenyum tipis, namun matanya memancarkan kesedihan yang dalam. "Impian-impian. Cerita-cerita kecil yang ingin ia bagikan pada dunia. Aku membacanya sekali... Ia menulis tentang kota ini, tentang orang-orangnya, tentang harapannya yang sederhana—bahwa suatu hari, ia akan kembali dan melanjutkan kisah itu. Tapi... ia tidak pernah kembali. Kadang, aku merasa ia masih ada di sini. Duduk di kursi itu, menatap senja seperti dulu. Karena itu, aku biarkan kursi itu tetap kosong. Sebagai pengingat... atau mungkin harapan."

Dika terdiam. Ada sesuatu yang berat di dadanya. Ia menyesap kopinya perlahan, merasakan kehangatannya mengalir, namun hatinya terasa dingin. Pandangannya kembali pada kursi kosong itu, dan seolah-olah, untuk sesaat, ia melihat bayangan samar seseorang duduk di sana, tersenyum padanya.

"Pak Hasan," katanya pelan, "mungkin Alika tidak pernah benar-benar pergi. Mungkin ia selalu ada di sini, di setiap senja, menunggu seseorang untuk melanjutkan mimpinya."

Pak Hasan menatapnya, lalu tersenyum. "Mungkin kau benar. Dan mungkin, yang ia tunggu... adalah kau."

Dika tertegun, menatap cangkir kopinya yang hampir kosong. Di dalam hatinya, sesuatu bergemuruh. Ia merasa panggilan itu begitu nyata, seolah-olah kursi kosong itu memintanya untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Alika.

"Kalau begitu, biarkan aku duduk di sana," kata Dika dengan suara mantap, matanya berbinar meski masih menyimpan ragu.

Pak Hasan mengangguk pelan. "Silakan. Kursi itu... mungkin memang sudah menunggumu sejak lama."

Dengan langkah perlahan, Dika berjalan menuju kursi itu. Ia duduk, merasakan dinginnya kayu di bawahnya, tetapi hatinya terasa hangat. Senja masih menggantung di langit, menyisakan jejak oranye di cakrawala.

Malam itu, Dika membuka buku catatannya sendiri dan mulai menulis. Kata-kata mengalir, seolah-olah Alika berbisik di telinganya, membimbing setiap kalimat yang ia tuliskan. Dan untuk pertama kalinya, kursi kosong itu tak lagi terasa kosong.

Di luar, langit berubah menjadi gelap, tetapi cahaya kecil dari dalam warung kopi itu tetap menyala, menyimpan cerita baru yang baru saja dimulai.

 

Iklan 728x90
×
Fiksi Fillo Baru KLIK