Cerita Pendek
Kursi Kosong di Warkop Senja
oleh Erwinsyah Putra
Senja selalu punya cerita di sudut kota itu. Di sebuah warung kopi kecil di
tepi jalan, tempat di mana aroma kopi berpadu dengan suara motor tua dan tawa
anak-anak yang bermain di kejauhan. Warung itu sederhana, dengan bangku-bangku
kayu yang sudah lapuk dimakan waktu. Namun, ada satu kursi yang selalu
kosong—di pojok, tepat di sebelah jendela yang menghadap ke jalan.
Kursi itu seperti menyimpan rahasia. Tidak ada yang pernah duduk di sana,
bahkan saat warung penuh sesak. Seperti ada kesepakatan tak tertulis antara
para pelanggan dan pemilik warung, Pak Hasan. Setiap kali ada yang mencoba
duduk di sana, Pak Hasan akan mendekat dengan senyum tipis dan berkata lembut,
"Kursi itu... lebih baik dibiarkan kosong."
Suatu senja yang basah setelah hujan reda, seorang pemuda bernama Dika masuk
ke warung itu. Jaketnya basah, rambutnya kusut, dan matanya tampak lelah. Ia
mengusap wajahnya yang basah oleh gerimis sebelum melangkah ke dalam. Ia
memesan kopi hitam tanpa gula, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Matanya tertumbuk pada kursi kosong di sudut itu.
"Boleh aku duduk di sana?" tanyanya sambil menunjuk kursi itu.
Pak Hasan, yang sedang menuang kopi, menghentikan gerakannya sejenak.
Pandangannya beralih dari cangkir ke Dika. Udara seolah membeku.
"Kursi itu... istimewa," jawab Pak Hasan pelan. "Kau pasti
ingin tahu ceritanya."
Dika mengangguk. Rasa ingin tahunya membuncah. Ia merasa ada sesuatu yang
tak biasa di balik kursi kosong itu.
Pak Hasan menarik napas panjang, lalu duduk di bangku di seberang Dika.
Suaranya rendah dan berat saat ia mulai bercerita.
"Dulu, kursi itu milik seseorang yang sangat berarti bagi banyak orang
di sini. Namanya Alika. Ia selalu duduk di sana setiap senja, menikmati kopi
sambil menulis di buku catatannya. Orang-orang bilang, ia punya mimpi besar.
Ingin menulis buku yang akan mengubah dunia. Tapi... dunia terlalu keras
padanya."
Pak Hasan terdiam sejenak, menatap jendela yang basah oleh sisa hujan.
"Alika pergi tanpa jejak suatu hari. Hanya buku catatannya yang tertinggal
di kursi itu. Tidak ada yang tahu ke mana ia menghilang. Beberapa mengatakan ia
merantau, mencari mimpi yang lebih besar. Yang lain percaya ia menyerah pada
dunia. Sejak itu, kursi itu tetap kosong. Seolah menunggunya kembali."
Dika mendengarkan dengan saksama, matanya tak lepas dari Pak Hasan. Hening
menyelimuti sejenak sebelum Dika akhirnya berkata, "Apa yang ada di buku
catatannya, Pak?"
Pak Hasan tersenyum tipis, namun matanya memancarkan kesedihan yang dalam.
"Impian-impian. Cerita-cerita kecil yang ingin ia bagikan pada dunia. Aku
membacanya sekali... Ia menulis tentang kota ini, tentang orang-orangnya,
tentang harapannya yang sederhana—bahwa suatu hari, ia akan kembali dan
melanjutkan kisah itu. Tapi... ia tidak pernah kembali. Kadang, aku merasa ia
masih ada di sini. Duduk di kursi itu, menatap senja seperti dulu. Karena itu,
aku biarkan kursi itu tetap kosong. Sebagai pengingat... atau mungkin
harapan."
Dika terdiam. Ada sesuatu yang berat di dadanya. Ia menyesap kopinya
perlahan, merasakan kehangatannya mengalir, namun hatinya terasa dingin.
Pandangannya kembali pada kursi kosong itu, dan seolah-olah, untuk sesaat, ia
melihat bayangan samar seseorang duduk di sana, tersenyum padanya.
"Pak Hasan," katanya pelan, "mungkin Alika tidak pernah benar-benar
pergi. Mungkin ia selalu ada di sini, di setiap senja, menunggu seseorang untuk
melanjutkan mimpinya."
Pak Hasan menatapnya, lalu tersenyum. "Mungkin kau benar. Dan mungkin,
yang ia tunggu... adalah kau."
Dika tertegun, menatap cangkir kopinya yang hampir kosong. Di dalam hatinya,
sesuatu bergemuruh. Ia merasa panggilan itu begitu nyata, seolah-olah kursi
kosong itu memintanya untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Alika.
"Kalau begitu, biarkan aku duduk di sana," kata Dika dengan suara
mantap, matanya berbinar meski masih menyimpan ragu.
Pak Hasan mengangguk pelan. "Silakan. Kursi itu... mungkin memang sudah
menunggumu sejak lama."
Dengan langkah perlahan, Dika berjalan menuju kursi itu. Ia duduk, merasakan
dinginnya kayu di bawahnya, tetapi hatinya terasa hangat. Senja masih
menggantung di langit, menyisakan jejak oranye di cakrawala.
Malam itu, Dika membuka buku catatannya sendiri dan mulai menulis. Kata-kata
mengalir, seolah-olah Alika berbisik di telinganya, membimbing setiap kalimat
yang ia tuliskan. Dan untuk pertama kalinya, kursi kosong itu tak lagi terasa
kosong.
Di luar, langit berubah menjadi gelap, tetapi cahaya kecil dari dalam warung
kopi itu tetap menyala, menyimpan cerita baru yang baru saja dimulai.