Cerita Pendek
LANGKAH BERAT
Oleh Erwinsyah Putra
Ia menghembuskan napas berat, pikirannya berputar-putar. Apa aku harus melanjutkan ini? gumamnya pelan. Jari-jarinya mencengkeram lengan kursi, berusaha meredam kegelisahan yang kian memuncak.
Sejak tiga tahun terakhir, Ilham bekerja sebagai teknisi CCTV di desanya. Selain memperbaiki kamera yang rusak, ia juga memiliki kebiasaan merekam berbagai aktivitas di desanya secara diam-diam dan mengunggahnya ke YouTube. Tak banyak yang menonton, bahkan subscribernya tak lebih dari seratus orang. Tapi ia tak peduli. Bagi Ilham, merekam adalah bagian dari hidupnya—menjadi saksi bisu bagi desanya.
Namun kali ini berbeda.
Seminggu lalu, desa digemparkan oleh penemuan mayat seorang pria di tepi sungai. Warga menyebutnya sebagai kasus pembunuhan, tapi tak ada saksi, tak ada petunjuk. Polisi pun kesulitan menemukan pelakunya.
Sampai Ilham menemukan sesuatu di arsipnya.
Dalam rekaman CCTV dari warung dekat sungai, di antara kabut dini hari yang tipis, ada bayangan samar seseorang menyeret sesuatu yang besar. Awalnya, Ilham mengira itu karung berisi sampah, tetapi saat memperbesar gambar, jantungnya berdegup kencang. Itu bukan karung.
Itu tubuh manusia.
Ilham mengusap wajahnya dengan kedua tangan, kepalanya mendidih oleh berbagai kemungkinan. Ia lalu membuka folder lain, mencari rekaman yang mungkin bisa memberinya lebih banyak petunjuk. Hingga akhirnya, ia menemukan potongan video dari kamera yang ia pasang di sebuah tiang listrik.
Dan di situlah semuanya runtuh.
Sosok yang menyeret tubuh itu terekam lebih jelas. Ia mengenali gestur tubuhnya, cara berjalannya, bahkan jaket yang dikenakannya.
Itu Abang kandungnya. Fauzan.
Ilham terduduk lemas. Tangannya meremas rambutnya yang berantakan. Matanya terpaku pada layar yang terus menampilkan ulang rekaman itu. Ini... ini nggak mungkin.
Fauzan adalah sosok yang selama ini ia hormati. Kakaknya itu adalah lelaki yang selalu menjaganya sejak kecil, yang menanggung beban keluarga setelah ayah mereka meninggal. Seorang pria yang dikenal baik di desa.
Namun rekaman ini berkata lain.
Dada Ilham terasa sesak. Ia ingin menyangkal, ingin menganggap semua ini hanya kebetulan. Tapi video ini lebih dari sekadar kebetulan.
Di tengah keterkejutannya, pintu kamarnya diketuk. "Ilham? Kau di dalam?" suara Fauzan terdengar dari balik pintu.
Ilham menatap layar sejenak sebelum akhirnya bangkit dan membuka pintu. "Abang kenapa?"
Fauzan menatapnya lekat. "Kau nggak keluar seharian. Ada yang mengganggu pikiranmu?"
Ilham menelan ludah. "Nggak, cuma capek aja."
Mata Fauzan menyipit, lalu ia melirik komputer di belakang Ilham. "Kau masih sibuk dengan CCTV itu? Sudah kubilang, terlalu banyak melihat hidup orang lain nggak baik."
Ilham berusaha tersenyum. "Cuma iseng aja, Bang."
Fauzan menghela napas. "Jangan sampai kau merekam sesuatu yang tak seharusnya. Itu bisa berbahaya."
Ilham merasa tenggorokannya kering. Kata-kata Fauzan seperti peringatan tersembunyi. Apakah kakaknya tahu kalau ia telah melihat rekaman itu?
Beberapa hari berlalu, dan kehidupan berjalan seperti biasa—setidaknya bagi orang lain. Ilham masih bekerja, masih menyapa warga, tetapi ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia terus merasa dihantui oleh rekaman itu, oleh pilihan yang harus ia buat.
Suatu malam, ketika Ilham sedang duduk di ruang tamu, suara deru kendaraan mendekati rumahnya. Lampu merah dan biru berkedip di luar jendela. Ia menahan napas.
"Fauzan Alfarizi! Kami dari kepolisian, buka pintu!" sebuah suara lantang terdengar dari luar.
Fauzan yang tengah duduk di kursi kayu menoleh dengan tatapan tajam ke arah Ilham. "Apa ini? Kau tahu sesuatu tentang ini, Ilham?"
Ilham tak menjawab. Tenggorokannya terasa tercekat. Fauzan menatapnya lebih lama sebelum akhirnya bangkit dengan gerakan lambat.
Pintu didobrak. Beberapa polisi berseragam masuk dengan sigap. "Fauzan, kau ditahan atas dugaan pembunuhan."
"Pembunuhan? Apa maksud kalian?" Fauzan berseru, matanya berkilat dengan emosi.
"Kami punya bukti kuat." Salah satu petugas melangkah maju, menatap Fauzan dingin.
Fauzan menoleh tajam ke arah Ilham. "Kau... kau yang melakukan ini? Kau melaporkan abangmu sendiri?!"
Ilham tetap diam, wajahnya pucat. Matanya bergetar menatap kakaknya, tetapi tak ada kata-kata yang keluar. Fauzan terkekeh sinis, lalu menundukkan kepala sambil menggeleng-geleng. "Kau mengkhianati darah dagingmu sendiri, Ilham... Kau pikir mereka akan membantumu setelah ini?"
Polisi segera memborgol tangan Fauzan. Ilham hanya bisa berdiri kaku di tempatnya, dadanya terasa sesak. Hanya suara langkah kaki dan pintu yang terbuka yang memenuhi udara.
Saat mobil polisi menjauh, Ilham terduduk lemas. Tangannya mencengkeram lututnya. Ia tidak perlu menjelaskan apa pun. Tidak perlu mengatakan bahwa ia telah menyerahkan flashdisk itu. Semua sudah jelas.
Dan kini, ia hanya bisa menatap kosong ke depan, menghadapi sepi yang terasa lebih berat daripada sebelumnya.