Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Lukisan yang Berbisik

Kamis, 13 Februari 2025 | Februari 13, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-28T14:43:41Z

Cerita Pendek

LUKISAN YANG BERBISIK

oleh Erwinsyah Putra

Hujan baru saja reda ketika Raka melangkah masuk ke dalam sebuah toko barang antik di sudut kota. Bau kayu tua dan debu menyergap hidungnya, namun matanya langsung tertuju pada sesuatu yang tersandar di dinding—sebuah kanvas kosong dengan bingkai kayu yang sudah lapuk. Entah mengapa, ada sesuatu dari kanvas itu yang seolah memanggilnya.

"Berapa harga kanvas ini, Pak?" tanyanya kepada pemilik toko, seorang pria tua dengan mata sayu.

Pria itu menatap kanvas tersebut sejenak, lalu menghela napas. "Itu sudah lama sekali ada di sini. Ambil saja, anggap hadiah."

Raka mengernyit. Hadiah? Kanvas berkualitas seperti ini biasanya mahal. Tapi tak ingin banyak bertanya, ia hanya mengangguk dan membawa kanvas itu pulang.

***

Di studionya yang kecil, Raka mulai menggoreskan kuas ke atas kanvas itu. Awalnya, ia hanya ingin melukis sesuatu yang abstrak—sebuah pemandangan mungkin. Namun, jari-jarinya bergerak sendiri, membentuk lekuk-lekuk yang tak ia rencanakan.

Satu jam berlalu.

Dada Raka mulai sesak saat ia melihat hasil awal lukisannya. Itu adalah wajah seseorang. Wajah seorang wanita.

Ia tidak mengenalnya, tetapi ada sesuatu yang ganjil. Mata di lukisan itu tampak begitu nyata, seperti sedang menatapnya. Ia mundur selangkah, merasa aneh. Tapi mungkin hanya imajinasinya saja.

Ia memutuskan untuk tidur.

Namun di dalam tidurnya, ia bermimpi.

Hujan deras. Lampu jalan temaram. Di tengah trotoar, seorang wanita berdiri sendirian, mengenakan gaun putih yang basah kuyup. Ia menunduk, menangis. Raka ingin mendekatinya, tetapi tubuhnya tak bisa bergerak.

Tiba-tiba, wanita itu mengangkat wajahnya.

Promo Diskon 50%

Promo Diskon 50%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

Itu wajah yang sama dengan yang ia lukis.

Raka terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia menoleh ke arah lukisan itu.

Mata dalam kanvas itu menatapnya lebih dalam daripada sebelumnya.

***

Raka berusaha mengabaikan perasaan anehnya. Ia kembali melukis, mencoba menyelesaikan detail wajah di kanvas. Tangannya bergerak, menambahkan bayangan di bawah mata, lekukan bibir, hingga helaian rambut yang menjuntai ke bahu.

Hingga sesuatu terjadi.

Saat kuasnya menyentuh bagian leher, ia mendengar suara pelan, nyaris seperti bisikan.

"Selesaikan aku..."

Raka terperanjat. Kuasnya jatuh ke lantai.

Jantungnya berdegup kencang. Matanya menyapu sekeliling ruangan, memastikan ia sendirian. Namun suara itu tetap terdengar, lirih, seakan berasal dari dalam lukisan.

Ia menatap kanvas itu dengan ngeri.

Wanita dalam lukisan itu tampak lebih hidup daripada sebelumnya. Bibirnya sedikit terbuka. Mata hitamnya kini memiliki kedalaman yang menyeramkan.

Dan sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.

Setetes air mengalir dari sudut mata lukisan itu.

Seperti air mata.

***

Raka tak bisa lagi mengabaikannya. Ia mulai mencari jawaban.

Ia mengunggah foto lukisan itu ke internet, berharap ada yang mengenali wajah wanita itu. Dua hari berlalu tanpa jawaban, sampai seseorang mengirim pesan padanya.

"Di mana kau menemukan lukisan itu?"

Pengirimnya adalah seorang pria bernama Bagas. Ia mengaku sebagai saudara dari seorang wanita bernama Laras—wanita yang menghilang sepuluh tahun lalu.

Raka tak bisa bernapas.

Laras. Nama itu entah mengapa terasa begitu familiar.

Bagas mengundangnya ke sebuah desa kecil di pinggiran kota. "Aku punya sesuatu yang harus kau lihat," katanya.

***

Raka tiba di desa itu pada sore hari. Langit mendung, angin berhembus dingin. Bagas sudah menunggunya di depan sebuah rumah tua.

Di dalam rumah itu, Bagas menunjukkan sebuah foto lama.

Foto seorang wanita yang tersenyum di bawah pohon rindang.

Wajah yang sama dengan yang ada di lukisan Raka.

"Tiga hari sebelum Laras menghilang, dia sempat berkata sesuatu yang aneh," kata Bagas. "Katanya, ada seseorang yang akan melukisnya suatu hari nanti. Tapi kami semua tak mengerti maksudnya."

Raka merasakan bulu kuduknya meremang.

Ia mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan foto lukisannya. Bagas membeku.

"Ini..." suaranya tercekat. "Gaun putih itu... Itu baju yang dia pakai saat terakhir kali kami melihatnya."

Raka merasa seluruh dunianya berputar. Ia menatap lukisan itu sekali lagi. Kini ia sadar—di bagian bawah kanvas, ada goresan samar yang belum ia sadari sebelumnya.

Sebuah lokasi.

Koordinat.

Tanpa berpikir panjang, Raka dan Bagas mengikuti koordinat tersebut.

***

Lokasi yang tertulis di kanvas membawa mereka ke sebuah hutan tua. Langkah mereka semakin pelan saat sampai di sebuah titik yang terasa... aneh.

Tanah di sana tampak lebih gelap dibandingkan sekitarnya.

Bagas menelan ludah. "Ini... tempat terakhir Laras terlihat."

Raka merasakan jantungnya hampir berhenti berdetak. Dengan tangan gemetar, ia meraba tanah itu. Lembap. Dingin.

Dan tiba-tiba, ia menyadari sesuatu.

Di bawah lapisan tanah, ada sesuatu yang keras.

Dengan tangan gemetar, mereka mulai menggali.

Satu menit. Dua menit. Hingga akhirnya—

Sebuah tengkorak muncul.

Gaun putihnya masih utuh.

Dan saat itu juga, angin bertiup kencang.

Dari kejauhan, terdengar suara lirih, begitu familiar.

"Terima kasih telah menemukanku..."

Raka dan Bagas saling berpandangan, napas mereka terengah.

Laras tidak menghilang.

Ia telah dibunuh.

Dan ia telah menunggu seseorang menemukannya selama sepuluh tahun.

Tapi satu pertanyaan masih belum terjawab.

Kenapa Raka yang melukisnya?

Promo Diskon 50%

Promo Diskon 50%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

Kenapa Laras sudah tahu bahwa suatu hari nanti seseorang akan melukisnya?

Dan siapa yang membunuhnya?

***

Malam itu, Raka kembali ke rumah dengan kepala penuh pertanyaan. Ia menatap lukisan Laras untuk terakhir kalinya.

Senyumnya kini berbeda.

Lebih tenang.

Namun, sebelum ia sempat beranjak...

Mata Laras dalam lukisan itu berkedip.

Lalu, perlahan-lahan... bibirnya bergerak.

"Sekarang giliranmu..."

***

Malam itu, Raka duduk terpaku di depan lukisan Laras. Ia masih belum bisa memahami semuanya. Siapa sebenarnya Laras? Kenapa dia bisa memprediksi bahwa seseorang akan melukisnya? Dan kenapa harus Raka?

Saat ia menatap mata dalam lukisan itu, sebuah perasaan aneh menyusup ke dalam pikirannya—seperti ada sesuatu yang belum selesai.

Dan kemudian, bibir Laras dalam lukisan itu mulai bergerak.

"Sekarang giliranmu..."

Jantung Raka hampir berhenti. Suara itu bergema di dalam kepalanya, membuatnya gemetar.

Tapi kali ini, ia tidak akan lari.

Ia mengambil napas dalam-dalam dan menatap lurus ke dalam lukisan itu. "Apa maksudmu?" tanyanya, meski merasa bodoh karena berbicara dengan selembar kanvas.

Namun, tiba-tiba…

Dada Raka terasa berat. Tangannya gemetar, kepalanya pusing. Ruangan di sekitarnya mulai berputar, semakin cepat, hingga semuanya menjadi hitam.


Mimpi atau Kenyataan?

Saat Raka membuka matanya, ia berdiri di tempat yang asing.

Jalanan sepi. Hujan rintik-rintik membasahi aspal. Lampu jalan temaram, memantulkan cahaya lembut di atas trotoar.

Dan di sana—berdiri seorang wanita dalam gaun putih, menunduk, menangis.

Laras.

Ini adalah mimpi yang selalu ia alami. Tapi kali ini… sesuatu berbeda.

Wanita itu mengangkat kepalanya perlahan. Matanya yang dulu hanya ada di lukisan kini benar-benar menatapnya.

"Raka…" suaranya lirih, seolah tertahan di tenggorokan.

"Bagaimana kau tahu namaku?" Raka berbisik, merasa tenggorokannya kering.

Laras tersenyum lemah. "Karena kau bagian dari cerita ini. Sama sepertiku."

Tiba-tiba, potongan-potongan ingatan asing berkelebat di benak Raka—gambar-gambar yang bukan miliknya, kenangan yang bukan miliknya.

Sepuluh tahun lalu…

Seorang pria berlari menembus hujan, tangannya berlumuran darah. Ia menyeret sesuatu ke dalam hutan.

Sebuah tubuh.

Laras.

Dan pria itu adalah… Raka.

***

Raka terhuyung mundur, napasnya memburu. "Tidak… tidak mungkin…"

Laras mendekat. Matanya dipenuhi kesedihan, bukan amarah. "Kau sudah melupakannya, kan? Itu bagian dari hukumanmu."

Ingatan itu menyerangnya dengan brutal.

Ia dan Laras pernah saling mengenal. Mereka bertemu di sebuah pameran seni, jatuh cinta dalam sekejap. Tapi hubungan mereka tidak berjalan mulus. Laras ingin pergi, ingin mengakhiri semuanya.

Dan pada malam hujan itu, mereka bertengkar hebat.

Dalam kemarahan, Raka mendorongnya.

Kepala Laras membentur batu.

Ia tidak berniat membunuhnya. Tapi ketakutan menguasainya. Ia menyeret tubuh Laras ke dalam hutan, menguburnya, lalu melupakan semuanya.

Tapi dosa tak pernah benar-benar hilang.

Itulah sebabnya ia melukisnya. Itulah sebabnya Laras muncul dalam mimpinya.

Laras berbisik, "Sekarang kau mengingatnya, kan?"

Raka jatuh berlutut, tubuhnya bergetar.

"Apa yang harus aku lakukan…?" suaranya putus asa.

Laras menatapnya dengan belas kasih. "Kebenaran harus diungkap. Ini bukan tentangku lagi. Ini tentangmu. Tentang hidupmu yang kau bangun di atas kebohongan."

Tiba-tiba, semuanya mulai memudar.

***

Raka terbangun di studionya.

Lukisan Laras masih di sana, tapi ada sesuatu yang berbeda.

Di sudut bawah kanvas, kini tertulis sesuatu dengan warna merah tua.

"Hujan. Hutan. Kebenaran."

Tangannya gemetar saat ia membaca kata-kata itu.

Ia tahu apa yang harus dilakukan.

Keesokan harinya, Raka pergi ke kantor polisi. Dengan suara bergetar, ia mengakui semuanya—tentang malam itu, tentang Laras, tentang tubuh yang ia kuburkan sepuluh tahun lalu.

Polisi segera pergi ke lokasi yang ia tunjukkan. Dan benar saja… mereka menemukan sisa-sisa tubuh Laras.

Kasus yang selama ini dianggap sebagai ‘orang hilang’ akhirnya terungkap.

Dan Raka?

Ia menerima hukumannya.

Di balik jeruji, ia melukis wajah Laras lagi dan lagi, hingga tangannya kaku.

Namun, ada sesuatu yang berbeda.

Kini, dalam setiap lukisan, Laras selalu tersenyum.

Mungkin, karena ia akhirnya bisa pergi dengan tenang.

×
Fiksi Fillo Baru KLIK