Cerita Pendek
LUKISAN YANG BERBISIK
oleh Erwinsyah Putra
Hujan baru
saja reda ketika Raka melangkah masuk ke dalam sebuah toko barang antik di
sudut kota. Bau kayu tua dan debu menyergap hidungnya, namun matanya langsung
tertuju pada sesuatu yang tersandar di dinding—sebuah kanvas kosong dengan
bingkai kayu yang sudah lapuk. Entah mengapa, ada sesuatu dari kanvas itu yang
seolah memanggilnya.
"Berapa
harga kanvas ini, Pak?" tanyanya kepada pemilik toko, seorang pria tua
dengan mata sayu.
Pria itu
menatap kanvas tersebut sejenak, lalu menghela napas. "Itu sudah lama sekali
ada di sini. Ambil saja, anggap hadiah."
Raka
mengernyit. Hadiah? Kanvas berkualitas seperti ini biasanya mahal. Tapi tak
ingin banyak bertanya, ia hanya mengangguk dan membawa kanvas itu pulang.
***
Di studionya
yang kecil, Raka mulai menggoreskan kuas ke atas kanvas itu. Awalnya, ia hanya
ingin melukis sesuatu yang abstrak—sebuah pemandangan mungkin. Namun,
jari-jarinya bergerak sendiri, membentuk lekuk-lekuk yang tak ia rencanakan.
Satu jam
berlalu.
Dada Raka
mulai sesak saat ia melihat hasil awal lukisannya. Itu adalah wajah seseorang.
Wajah seorang wanita.
Ia tidak
mengenalnya, tetapi ada sesuatu yang ganjil. Mata di lukisan itu tampak begitu
nyata, seperti sedang menatapnya. Ia mundur selangkah, merasa aneh. Tapi
mungkin hanya imajinasinya saja.
Ia
memutuskan untuk tidur.
Namun di
dalam tidurnya, ia bermimpi.
Hujan
deras. Lampu jalan temaram. Di tengah trotoar, seorang wanita berdiri
sendirian, mengenakan gaun putih yang basah kuyup. Ia menunduk, menangis. Raka
ingin mendekatinya, tetapi tubuhnya tak bisa bergerak.
Tiba-tiba,
wanita itu mengangkat wajahnya.
Itu wajah
yang sama dengan yang ia lukis.
Raka
terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia menoleh
ke arah lukisan itu.
Mata
dalam kanvas itu menatapnya lebih dalam daripada sebelumnya.
***
Raka
berusaha mengabaikan perasaan anehnya. Ia kembali melukis, mencoba
menyelesaikan detail wajah di kanvas. Tangannya bergerak, menambahkan bayangan
di bawah mata, lekukan bibir, hingga helaian rambut yang menjuntai ke bahu.
Hingga
sesuatu terjadi.
Saat
kuasnya menyentuh bagian leher, ia mendengar suara pelan, nyaris seperti
bisikan.
"Selesaikan
aku..."
Raka
terperanjat. Kuasnya jatuh ke lantai.
Jantungnya
berdegup kencang. Matanya menyapu sekeliling ruangan, memastikan ia sendirian.
Namun suara itu tetap terdengar, lirih, seakan berasal dari dalam lukisan.
Ia
menatap kanvas itu dengan ngeri.
Wanita
dalam lukisan itu tampak lebih hidup daripada sebelumnya. Bibirnya sedikit
terbuka. Mata hitamnya kini memiliki kedalaman yang menyeramkan.
Dan
sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.
Setetes
air mengalir dari sudut mata lukisan itu.
Seperti
air mata.
***
Raka tak
bisa lagi mengabaikannya. Ia mulai mencari jawaban.
Ia
mengunggah foto lukisan itu ke internet, berharap ada yang mengenali wajah
wanita itu. Dua hari berlalu tanpa jawaban, sampai seseorang mengirim pesan
padanya.
"Di
mana kau menemukan lukisan itu?"
Pengirimnya
adalah seorang pria bernama Bagas. Ia mengaku sebagai saudara dari seorang
wanita bernama Laras—wanita yang menghilang sepuluh tahun lalu.
Raka tak
bisa bernapas.
Laras.
Nama itu entah mengapa terasa begitu familiar.
Bagas
mengundangnya ke sebuah desa kecil di pinggiran kota. "Aku punya sesuatu
yang harus kau lihat," katanya.
***
Raka tiba
di desa itu pada sore hari. Langit mendung, angin berhembus dingin. Bagas sudah
menunggunya di depan sebuah rumah tua.
Di dalam
rumah itu, Bagas menunjukkan sebuah foto lama.
Foto
seorang wanita yang tersenyum di bawah pohon rindang.
Wajah
yang sama dengan yang ada di lukisan Raka.
"Tiga
hari sebelum Laras menghilang, dia sempat berkata sesuatu yang aneh," kata
Bagas. "Katanya, ada seseorang yang akan melukisnya suatu hari nanti. Tapi
kami semua tak mengerti maksudnya."
Raka
merasakan bulu kuduknya meremang.
Ia
mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan foto lukisannya. Bagas membeku.
"Ini..."
suaranya tercekat. "Gaun putih itu... Itu baju yang dia pakai saat
terakhir kali kami melihatnya."
Raka
merasa seluruh dunianya berputar. Ia menatap lukisan itu sekali lagi. Kini ia
sadar—di bagian bawah kanvas, ada goresan samar yang belum ia sadari
sebelumnya.
Sebuah
lokasi.
Koordinat.
Tanpa
berpikir panjang, Raka dan Bagas mengikuti koordinat tersebut.
***
Lokasi
yang tertulis di kanvas membawa mereka ke sebuah hutan tua. Langkah mereka
semakin pelan saat sampai di sebuah titik yang terasa... aneh.
Tanah di
sana tampak lebih gelap dibandingkan sekitarnya.
Bagas
menelan ludah. "Ini... tempat terakhir Laras terlihat."
Raka
merasakan jantungnya hampir berhenti berdetak. Dengan tangan gemetar, ia meraba
tanah itu. Lembap. Dingin.
Dan tiba-tiba,
ia menyadari sesuatu.
Di bawah
lapisan tanah, ada sesuatu yang keras.
Dengan
tangan gemetar, mereka mulai menggali.
Satu
menit. Dua menit. Hingga akhirnya—
Sebuah
tengkorak muncul.
Gaun
putihnya masih utuh.
Dan saat
itu juga, angin bertiup kencang.
Dari
kejauhan, terdengar suara lirih, begitu familiar.
"Terima
kasih telah menemukanku..."
Raka dan
Bagas saling berpandangan, napas mereka terengah.
Laras
tidak menghilang.
Ia telah
dibunuh.
Dan ia
telah menunggu seseorang menemukannya selama sepuluh tahun.
Tapi satu
pertanyaan masih belum terjawab.
Kenapa
Raka yang melukisnya?
Kenapa
Laras sudah tahu bahwa suatu hari nanti seseorang akan melukisnya?
Dan siapa
yang membunuhnya?
***
Malam
itu, Raka kembali ke rumah dengan kepala penuh pertanyaan. Ia menatap lukisan
Laras untuk terakhir kalinya.
Senyumnya
kini berbeda.
Lebih
tenang.
Namun,
sebelum ia sempat beranjak...
Mata
Laras dalam lukisan itu berkedip.
Lalu,
perlahan-lahan... bibirnya bergerak.
"Sekarang
giliranmu..."
***
Malam
itu, Raka duduk terpaku di depan lukisan Laras. Ia masih belum bisa memahami
semuanya. Siapa sebenarnya Laras? Kenapa dia bisa memprediksi bahwa seseorang
akan melukisnya? Dan kenapa harus Raka?
Saat ia
menatap mata dalam lukisan itu, sebuah perasaan aneh menyusup ke dalam
pikirannya—seperti ada sesuatu yang belum selesai.
Dan
kemudian, bibir Laras dalam lukisan itu mulai bergerak.
"Sekarang
giliranmu..."
Jantung
Raka hampir berhenti. Suara itu bergema di dalam kepalanya, membuatnya gemetar.
Tapi kali
ini, ia tidak akan lari.
Ia
mengambil napas dalam-dalam dan menatap lurus ke dalam lukisan itu. "Apa
maksudmu?" tanyanya, meski merasa bodoh karena berbicara dengan selembar
kanvas.
Namun,
tiba-tiba…
Dada Raka
terasa berat. Tangannya gemetar, kepalanya pusing. Ruangan di sekitarnya mulai
berputar, semakin cepat, hingga semuanya menjadi hitam.
Mimpi atau Kenyataan?
Saat Raka
membuka matanya, ia berdiri di tempat yang asing.
Jalanan
sepi. Hujan rintik-rintik membasahi aspal. Lampu jalan temaram, memantulkan
cahaya lembut di atas trotoar.
Dan di
sana—berdiri seorang wanita dalam gaun putih, menunduk, menangis.
Laras.
Ini
adalah mimpi yang selalu ia alami. Tapi kali ini… sesuatu berbeda.
Wanita
itu mengangkat kepalanya perlahan. Matanya yang dulu hanya ada di lukisan kini
benar-benar menatapnya.
"Raka…"
suaranya lirih, seolah tertahan di tenggorokan.
"Bagaimana
kau tahu namaku?" Raka berbisik, merasa tenggorokannya kering.
Laras
tersenyum lemah. "Karena kau bagian dari cerita ini. Sama sepertiku."
Tiba-tiba,
potongan-potongan ingatan asing berkelebat di benak Raka—gambar-gambar yang
bukan miliknya, kenangan yang bukan miliknya.
Sepuluh
tahun lalu…
Seorang
pria berlari menembus hujan, tangannya berlumuran darah. Ia menyeret sesuatu ke
dalam hutan.
Sebuah
tubuh.
Laras.
Dan pria
itu adalah… Raka.
***
Raka
terhuyung mundur, napasnya memburu. "Tidak… tidak mungkin…"
Laras
mendekat. Matanya dipenuhi kesedihan, bukan amarah. "Kau sudah
melupakannya, kan? Itu bagian dari hukumanmu."
Ingatan
itu menyerangnya dengan brutal.
Ia dan
Laras pernah saling mengenal. Mereka bertemu di sebuah pameran seni, jatuh
cinta dalam sekejap. Tapi hubungan mereka tidak berjalan mulus. Laras ingin
pergi, ingin mengakhiri semuanya.
Dan pada
malam hujan itu, mereka bertengkar hebat.
Dalam
kemarahan, Raka mendorongnya.
Kepala
Laras membentur batu.
Ia tidak
berniat membunuhnya. Tapi ketakutan menguasainya. Ia menyeret tubuh Laras ke
dalam hutan, menguburnya, lalu melupakan semuanya.
Tapi dosa
tak pernah benar-benar hilang.
Itulah
sebabnya ia melukisnya. Itulah sebabnya Laras muncul dalam mimpinya.
Laras
berbisik, "Sekarang kau mengingatnya, kan?"
Raka
jatuh berlutut, tubuhnya bergetar.
"Apa
yang harus aku lakukan…?" suaranya putus asa.
Laras
menatapnya dengan belas kasih. "Kebenaran harus diungkap. Ini bukan
tentangku lagi. Ini tentangmu. Tentang hidupmu yang kau bangun di atas
kebohongan."
Tiba-tiba,
semuanya mulai memudar.
***
Raka
terbangun di studionya.
Lukisan
Laras masih di sana, tapi ada sesuatu yang berbeda.
Di sudut
bawah kanvas, kini tertulis sesuatu dengan warna merah tua.
"Hujan.
Hutan. Kebenaran."
Tangannya
gemetar saat ia membaca kata-kata itu.
Ia tahu
apa yang harus dilakukan.
Keesokan
harinya, Raka pergi ke kantor polisi. Dengan suara bergetar, ia mengakui
semuanya—tentang malam itu, tentang Laras, tentang tubuh yang ia kuburkan
sepuluh tahun lalu.
Polisi
segera pergi ke lokasi yang ia tunjukkan. Dan benar saja… mereka menemukan
sisa-sisa tubuh Laras.
Kasus
yang selama ini dianggap sebagai ‘orang hilang’ akhirnya terungkap.
Dan Raka?
Ia
menerima hukumannya.
Di balik
jeruji, ia melukis wajah Laras lagi dan lagi, hingga tangannya kaku.
Namun,
ada sesuatu yang berbeda.
Kini,
dalam setiap lukisan, Laras selalu tersenyum.
Mungkin,
karena ia akhirnya bisa pergi dengan tenang.