Cerita Pendek
Malam Terakhir di Stasiun
oleh Erwinsyah Putra
Hujan turun perlahan di luar jendela stasiun kecil itu. Malam terasa berat dan sunyi, seperti menahan napas. Lampu-lampu redup berpendar di lantai yang basah, sementara suara tetes hujan bergema di kejauhan.
Seorang pria duduk di bangku kayu tua, mengenakan jaket kusam yang terlihat terlalu tipis untuk malam sedingin ini. Wajahnya lelah, matanya kosong menatap rel kereta yang tak berujung. Tangannya menggenggam tiket lusuh, seolah-olah itu satu-satunya hal yang masih mengikatnya pada realitas.
Dari pintu stasiun, seorang wanita muncul dengan langkah ragu. Rambutnya basah, wajahnya pucat. Ia membawa sebuah koper kecil yang tampak berat, seperti beban hidup yang telah ia pikul terlalu lama. Tatapannya mencari sesuatu—mungkin kehangatan, mungkin sekadar tempat untuk duduk dan bernapas.
Mata mereka bertemu. Hanya sekejap, namun cukup untuk menautkan dua jiwa yang rapuh.
"Kereta malam belum datang?" tanya wanita itu, mencoba memecah kesunyian.
Pria itu menggeleng pelan. "Terjadwal pukul sebelas. Tapi... kereta di sini sering datang terlambat."
Wanita itu mengangguk, lalu duduk di bangku di seberangnya. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir gemetar di tangannya.
"Apa kau juga sedang pergi jauh?" tanyanya.
Pria itu tersenyum kecil, getir. "Jauh dari semuanya, mungkin. Aku baru saja kehilangan pekerjaan. Tak ada lagi yang menahanku di kota ini."
Wanita itu terdiam. Matanya menatap lantai, bibirnya bergetar sebelum ia berkata, "Aku kabur dari rumah. Dari suamiku."
Mata pria itu menyipit, bukan karena ingin menghakimi, tapi karena merasa ada sesuatu yang familiar dalam cerita itu. "Apa dia menyakitimu?"
"Lebih dari yang bisa kukatakan," jawabnya pelan. "Bukan dengan pukulan, tapi dengan sikapnya. Dengan diamnya yang dingin, dengan cara dia membuatku merasa tidak berarti. Aku bertahan terlalu lama, berharap sesuatu akan berubah. Tapi tak pernah berubah."
Pria itu menunduk, merasakan setiap kata yang ia ucapkan. Seolah-olah ia sedang mendengar kisahnya sendiri dalam versi yang berbeda.
"Mungkin kita memang terlalu sering berharap pada hal-hal yang tak pernah datang," katanya. "Aku juga pernah menunggu sesuatu. Pengakuan, apresiasi, kesempatan... Tapi akhirnya aku hanya mendapati diri sendiri duduk di sini, menunggu kereta yang entah kapan tiba."
Wanita itu tertawa kecil, getir. "Kita seperti dua tokoh dalam novel yang tak selesai."
"Atau mungkin kita adalah cerita pendek yang harus berakhir malam ini," sahut pria itu sambil tersenyum tipis.
Hening sejenak. Hujan masih terus jatuh di luar, menjadi musik latar percakapan mereka yang sederhana namun penuh makna.
"Ke mana kau akan pergi setelah ini?" tanya wanita itu.
"Belum tahu," jawabnya jujur. "Mungkin aku akan naik kereta pertama yang datang dan melihat ke mana ia membawaku."
Wanita itu menatapnya lama. "Andai hidup bisa sesederhana itu."
Pria itu mengangguk. "Terkadang, kita hanya butuh keberanian untuk melangkah."
Kereta terdengar dari kejauhan. Suara peluitnya menusuk sunyi malam, perlahan mendekat.
"Kau harus pergi," kata pria itu. "Ini mungkin kesempatanmu."
Wanita itu bangkit, matanya berkabut. "Dan kau? Apa kau akan naik kereta ini juga?"
Pria itu tersenyum samar. "Aku rasa... belum waktunya. Masih ada sesuatu yang harus kuselesaikan."
Mereka saling menatap untuk terakhir kalinya.
"Terima kasih," bisik wanita itu. "Untuk malam ini. Untuk percakapan ini."
Pria itu mengangguk. "Hati-hati di perjalanan."
Wanita itu melangkah menuju kereta, sesekali menoleh ke belakang, seolah berharap pria itu mengubah pikirannya. Tapi pria itu tetap di tempatnya, menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Kereta bergerak perlahan, lalu menghilang di balik hujan. Stasiun kembali sepi, hanya menyisakan pria itu dan suara hujan yang kini terdengar semakin lirih.
Ia menatap rel yang kosong, lalu merogoh tiket di sakunya. Tertulis jelas, "Tujuan: Tidak Diketahui."
Hujan terus turun, dan pria itu tetap duduk di sana, menunggu kereta berikutnya yang mungkin tak akan pernah datang.