Cerita Pendek
Menapak Tilas
oleh Erwinsyah Putra
Pagi Buta Sebuah mobil hitam meluncur pelan di jalanan kota Bandung yang
masih lengang. Di kursi belakang, Jaka bersandar dengan pandangan kosong,
matanya menatap keluar jendela, tapi pikirannya melayang jauh.
Di pangkuannya, sebuah amplop tua berisi tulisan tangan yang mulai pudar.
Wasiat dari ayahnya. "Jaka..." suara terakhir Pak Lastomo terngiang
di kepalanya, seperti gema yang tak mau pergi.
"Temukan abangmu... Temukan Adi... sebelum aku pergi selamanya..."
Jaka menggertakkan giginya.
Hatinya seperti dipelintir setiap kali mengingat kata-kata itu. Adi Sakti
Lasmono.
Sosok yang belum pernah ada di ingatannya, Abang yang tak pernah kembali
setelah kabur dari rumah—membawa emas ibu mereka demi melunasi hutang judi.
Saat itu, Adi baru kelas 3 SMP. Anak berusia 15 tahun yang terlalu cepat
mengenal kerasnya hidup.
"Dia anak pembawa sial!" seru ayahnya dulu. "Sejak dia
lahir, rezeki kita seret! Aku sakit-sakitan, ibu kalian hampir meninggal waktu
melahirkan dia... dan lihat sekarang! Dia bahkan mencuri dari kita!" Jaka
mengepalkan tangan.
Ayahnya mungkin keras, tapi rasa sakit itu membuatnya begitu.
Kehidupan mereka memang bukan dongeng yang indah. Ayahnya bekerja siang
malam demi menafkahi keluarga, sementara Adi—selalu merasa dunia ini tak adil
padanya—memilih jalan yang menghancurkan segalanya.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah tua dengan cat yang mulai mengelupas.
Rumah Pak Atmojo, wali kelas Adi waktu SMP, orang pertama yang mungkin bisa
memberinya petunjuk.
"Pak Atmojo sudah menunggu di teras," kata sopirnya dengan suara
tenang.
Jaka turun dari mobil, merapikan jasnya, dan melangkah dengan tenang ke
arah teras.
Pak Atmojo duduk di sana, di kursi rotan tua, menyesap kopi hitam yang
mengepul di udara pagi yang sejuk. Wajahnya sudah penuh keriput, rambutnya
putih seluruhnya, tapi tatapan matanya tetap tajam.
"Pak Jaka... Akhirnya kamu datang juga," katanya, tersenyum
kecil. "Sudah lama ya sejak terakhir kali aku lihat kamu. Waktu itu...
kamu masih anak kecil yang suka minta es krim setiap habis acara sekolah."
Jaka tertawa kecil, tapi hatinya masih berat.
"Ya, Pak. Lama sekali." Pak Atmojo menepuk kursi di depannya.
"Duduklah. Kita bicara santai saja. Aku tahu kamu ingin tahu tentang Adi."
Jaka duduk perlahan, menatap mata Pak Atmojo yang penuh rahasia. "Saya
butuh petunjuk."
Pak Atmojo terdiam, menyesap kopinya dengan pelan. "Adi... dia anak
yang berbeda sejak kecil. Selalu merasa dunia ini memusuhinya. Pintar, tapi
penuh kemarahan. Dia suka buat keonaran, tapi aku tahu dia hanya mencari
perhatian. Setiap bulan, orang tuamu pasti aku panggil ke sekolah. Bukan karena
dia jahat... tapi karena dia terjebak dalam kemarahan yang dia sendiri nggak
bisa kendalikan."
Jaka terdiam.
Angin pagi berembus pelan, membawa aroma kopi dan rasa getir yang tak
terlihat.
"Adi sering curhat padaku, tahu?" lanjut Pak Atmojo. "Dia
benci dengan keadaan di rumah, merasa selalu jadi kambing hitam. Dan kau tahu
apa yang paling menyakitkan baginya?"
Jaka menggeleng pelan.
"Dia merasa kau adalah anak emas dalam keluarga. Anak yang sempurna,
yang tak pernah salah, tak pernah dimarahi... sementara dia? Hanya
bayang-bayang yang selalu disalahkan."
Kata-kata itu menusuk Jaka seperti pisau.
Ia tak pernah tahu Adi menyimpan luka sebesar itu.
Pak Atmojo menatap Jaka lekat-lekat. "Kalau kau mau temukan dia, ada
satu orang yang mungkin bisa membantumu. Bu Sarmi. Adik ipar ayahmu. Dia yang
merawat Adi setelah dia kabur dari rumah. Sekarang dia tinggal di Jakarta."
***
Sore Hari Langit Jakarta mulai berwarna jingga ketika Jaka tiba di sebuah
gang sempit di kawasan padat penduduk. Di kanan-kiri, kontrakan-kontrakan kecil
berbaris rapat seperti saksi bisu dari ribuan cerita hidup yang berbeda.
Sebuah papan kayu bertuliskan "Kontrakan Bu Sarmi" menggantung di
pintu besi yang mulai berkarat. Jaka turun dari mobil, menarik napas panjang,
mencoba mengusir rasa canggung.
Bu Sarmi, adik ipar ayahnya, adalah harapan terakhirnya untuk mendapatkan
petunjuk tentang Adi. Atau Tilas, seperti yang disebutkan Pak Atmojo.
Jaka mengetuk pintu.
Tak butuh waktu lama sebelum pintu terbuka, menampakkan sosok wanita paruh
baya dengan senyum ramah. Matanya penuh kehangatan, tapi sorotnya menunjukkan
ketegaran yang dibentuk oleh tahun-tahun berat.
"Jaka?" Bu Sarmi tersenyum lebar. "Masya Allah, sudah besar
kamu! Mirip sekali sama ayahmu waktu muda."
"Assalamualaikum, Bu." Jaka tersenyum sopan, menjabat tangannya.
"Maaf, saya datang mendadak. Saya butuh bantuan Ibu. Ini tentang... Adi."
Raut wajah Bu Sarmi berubah seketika. Senyumnya pudar, digantikan ekspresi
yang sulit ditebak. Ia melangkah mundur, mempersilakan Jaka masuk ke dalam
kontrakan kecil yang bersih dan tertata rapi.
Di Dalam Kontrakan Ruangan itu sederhana—dindingnya penuh hiasan foto
keluarga dan lukisan kecil, sementara di sudut ada rak berisi tumpukan buku dan
piring-piring bersih.
Suara obrolan mahasiswa dari kamar sebelah samar terdengar di sela-sela
keheningan. Jaka duduk di kursi kayu yang agak keras.
Bu Sarmi menuangkan teh panas ke dalam gelas, kemudian duduk di seberang
Jaka.
"Kamu pasti dengar dari Pak Atmojo, ya?" Bu Sarmi menghela napas
panjang. "Tentang Tilas."
Jaka mengangguk. "Ibu... kenapa dia dipanggil Tilas?"
Bu Sarmi tersenyum getir. "Itu julukan dari guru-gurunya di SMA.
Singkatan dari Tidur dan Malas. Dia jarang masuk kelas, dan kalau datang pun,
dia cuma tidur di meja.
Gurunya bilang, ‘Tilas lebih sering hidup di mimpinya daripada di dunia
nyata.’" Jaka menunduk, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Bu
Sarmi.
"Dia anak yang keras kepala," lanjut Bu Sarmi. "Dia tak suka
diatur, merasa dunia ini tak punya tempat buatnya. Setelah kabur dari rumah,
dia hidup seadanya. Kadang jadi kernet angkot, kadang sol sepatu di pinggir
jalan. Pernah juga jadi badut di taman kota, bahkan joki motor balap
liar."
Jaka terdiam.
Ia bisa membayangkan abangnya berjuang di jalanan, berganti-ganti pekerjaan
demi bertahan hidup. "Tapi yang paling parah..." Bu Sarmi menatap
Jaka lekat-lekat.
"Tilas pernah jadi kurir sabu. Itu pekerjaan yang hampir merenggut
nyawanya.
Dia tertangkap di Surabaya saat mengantar paket.
Kalau bukan karena aku yang jamin dia keluar dari penjara, mungkin dia
masih di sana sampai sekarang." Jaka tertegun. "Dia... dia
tertangkap?"
"Iya," jawab Bu Sarmi pelan. "Saat itu aku hampir putus asa.
Aku kira dia takkan pernah berubah. Tapi entah bagaimana, setelah keluar dari
penjara, dia sempat mencoba memperbaiki hidupnya. Sayangnya... hidup tak
semudah itu. Dia hilang lagi. Kali ini tanpa jejak."
Hening menyelimuti ruangan. Di luar, azan magrib mulai berkumandang,
menyisakan suasana yang semakin berat.
"Ibu tahu di mana dia sekarang?" tanya Jaka, suaranya hampir
berbisik.
Bu Sarmi menggeleng pelan.
"Terakhir, dia bilang mau cari kerja di pelabuhan.
Dia suka dekat laut, katanya lebih mudah bernapas di sana. Mungkin kamu
bisa mulai dari sana."
***
Malam Hari Udara lembap malam itu berbaur dengan aroma asap rokok dan kopi
hitam dari warung di pinggir taman kota. Lampu-lampu jalanan Kota Surabaya berkelip-kelip
temaram, menyisakan bayangan panjang dari orang-orang yang berlalu-lalang.
Jaka duduk di salah satu bangku taman, menunggu seseorang yang disebut oleh
Bu Sarmi sebagai satu-satunya sahabat Adi—atau Tilas—di penjara: Doni.
Suara motor menderu pelan dari kejauhan. Seorang pria turun dari motor
butut dengan langkah penuh percaya diri. Tubuhnya kekar, kulitnya gelap, dan
wajahnya dihiasi kumis serta jambang tebal.
Tato menjalar di lengannya, sebagian tertutup oleh lengan jaket kulit yang
ia pakai. Mas Doni. "Jaka?"
Doni menyipitkan mata, menatap Jaka dari kepala sampai kaki.
"Wah, kamu ini pasti adiknya Tilas." Jaka berdiri dan menjabat
tangannya.
"Iya, Mas Doni. Terima kasih sudah mau ketemu. Saya lagi cari
Tilas."
Doni duduk di sebelah Jaka, mengeluarkan rokok dari saku jaketnya,
menyalakannya dengan gerakan tenang. Ia menghisap dalam-dalam sebelum akhirnya
menjawab. "Tilas... Sudah lama aku nggak dengar kabar dia."
Suaranya serak. "Terakhir kami ketemu, dia bilang mau ke Sumatera.
Katanya, mau coba hidup di sana, mulai dari nol."
Jaka terdiam sejenak, mencoba mencerna. "Mas Doni... bisa ceritain apa
yang terjadi sama dia waktu di penjara?"
Doni menghela napas panjang, matanya menerawang jauh seakan mengingat
sesuatu yang menyakitkan.
"Tilas itu anak kuat, lebih kuat dari yang dia kira." Doni
menatap Jaka.
"Tapi di penjara, hidup itu
kejam. Apalagi buat anak sepertinya yang nggak punya dukungan apa-apa. Dia
sering dibully, jatahnya diambil. Bahkan kadang malam-malam, dia dihajar
habis-habisan oleh para preman."
Doni mengatupkan rahangnya, wajahnya berubah kelam. "Aku baru masuk
penjara di tahun terakhir dia di sana. Aku cuma beberapa bulan, kena kasus
curanmor, tapi ada orang bayar jaminanku, jadi aku bisa keluar lebih cepat.
Nah, sebelum aku masuk, Tilas udah terkenal. Terkenal karena akhirnya dia lawan
balik."
"Lawan balik?" tanya Jaka, penasaran.
Doni tertawa kecil, getir.
"Dia bakar ruang penjara. Malam itu, enam orang yang biasa nindas dia
nggak bisa apa-apa lagi. Semua orang jera ngusik Tilas setelah itu. Tapi
gara-gara itu, dia dipindah ke sel isolasi. Di sana, aku satu sel sama
dia."
Jaka menatap Doni, terpaku. "Awalnya aku pikir dia bakal jadi musuhku
juga," lanjut Doni. "Tapi ternyata... dia nggak seburuk yang
orang-orang bilang. Dia cuma anak yang cari cara buat bertahan hidup. Kami jadi
dekat. Aku bahkan bisa bilang, dia kayak adik kecilku di sana."
"Setelah bebas, kalian ketemu lagi?"
Doni mengangguk. "Iya. Dia masih sama seperti dulu, keras kepala, tapi
lebih tenang. Dia bilang mau hijrah ke Sumatera. Cari nasib baru. Aku nggak
tahu pasti di kota mana, tapi waktu itu dia sebut-sebut soal pelabuhan di
Lampung. Mungkin kamu bisa cari di sana."
Jaka mencatat semua informasi di kepalanya. "Mas Doni, terima kasih
banyak. Kalau bukan karena Mas, saya nggak akan tahu apa-apa soal Adi."
Doni tersenyum samar, menepuk pundak Jaka.
"Tilas itu keras, tapi aku tahu dia pasti masih hidup. Kalau kamu
ketemu dia... bilang sama dia, aku selalu doain yang terbaik buat dia."
Jaka mengangguk. "Pasti,
Mas."
***
Minggu Pagi Menjelang Siang Matahari mulai meninggi, sinarnya hangat
menyentuh kota Medan yang ramai. Jaka berdiri di depan sebuah rumah ibadah,
memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang.
Ia menunggu sosok Kak Meri, wanita yang menurut Mas Doni bisa memberi
petunjuk tentang Tilas.
Tidak lama kemudian, seorang wanita muncul dari dalam rumah ibadah. Meri,
berkulit putih bersih, mengenakan celana jeans biru dan blus sederhana,
berjalan santai mendekati Jaka.
Wajahnya ramah, dengan mata yang menyorotkan kelembutan.
"Jaka, ya?" sapanya
lembut. Jaka tersenyum dan mengangguk.
"Iya, Kak Meri. Terima kasih sudah mau ketemu. Saya lagi cari Tilas...
atau Adi."
Meri tersenyum kecil, matanya menerawang jauh, seolah kembali ke masa-masa
yang sudah lama berlalu.
"Tilas... Dia pria yang sulit dilupakan." Meri duduk di bangku
kecil di depan rumah ibadah.
Jaka ikut duduk di sebelahnya. "Dulu dia bekerja di sini, di Medan,
sebagai tukang pangkas rambut. Kami pertama kali bertemu saat aku menemani
adikku pangkas rambut di tempatnya. Awalnya aku hanya melihat dia sebagai
tukang pangkas biasa. Tapi semakin sering aku datang, aku mulai tertarik."
Jaka mendengarkan dengan penuh perhatian. "Apa yang membuat Kak Meri
tertarik pada dia?"
Meri tersenyum hangat, matanya mulai berkaca-kaca.
"Tilas itu berbeda. Dia pekerja keras, meski hidupnya berat. Tapi yang
paling membuat aku jatuh cinta adalah dia selalu jujur. Dia ceritakan semua
jalan hidupnya padaku—masa lalunya yang penuh luka, kerasnya hidup di jalanan,
sampai saat dia jadi kurir dan dipenjara. Aku menerima semua itu."
Jaka terdiam, terharu mendengar cerita itu. "Lalu... apa kalian
pacaran?"
Meri tertawa kecil, getir. "Ya... bisa dibilang begitu. Kami sangat
dekat. Tilas begitu perhatian dan lembut. Tapi yang paling aku kagumi dari
dia... meski kami dekat, dia tak pernah menyentuhku, apalagi melakukan hal yang
melanggar norma. Dia menghormatiku."
Jaka mengangguk perlahan, merasa kagum pada Tilas yang selama ini hanya ia
kenal dari cerita orang lain. "Lalu... apa yang terjadi setelah itu?"
Ekspresi Meri berubah sendu. "Kami berbeda keyakinan, Jaka. Tilas tahu
itu, dan dia memilih mundur. Dia bilang dia tak ingin aku terjebak dalam
hubungan yang sulit. Dia rela merelakan aku... demi kebaikan kami berdua."
Meri terdiam sejenak, menghapus sudut matanya yang mulai basah.
"Tilas pamit padaku. Dia bilang akan ikut dengan Poki, teman
nongkrongnya di lapo tuak. Poki itu anak namboruku. Mereka bilang akan pergi
mencari peruntungan di Aceh."
Jaka menatap Meri dengan mata penuh harap. "Jadi, Tilas pergi ke Aceh?"
Meri mengangguk. "Iya, terakhir yang aku tahu dia dan Poki pergi ke
sana. Setelah itu, aku tak pernah mendengar kabar lagi tentang dia."
Jaka menghela napas panjang.
"Terima kasih, Kak Meri. Kakak sudah membantu saya banyak. Kalau saya
bertemu Tilas, saya akan sampaikan salam dari Kakak."
Meri tersenyum samar, meski matanya masih berkabut. "Tolong sampaikan
padanya... aku selalu mendoakan dia. Semoga dia menemukan apa yang dia
cari."
***
Udara pengap di sudut dapur Club yang berantakan. Bau oli bercampur dengan
aroma gorengan dari kios sebelah. Poki, pria bertubuh tinggi besar dengan mata
bulat, tengah membungkuk di bawah unit AC rusak, tangannya sibuk dengan obeng
dan kabel-kabel kecil.
Musik dari dalam Batam Street Club sesekali terdengar samar-samar di sela
suara desis gas. Jaka berdiri di dekat pintu, mengamati sosok Poki.
"Bang Poki?" panggilnya ragu.
Poki menoleh, wajahnya serius namun sedikit ramah.
"Iya, gua Poki. Situ siapa?"
"Saya Jaka, lagi nyari Tilas... katanya Abang mungkin tahu di mana
dia."
Poki tersenyum kecil, lalu berdiri dan mengelap tangannya dengan lap kumal.
"Tilas... lama banget gak dengar nama itu."
Ia menarik kursi plastik, duduk, dan menyalakan rokok. "Duduk dulu,
bro. Tilas tuh temen deket gua dulu, partner in crime malah."
Jaka duduk, bersandar pada meja kayu
yang penuh alat-alat bengkel kecil.
"Jadi Tilas pernah kerja di
sini?"
Poki mengangguk. "Iya, dia bartender di sini. Bos club seneng banget
sama dia, karena pengunjung makin ramai sejak dia kerja. Tilas tuh orangnya
gampang banget bergaul, senyum dikit aja, cewek-cewek langsung klepek-klepek.
Bos sering kasih dia tips gede. Pernah sekali, waktu malam tahun baru, Tilas
ngajak gua cari cewek. Semua yang kita beli malam itu... makanan, minuman,
semuanya, dia yang bayarin."
Poki tertawa kecil mengenang masa itu. "Tilas orang baik, walaupun
hidupnya berantakan."
Jaka menyimak dengan penuh perhatian. "Terus kenapa dia ninggalin
Batam?"
Poki mendadak serius. "Club ini digrebek ormas waktu itu. Ribut besar,
sampai akhirnya tutup. Tilas nganggur lama. Selama nganggur, dia tinggal di
kontrakan gua. Kadang dia masih teleponan sama Meri dari Medan."
Jaka tersentak mendengar nama Meri.
"Meri? Dia masih kontak Meri waktu itu?"
Poki mengangguk. "Iya, beberapa kali. Tapi waktu krisis ekonomi tahun
'98, keadaan makin susah. Kita berdua sempet jadi gembel di sini. Gua bertahan
karena ada Tulang gua yang dagang baju di pasar. Gua bantu-bantu dia sambil
tetap reparasi barang elektronik."
"Tilas?" tanya Jaka.
Poki menggeleng pelan. "Tilas pergi entah ke mana. Gak ada kabar.
Tapi... ada satu orang yang mungkin tahu di mana dia."
Jaka mencondongkan tubuh. "Siapa?"
"Ibu Boru Toppul. Rentenir di
sini. Dia itu beringas, cerewet, tapi kalau soal informasi, dia bisa
diandalkan. Dulu Tilas sering pinjam duit sama dia. Mungkin dia masih simpan
nomor telepon Tilas."
. . .
Tidak lama kemudian, Jaka dan Poki tiba di sebuah rumah kecil yang penuh
pernak-pernik jadul.
Di teras, seorang wanita gemuk dengan lipstik merah tebal dan rambut
disanggul pirang sedang duduk di kursi rotan, mengipasi dirinya dengan kipas
besar.
"Ibu Boru Toppul?" tanya Jaka sopan.
Wanita itu menatap mereka dari balik kipasnya, lalu tersenyum tipis.
"Siapa kamu, anak muda? Kalau mau utang, bunga saya tinggi loh."
Jaka tertawa kecil. "Bukan, Bu. Saya cuma mau tanya soal Tilas.
Katanya Ibu mungkin masih punya nomor telepon yang sering dia pakai dulu."
Ibu Boru Toppul menatap Jaka dengan mata menyipit, seolah menilai apakah
dia bisa dipercaya.
"Tilas? Hmm... tunggu sebentar."
Ia masuk ke dalam rumah, lalu kembali dengan sebuah buku catatan kecil.
"Ini nomor yang dulu sering dihubungi Tilas. Tapi saya gak tahu apa dia
masih pakai nomor ini."
Jaka mencatat nomor itu dan segera menelepon.
Setelah beberapa nada sambung, suara seorang wanita menjawab.
"Halo?"
"Halo, maaf... ini nomor Tilas?"
Wanita itu terdiam sejenak. "Tilas? Bukan... saya Tika. Tapi saya
kenal Tilas. Siapa kamu?"
"Saya Jaka, lagi nyari Tilas. Apa kamu tahu dia di mana
sekarang?"
Tika terdiam sesaat sebelum menjawab. "Saya di Bali. Kalau kamu mau
tahu lebih banyak, datanglah ke alamat ini."
Jaka menutup telepon dengan napas berat. Bali... Tempat baru, kemungkinan baru.
Ia menatap Poki. "Tilas ada di Bali."
***
Ruang Tunggu Griya Refleksi Bali (GRB) begitu tenang, alunan musik
instrumental tradisional Bali mengisi ruangan yang sejuk dan nyaman.
Lampu-lampu temaram berpendar lembut, sofa empuk tertata rapi seperti di lounge
hotel.
Tika, wanita bertubuh kurus dengan rambut hitam panjang, duduk di sofa
dengan sikap santai. Pakaian yang dikenakannya cukup seksi, mempertegas
sosoknya yang centil namun berkesan elegan.
Tika tersenyum centil "Jadi... kamu nyari Tilas? Aduh, udah lama
banget gak dengar nama itu."
Jaka duduk di hadapannya "Iya, Kak. Saya dengar dia sempat kerja di
sini?"
Tika menyandarkan tubuhnya ke sofa, memainkan ujung rambutnya dengan
jemarinya. "Oh, iya. Tilas tuh dulu andalan di sini. Sejak dia kerja, GRB
jadi rame banget. Banyak tamu baru datang, bahkan bule-bule juga sering pijat
di sini. Tilas orangnya ramah, pekerja keras... dan ganteng, hehehe."
Jaka tersenyum tipis. "Dia emang gampang bikin orang suka, ya."
"Iya banget. Dia sering bantu aku juga. Tilas tuh kayak... keluarga
buat aku. Dia pernah cerita kalau dia gak punya siapa-siapa lagi. Jadi, tiap
kali dia bantu aku, aku merasa dia tuh kayak abang sendiri. Seru banget kerja
bareng dia."
Tika membuka tas kecilnya, lalu mengeluarkan ponsel. "Nih, aku masih
simpan foto-foto waktu kita kerja bareng." Ia menunjukkan beberapa foto.
Dalam salah satu foto, Tilas terlihat sedang tersenyum di depan meja
resepsionis, mengenakan seragam GRB. Ada juga foto mereka bersama, tertawa
sambil membawa gelas teh di ruang istirahat.
"Dia kelihatan bahagia di sini." Ujar Jaka.
Tika menarik napas panjang "Iya...
tapi itu sebelum dia nikah."
Jaka terkejut "Tilas nikah?"
"Iya, dia nikah dan setelah itu langsung berangkat ke Bangkok. Setahu
aku, dia tinggal di sana sekarang. Malah aku dengar dari temen-temen, dia
mungkin udah punya tiga anak. Tapi aku gak diundang ke pernikahannya. Gak ada
satupun karyawan GRB yang diundang." Tika cemberut seperti kecewa.
"Kamu gak tahu dia tinggal di mana sekarang?" Jaka mengeluarkan
I-Phone nya.
"Gak tahu pasti... tapi waktu terakhir ketemu sekitar lima tahun lalu,
Mr. Lopez—rekan kerja owner GRB—datang berkunjung, dan Tilas datang juga. Dia seneng
banget waktu itu."
Jaka berpikir "Berarti Mr. Lopez mungkin tahu di mana Tilas
sekarang?"
"Mungkin. Tapi... eh, tunggu!" Tika tersenyum centil lagi
"Aku masih temenan sama dia di Facebook dulu. Kamu mau lihat?" Tika
membuka ponselnya dan mencari akun Facebook Tilas.
Setelah beberapa detik, ia menunjukkan layar ponselnya kepada Jaka. Di sana
terpampang foto profil Tilas bersama seorang wanita dan tiga anak kecil. Lokasi
terakhir yang tertera adalah Bangkok.
"Boleh aku catat nama akunnya?" Jaka sangat semangat.
"Tentu aja, sayang. Nih, catat
ya. Kalau kamu butuh bantuan lagi, jangan sungkan mampir ke sini. Aku selalu
ada buat kamu." Tika mengedipkan mata sambil tertawa kecil.
Jaka mencatat nama akun tersebut dengan hati-hati, lalu berdiri dan menatap
Tika dengan penuh terima kasih. "Makasih banyak, Kak Tika. Kamu udah bantu
banget."
"Sama-sama, Jaka. Semoga kamu ketemu Tilas, ya. Kalau dia udah punya
anak tiga, jangan lupa traktir aku nanti!" Tika masih menggoda Jaka.
Jaka tersenyum dan melangkah keluar dari GRB, membawa satu petunjuk baru:
Bangkok, kota penuh kemungkinan, tempat di mana Tilas mungkin menunggu, mungkin
saja.
***
Thuk-thuk sesekali lalu-lalang di tempat Jaka berdiri, di depan pagar rumah
itu. Rumah mewah namun asri, dengan halaman luas yang dipenuhi pohon
buah-buahan dan sayuran segar.
Ia mengecek kembali koordinat di ponselnya, memastikan bahwa ini adalah
tempat yang benar. Username dalam aksara Thai di akun itu tetap terasa asing
baginya.
Dia mengamati setiap sudut rumah dari balik pagar. Mencoba merangkai
serpihan kenangan di tempat yang terasa asing ini.
Tiba-tiba, pintu garasi terbuka.
Seorang Bule berjalan keluar, menuju mobil Tesla putih yang terparkir di
depan rumah. Pria itu melambaikan tangan
ke arah kebun kecil.
Dari kejauhan, seorang pria membalas lambaian itu sambil tersenyum ramah.
Jaka memperhatikan pria itu dengan seksama.
Itu dia.
Wajah yang sama dengan foto yang Tika tunjukkan.
Setelah mobil bergerak keluar dari pagar otomatis yang terbuka, Jaka
mengambil napas dalam-dalam dan melangkah cepat sebelum pagar menutup kembali.
Tangannya gemetar. Kakinya terasa berat, tetapi ia terus melangkah.
"Bang Adi!" serunya, suaranya menggema di halaman yang lengang.
Pria itu berhenti memotong dahan bunga.
Perlahan, dia menoleh. Wajahnya berubah.
Tilas. Dia berjalan mendekat,
langkahnya tenang namun penuh kewaspadaan.
Tilas kini tampak berbeda. Rambutnya panjang dan berkilau di bawah sinar
matahari pagi. Gaun pastel membalut tubuhnya dengan lembut, membuatnya tampak
begitu anggun dan lembut.
Sorot matanya bukan lagi seperti dulu. Ia bukan Tilas yang ceria dan keras.
Ia menjadi sosok yang lebih tenang, lebih dewasa… lebih jauh dari Jaka. Dan di
saat itu, hati Jaka runtuh.
"Dia berubah… semuanya terasa asing. Tapi aku masih bisa merasakan
dia. Wajah itu, senyum kecil di ujung bibirnya, tatapan yang dulu pernah
membuatku merasa di rumah. Tuhan, aku rindu… aku rindu segalanya tentang dia.
Tapi kenapa sekarang semua ini terasa seperti mimpi buruk?"
Jaka terdiam, dadanya terasa sesak.
Tilas terus mendekat, wajahnya
datar, nyaris tanpa ekspresi. Hanya sorot matanya yang tajam, seperti ingin
menembus benteng pertahanan Jaka.
"Aku marah… aku marah karena dia bisa setenang ini, sedangkan aku
hampir gila mencarinya selama ini. Bagaimana dia bisa hidup dengan begitu
damai, sementara aku tetap terjebak di masa lalu? Aku menunggu bertahun-tahun
untuk momen ini. Untuk mendengar satu kalimat… satu penjelasan. Tapi dia… dia
terlihat bahagia. Apakah aku hanya angin lalu baginya?"
Air mata mulai menggenang di sudut
mata Jaka. Ia ingin menahan semuanya, tetapi rasa itu terlalu kuat.
"Dan itu membuatku sedih… sedih hingga tulang-tulangku terasa patah.
Aku berdiri di sini seperti orang bodoh, berharap ada secuil kenangan yang bisa
aku temukan di matanya. Tapi tidak ada. Yang ada hanya seseorang yang telah
melangkah jauh, jauh dari masa lalu yang pernah kami bagi bersama."
Tilas berhenti tepat di depannya. Dekat sekali, hingga Jaka bisa mencium
aroma bunga yang samar dari tubuhnya.
"Aku malu. Ya, aku malu karena aku masih berharap. Malu karena aku
berdiri di sini, memeluk luka-luka yang seharusnya sudah aku tinggalkan sejak
lama. Malu karena meskipun aku tahu dia telah menemukan hidupnya yang baru, aku
tetap ingin dia menoleh, tersenyum seperti dulu, dan berkata bahwa dia
merindukanku."
Tilas tetap diam, menatap Jaka tanpa kata.
Jaka menggigit bibirnya, berusaha mengontrol dirinya yang hampir runtuh
sepenuhnya.
Ia menunduk sejenak, menahan isak yang hampir pecah, lalu berbisik pelan,
hampir tak terdengar. "Selamat… untuk hidup barumu." Tilas tidak
menjawab. Ia hanya menatap Jaka, matanya penuh rahasia yang tak terucapkan.
Jaka berbalik perlahan, langkahnya berat.
Dadanya terasa kosong. Ia melangkah menjauh, meninggalkan Tilas yang masih
berdiri di tempatnya.
Setiap langkah menjauh dari Tilas terasa seperti pisau yang menggores
hatinya. Matanya mulai kabur oleh air mata, dan sebelum ia tahu, air mata itu
jatuh begitu saja, membasahi pipinya.
Ia terisak pelan, suaranya tertahan
di tenggorokan. Rindu, benci, sedih, dan malu. Semua rasa itu berkecamuk,
saling bertabrakan, membentuk simpul yang tak bisa ia uraikan.
"Aku rindu dia… aku benci dia… aku sedih karena kehilangan dia… dan
aku malu karena aku masih mencintainya." Jaka terus berjalan, tanpa menoleh lagi.
Tilas tetap diam di tempatnya, menatap punggung Jaka yang perlahan menghilang
di balik pagar tinggi.
Ia menarik napas panjang, menunduk sejenak, lalu berbalik dan berjalan kembali ke dalam rumah. Di udara yang dingin itu, pagi Bangkok terasa lebih sunyi di tengah kendaraan yang tak putus melintasi.