Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan 728x90

Mencuri Maling Ayam

Kamis, 06 Februari 2025 | Februari 06, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-10T17:04:59Z

Cerita Pendek

Mencuri Maling Ayam

oleh Erwinsyah Putra

"Males banget lihat keyboard dari tadi, lagunya gitu-gitu aja," keluh Tona sambil menguap lebar.

"Aku nyesel gak bawa headset, padahal aku mau dengerin Iis Dahlia. Hewan pun tak sudi kasihnya dicuriiii.....". Tona lanjut bersenandung.

Dion melirik sahabatnya yang berambut keriting itu. "Udahlah, Ton. Kita jalan-jalan aja sebentar, biar otak segar," katanya sambil mendorong Tona pelan.

Rinal, yang sejak tadi diam, mengangkat topi hitamnya sedikit, memperlihatkan matanya yang sipit. "Tapi jangan jauh-jauh. Gue capek. Abis nge-gym tadi sore."

Mereka bertiga berjalan menyusuri gang kecil yang gelap.

Di kejauhan, suara hiburan pesta pernikahan masih terdengar samar.

Tiba-tiba, Dion berhenti. "Eh, liat deh!" bisiknya sambil menunjuk ke arah belakang rumah Pak Regar.

Dari balik semak-semak, mereka melihat sosok berbayang di dekat kandang ayam. Sosok itu bergerak pelan, memakai kupluk, dan tangannya meraba-raba jeruji kandang.

 "Kayaknya maling ayam, bro," ujar Dion, suaranya rendah tapi tegas.

"Fix, itu maling," Tona menambahkan, matanya berbinar penuh semangat.

"Kita sergap, yuk! Aku bawa sarung nih, bisa kita pake buat nutupin kepalanya."

Dion menatap Tona dengan heran. "Sarung buat apa?"

"Ya biar dramatis. Kita kan kayak ninja, bro," kata Tona sambil melilitkan sarung di kepalanya.

Rinal mengangguk setuju. "Gue jagain belakang, lo berdua maju duluan."

Dengan langkah hati-hati, mereka merayap mendekat.

Dion memberi aba-aba dengan jari. Tiga… dua… satu… "SERPAAAPPP!"

Maling itu terkejut, tapi Dion dan Tona sudah lebih dulu menangkapnya.

Tona melemparkan sarung ke kepala si maling, menutup wajahnya rapat-rapat.

"Jangan lawan, bro! Gue ahli bela diri," ancam Tona, meski nafasnya ngos-ngosan.

Dion meraih kupluk si maling, menariknya hingga wajahnya terlihat di bawah cahaya bulan yang samar.

"RAMA?! Kamu?" Dion terkejut.

Rinal mendekat, kaget bukan main. "Bro, itu Rama! Si anak nakal yang sering cabut sekolah!" Rama meronta.

"Please, jangan laporin aku, Dion. Aku cuma iseng… Aku gak nyuri beneran. Baru mau ambil, sumpah!" Suaranya bergetar.

"Kalo sampe polisi tahu, aku bisa dipenjara. Aku takut…" Dion terdiam.

Dilema besar berputar di kepalanya. Rama itu teman lama mereka, tapi maling tetaplah maling.

"Kita gak bisa nutupin ini terus," gumam Dion, berusaha tenang.

"Rinal, Tona, kita harus pikirkan baik-baik."

Tiba-tiba, pintu rumah Pak Regar terbuka.

Sosok Pak Regar muncul dengan mata setengah tertutup, kumisnya tampak tebal di bawah cahaya.

"Apa ini ribut-ribut tengah malam?! Mengganggu tidur orang tua aja!" bentaknya.

Warga mulai berdatangan, penasaran dengan kegaduhan itu.

"Pak Regar… maaf," kata Dion, suaranya tenang meski suasana makin tegang.

 "Ini Rama. Dia... ketahuan di dekat kandang ayam Bapak. Tapi dia belum sempat mengambil apa-apa." Rama menunduk, air matanya mulai jatuh.

"Maaf, Pak Regar… Saya salah. Saya janji gak bakal ngulangin lagi. Saya bakal tobat!"

Pak Regar menatap Rama lama, napasnya berat. Lalu, dia menarik nafas dalam-dalam dan mengangguk.

"Baiklah… Karena kamu belum sempat ngambil ayam, aku maafin kamu. Tapi janji itu harus kamu pegang!"

Warga mulai bubar, lega karena masalah selesai tanpa keributan besar.

Dion dan Rinal berjalan pulang, tapi Tona tiba-tiba berbalik, menepuk pundak Rinal sambil nyengir lebar.

"Rinal, kamu tahu gak… Pak Tompul kan Toke Manuk, ya?" kata Tona sambil melilitkan sarung di kepalanya seperti ninja.

Rinal memasang masker di mulutnya dan mengencangkan topinya. "Jadi, kamu mau ngajak…?"

"Shhh… Kita cuma ngecek jumlah ayamnya. Santai aja," Rayu Tona

“Pokoknya besok giliran ke pasar ya! Tadi pagi aku udah, Nih Rp.200.000, kita bagi dua”. Rinal mengeluarkan uang hasil jual ayam dari sakunya.

“Loh kok segini, kan 4 ekor?” Tona kurang percaya. “Kamu pakai Nge-gym, ya?”

“Eh, itu ayam mesti buru-buru dijual, pembeli maunya limpul satu, yaudah” sambil klarifikasi, dibagiduanya uang itu “Dari pada hari makin terang, aku malah dikenal orang, ya aku deal-in saja.

Tona rela. “Jadima, Tudia Hita?”

Tanpa ada jawaban, mereka berdua tertawa-tawa sambil berjalan ke arah rumah Pak Tompul, bayang-bayang mereka hilang di kegelapan malam.


Iklan 728x90
×
Fiksi Fillo Baru KLIK