Cerita Pendek
Mencuri Maling Ayam
oleh Erwinsyah Putra
"Males banget lihat keyboard
dari tadi, lagunya gitu-gitu aja," keluh Tona sambil menguap lebar.
"Aku nyesel gak bawa headset, padahal aku mau dengerin Iis Dahlia.
Hewan pun tak sudi kasihnya dicuriiii.....". Tona lanjut bersenandung.
Dion melirik sahabatnya yang berambut keriting itu. "Udahlah, Ton.
Kita jalan-jalan aja sebentar, biar otak segar," katanya sambil mendorong
Tona pelan.
Rinal, yang sejak tadi diam, mengangkat topi hitamnya sedikit,
memperlihatkan matanya yang sipit. "Tapi jangan jauh-jauh. Gue capek. Abis
nge-gym tadi sore."
Mereka bertiga berjalan menyusuri gang kecil yang gelap.
Di kejauhan, suara hiburan pesta pernikahan masih terdengar samar.
Tiba-tiba, Dion berhenti. "Eh, liat deh!" bisiknya sambil
menunjuk ke arah belakang rumah Pak Regar.
Dari balik semak-semak, mereka melihat sosok berbayang di dekat kandang
ayam. Sosok itu bergerak pelan, memakai kupluk, dan tangannya meraba-raba
jeruji kandang.
"Kayaknya maling ayam,
bro," ujar Dion, suaranya rendah tapi tegas.
"Fix, itu maling," Tona menambahkan, matanya berbinar penuh
semangat.
"Kita sergap, yuk! Aku bawa sarung nih, bisa kita pake buat nutupin
kepalanya."
Dion menatap Tona dengan heran. "Sarung buat apa?"
"Ya biar dramatis. Kita kan kayak ninja, bro," kata Tona sambil
melilitkan sarung di kepalanya.
Rinal mengangguk setuju. "Gue jagain belakang, lo berdua maju
duluan."
Dengan langkah hati-hati, mereka merayap mendekat.
Dion memberi aba-aba dengan jari. Tiga… dua… satu… "SERPAAAPPP!"
Maling itu terkejut, tapi Dion dan Tona sudah lebih dulu menangkapnya.
Tona melemparkan sarung ke kepala si maling, menutup wajahnya rapat-rapat.
"Jangan lawan, bro! Gue ahli bela diri," ancam Tona, meski
nafasnya ngos-ngosan.
Dion meraih kupluk si maling, menariknya hingga wajahnya terlihat di bawah
cahaya bulan yang samar.
"RAMA?! Kamu?" Dion terkejut.
Rinal mendekat, kaget bukan main. "Bro, itu Rama! Si anak nakal yang
sering cabut sekolah!" Rama meronta.
"Please, jangan laporin aku, Dion. Aku cuma iseng… Aku gak nyuri
beneran. Baru mau ambil, sumpah!" Suaranya bergetar.
"Kalo sampe polisi tahu, aku bisa dipenjara. Aku takut…" Dion
terdiam.
Dilema besar berputar di kepalanya. Rama itu teman lama mereka, tapi maling
tetaplah maling.
"Kita gak bisa nutupin ini terus," gumam Dion, berusaha tenang.
"Rinal, Tona, kita harus pikirkan baik-baik."
Tiba-tiba, pintu rumah Pak Regar terbuka.
Sosok Pak Regar muncul dengan mata setengah tertutup, kumisnya tampak tebal
di bawah cahaya.
"Apa ini ribut-ribut tengah malam?! Mengganggu tidur orang tua
aja!" bentaknya.
Warga mulai berdatangan, penasaran dengan kegaduhan itu.
"Pak Regar… maaf," kata Dion, suaranya tenang meski suasana makin
tegang.
"Ini Rama. Dia... ketahuan di
dekat kandang ayam Bapak. Tapi dia belum sempat mengambil apa-apa." Rama
menunduk, air matanya mulai jatuh.
"Maaf, Pak Regar… Saya salah. Saya janji gak bakal ngulangin lagi.
Saya bakal tobat!"
Pak Regar menatap Rama lama, napasnya berat. Lalu, dia menarik nafas
dalam-dalam dan mengangguk.
"Baiklah… Karena kamu belum sempat ngambil ayam, aku maafin kamu. Tapi
janji itu harus kamu pegang!"
Warga mulai bubar, lega karena masalah selesai tanpa keributan besar.
Dion dan Rinal berjalan pulang, tapi Tona tiba-tiba berbalik, menepuk pundak
Rinal sambil nyengir lebar.
"Rinal, kamu tahu gak… Pak Tompul kan Toke Manuk, ya?"
kata Tona sambil melilitkan sarung di kepalanya seperti ninja.
Rinal memasang masker di mulutnya dan mengencangkan topinya. "Jadi,
kamu mau ngajak…?"
"Shhh… Kita cuma ngecek jumlah ayamnya. Santai aja," Rayu Tona
“Pokoknya besok giliran ke pasar ya! Tadi pagi aku udah, Nih Rp.200.000, kita
bagi dua”. Rinal mengeluarkan uang hasil jual ayam dari sakunya.
“Loh kok segini, kan 4 ekor?” Tona kurang percaya. “Kamu pakai Nge-gym, ya?”
“Eh, itu ayam mesti buru-buru dijual, pembeli maunya limpul satu, yaudah” sambil
klarifikasi, dibagiduanya uang itu “Dari pada hari makin terang, aku malah
dikenal orang, ya aku deal-in saja.
Tona rela. “Jadima, Tudia Hita?”
Tanpa ada jawaban, mereka berdua tertawa-tawa sambil berjalan ke arah rumah
Pak Tompul, bayang-bayang mereka hilang di kegelapan malam.