Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Mudhnib Bari'

Senin, 10 Februari 2025 | Februari 10, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-10T23:46:26Z



Cerita Sambung

Al 'Alamul Aswad

Episode 3: Mudhnib Bari'

oleh Erwinsyah Putra

Langit pagi membentang luas di atas desa, dihiasi semburat oranye yang merayap di cakrawala. Udara masih sejuk, sisa embun menempel di dedaunan, berkilauan saat tersentuh sinar matahari yang perlahan muncul dari balik bukit. Tetlom berdiri di tepi sungai, merasakan arus air dingin mengalir melewati jemarinya. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya sejak semalam. Sesuatu yang membuat dadanya sesak.

Tetlom bukanlah manusia biasa. Sejak kecil, ia selalu merasakan ada yang berbeda dalam dirinya. Ia bisa mendengar bisikan di tempat-tempat yang sunyi, melihat bayangan yang tak terlihat oleh orang lain. Namun, baru hari ini ia benar-benar menyadari siapa dirinya.

Di bawah pohon beringin tua yang menjulang di tepi sungai, seorang lelaki tua duduk bersila. Wajahnya ditandai kerutan yang mengisahkan usia dan kebijaksanaan yang kelam. Dia adalah Gurnom, orang bijak yang dikenal di desa ini, namun juga ditakuti karena kedekatannya dengan dunia arwah.

"Tetlom," suara Gurnom berat, mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. "Kau sudah siap mendengar kebenaran tentang dirimu?"

Tetlom menatapnya, kedua tangannya mengepal. Ia merasa dadanya berdebar keras, seolah tubuhnya tahu apa yang akan dikatakan sebelum pikirannya bisa memahaminya.

"Apa yang ingin kau katakan?" suaranya hampir bergetar.

Gurnom menghela napas panjang. "Kau bukan hanya seorang anak desa biasa. Kau adalah pewaris takdir yang telah dituliskan sejak zaman dahulu. Darah yang mengalir dalam tubuhmu bukan sekadar darah manusia—itu adalah darah yang telah dikutuk, warisan dari sang Raja Iblis."

Kata-kata itu menghantam Tetlom seperti badai. Ia melangkah mundur, tubuhnya gemetar.

"Tidak... itu tidak mungkin," bisiknya.

"Kau harus menerimanya," lanjut Gurnom, suaranya tetap dingin. "Raja Iblis bukanlah makhluk yang lahir dari kehampaan, Tetlom. Ia adalah manusia yang dikutuk akibat keserakahan dunia, seorang yang menginginkan kekuasaan hingga mengorbankan jiwanya. Dan darahnya... masih mengalir dalam keturunannya."

Tetlom menggeleng. "Aku bukan monster. Aku bukan makhluk terkutuk."

"Tapi kau bisa merasakan kekuatan itu dalam dirimu, bukan?" Gurnom menatapnya tajam. "Kau mendengar suara-suara di kegelapan, melihat apa yang tidak bisa dilihat manusia biasa. Itu bukan kebetulan, Tetlom. Itu adalah panggilan takdir."

Hening menyelimuti mereka. Burung-burung berkicau dari kejauhan, suara air mengalir pelan menenangkan, namun di dalam dada Tetlom, gelombang kecemasan semakin membesar. Ia merasakan sesuatu mengalir dalam dirinya, sesuatu yang selalu ada, namun kini bangkit dengan lebih kuat. Ia ingat malam-malam saat tubuhnya terasa panas tanpa sebab, saat bayangan di sudut matanya menari tanpa logika.

"Jika aku benar-benar pewarisnya... apa yang harus kulakukan?" suaranya lirih, setengah pasrah.

Gurnom mendekat, menatapnya dalam-dalam. "Takdir tidak bisa kau tolak, Tetlom. Tapi kau masih punya pilihan. Kau bisa menggunakannya... atau membiarkan kekuatan itu menguasaimu."

Jauh di dalam dirinya, Tetlom tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

***

Langit fajar perlahan merekah di ufuk timur, menyibak kegelapan yang menyelimuti desa. Kabut yang semalam terasa pekat kini mulai memudar, menyisakan embun yang berkilauan di rerumputan. Tetlom duduk di tepi sungai, menatap arus air yang mengalir tanpa henti. Sejak pertemuannya dengan Gurnom, pikirannya tidak pernah tenang. Kata-kata lelaki tua itu terus terngiang dalam benaknya—pewaris Raja Iblis.

Suara langkah mendekat. Tetlom menoleh dan menemukan Gurnom berdiri di belakangnya, jubahnya berkibar tertiup angin pagi. "Kau masih meragukan kata-kataku?" tanyanya tenang.

Tetlom mengepalkan tangannya, lalu menghela napas. "Aku ingin tahu lebih banyak. Jika aku memang pewarisnya, maka aku harus tahu siapa dia sebenarnya."

Gurnom tersenyum tipis, lalu duduk di atas batu besar di sisi sungai. "Dahulu, sebelum dunia ini mengenal ketakutan, ada seorang pria bernama Barugma. Ia adalah manusia biasa, seorang yang lahir dari keluarga sederhana namun memiliki ambisi yang melampaui batas."

Tetlom menyimak dengan saksama, matanya tak berkedip.

"Barugma awalnya hanya seorang pengelana yang mencari pengetahuan. Namun, ia tidak puas dengan apa yang ia temukan. Ia ingin lebih—lebih kuat, lebih bijak, lebih hebat dari siapa pun. Ia melakukan perjalanan ke tempat-tempat terlarang, mempelajari sihir hitam, dan melakukan ritual-ritual yang tidak seharusnya dilakukan manusia."

Angin bertiup kencang, membuat pepohonan bergemuruh seolah menyetujui cerita itu.

"Namun, ada satu hal yang tidak ia sadari," lanjut Gurnom, suaranya semakin dalam. "Semakin besar kekuatan yang ia peroleh, semakin besar harga yang harus ia bayar. Keserakahannya membuatnya kehilangan jiwanya sendiri. Ia tidak lagi menjadi manusia, melainkan makhluk yang ditakuti, dikutuk oleh dunia ini sendiri."

Tetlom menelan ludah. "Jadi... Barugma adalah Raja Iblis?"

Gurnom mengangguk. "Bukan karena ia lahir sebagai iblis, tetapi karena ia sendiri yang memilih jalan itu. Ia ingin menguasai dunia, namun akhirnya dunia menolaknya. Dalam putus asa, ia melakukan pengorbanan terakhir—ia meleburkan jiwanya ke dalam darah keturunannya, memastikan bahwa suatu hari nanti, kekuatannya akan bangkit kembali."

Tetlom merasa tubuhnya menggigil. "Dan darah itu... mengalir dalam tubuhku."

"Ya," kata Gurnom dengan suara berat. "Kau adalah pewarisnya. Tapi ingatlah, Tetlom, takdir tidak sepenuhnya mengikatmu. Kau masih bisa memilih jalanmu sendiri."

Tetlom terdiam. Pikirannya kacau, namun satu hal mulai jelas baginya—ia harus menemukan cara untuk membebaskan diri dari warisan kelam ini, sebelum ia sendiri menjadi seperti Barugma.

Dari kejauhan, suara burung-burung mulai berkicau, menandakan pagi telah tiba. Namun, dalam hati Tetlom, badai baru saja dimulai.

***

Fajar menyingsing dengan kabut tipis yang melayang di atas desa. Tidak seperti biasanya, pagi itu terasa sunyi, seolah-olah bumi menahan napasnya. Di dalam sebuah rumah besar di tepi hutan, Cokgom duduk di sudut ruangan yang gelap, matanya merah dan wajahnya penuh keringat. Di depannya, nyala lilin bergetar di atas altar batu yang dipenuhi ukiran kuno.

"Sudah saatnya," bisik suara tua di balik kegelapan. Dari bayangan itu, seorang pria berjubah hitam dengan tongkat kayu berjalan mendekat. Wajahnya tertutup kerudung kasar, namun dari suaranya, Cokgom mengenali sosok itu—Pawang Sekte yang telah membimbingnya dalam kegelapan.

Cokgom mengepalkan tangannya. "Aku sudah menunggu terlalu lama. Aku ingin kekuatan itu. Aku ingin semua orang tunduk padaku."

Pawang Sekte tertawa lirih. "Kekuasaan tidak datang begitu saja, Cokgom. Kau harus membuktikan dirimu. Darah dan pengorbanan adalah harga yang harus dibayar."

Cokgom menelan ludahnya. Ia tahu itu. Ia telah bersumpah untuk mendapatkan kekuatan, bahkan jika itu berarti mengorbankan apa pun yang ia miliki. Ia menoleh ke keranjang anyaman di sudut ruangan. Di dalamnya, seorang bayi kecil tidur dengan tenang, tanpa tahu takdir mengerikan yang menantinya.

"Anakku..." suara Cokgom terdengar ragu sesaat, tetapi tatapan dingin Pawang Sekte menghentikannya. "Tidak, ini bukan anakku. Ia hanyalah alat. Jika ini yang dibutuhkan untuk mendapatkan kekuatan, maka aku akan melakukannya."

Pawang Sekte tersenyum samar. "Bagus. Malam ini, saat bulan purnama mencapai puncaknya, kita akan mempersembahkannya. Dan kau, Cokgom, akan mendapatkan apa yang kau inginkan."

Di luar, sinar mentari mulai menerobos celah-celah dedaunan. Namun bagi Cokgom, hari itu bukanlah awal yang baru—melainkan jalan menuju kegelapan yang lebih dalam.

***

Fajar merekah di ufuk timur, mengusir kabut yang menyelimuti desa. Di tengah embusan angin yang membawa aroma tanah basah, Anjuna duduk bersila di puncak bukit, matanya terpejam, mendengarkan bisikan leluhur yang berusaha memberinya petunjuk.

"Waktunya telah tiba," suara lirih menggema di benaknya. "Tetlom semakin kuat. Jika kau tidak bersiap, takdir dunia akan jatuh ke dalam kegelapan."

Anjuna menghela napas dalam-dalam. Ia telah lama mengetahui bahwa pertarungannya dengan Tetlom tak bisa dihindari. Tapi kekuatan yang dimiliki iblis itu bukanlah sesuatu yang bisa ia lawan begitu saja. Ia membutuhkan sesuatu… sesuatu yang lebih kuat dari sekadar mantra dan ilmu gaib.

Sementara itu, di dalam gua terlarang yang terletak jauh di jantung hutan, Tetlom berdiri di hadapan cermin hitam yang berpendar samar. Sosok bayangan di dalam cermin menyeringai—sang Raja Iblis yang telah lama dikutuk karena keserakahannya.

"Kau mulai memahami kekuatan ini, Tetlom," suara serak menggema. "Namun, masih ada yang kurang. Kau butuh lebih banyak darah, lebih banyak pengorbanan."

Mata Tetlom menyala merah, kilatan kegilaan bercampur hasrat membakar tatapannya. "Aku akan mendapatkan apa yang kubutuhkan," desisnya. "Darah akan mengalir, dan Anjuna akan berlutut di hadapanku."

Di desa, Cokgom menatap putranya—atau lebih tepatnya, bayi yang ia kira adalah putranya. Jorbut meringkuk dalam selimut kain, matanya yang masih kecil seolah menyimpan sesuatu yang lebih tua dari usianya. Cokgom merasakan ketakutan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ada yang salah dengan anak ini… sesuatu yang bahkan ia sendiri tak bisa pahami.

Tiba-tiba, suara derap kaki terdengar. Seorang lelaki tua, pendeta desa, melangkah masuk. "Cokgom, kau harus mengerti," katanya pelan. "Bayi itu… bukan milikmu. Ia adalah titisan kekuatan kelam."

Cokgom mencengkeram bahunya. "Apa maksudmu?! Aku sendiri yang menyaksikan kelahirannya!"

"Kau hanya melihat ilusi, Cokgom. Sekte yang kau ikuti telah mempermainkanmu. Jorbut bukan anakmu, melainkan bejana yang disiapkan untuk menampung kekuatan iblis yang akan berpindah dari Tetlom."

Cokgom terduduk, dunia seakan berputar. Ia telah diperalat, dan sekarang ia harus memilih—menyelamatkan Jorbut atau menyerahkan segalanya pada kegelapan.

Di kejauhan, di bawah sinar matahari yang menyinari lembah, Anjuna membuka matanya. Ia tahu, perang sudah di depan mata. Dan dalam perang ini, tak akan ada jalan kembali.

***

Udara malam terasa berat, seperti disesaki oleh sesuatu yang tak kasat mata. Langit yang semula bertabur bintang kini diselimuti awan hitam yang berputar-putar, seolah menandakan bencana yang akan datang.

Di tengah desa yang mencekam, Anjuna berdiri dengan tatapan tajam, tangannya menggenggam liontin peninggalan leluhurnya. Ia bisa merasakan sesuatu yang mengerikan sedang bergerak dari arah hutan.

Tiba-tiba, tanah bergetar. Dari kejauhan, sebuah cahaya merah menyala di dalam gua terlarang. Teriakan mengerikan menggema di udara, membuat penduduk desa yang bersembunyi di rumah-rumah mereka menutup telinga, berdoa agar malam ini segera berlalu.

Tetlom telah memulai ritualnya.

Di dalam gua, api unggun berkobar lebih tinggi dari sebelumnya, menari-nari seperti lidah iblis yang lapar. Tubuh Tetlom mengambang di udara, dikelilingi bayangan hitam yang terus berputar. Dari balik cermin hitam, sosok Raja Iblis perlahan keluar, wujudnya menyerupai manusia namun matanya adalah jurang tanpa dasar.

"Pengorbanan telah dilakukan, waktunya kau menjadi wadah sempurna bagiku," suaranya bergema, memenuhi ruangan dengan aura kegelapan.

Tetlom menyeringai, tubuhnya kini berkilat-kilat dengan simbol-simbol tak dikenal. Namun tiba-tiba, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Cermin hitam itu mulai retak.

Dari celahnya, suara lain muncul—suara tangisan bayi.

Jorbut.

Di rumahnya, Cokgom memekik saat melihat bayi yang selama ini ia rawat kini melayang di udara, matanya yang kecil bersinar keemasan. Suara tangisannya bukanlah tangisan biasa, tetapi gema dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang telah lama tersembunyi.

Tiba-tiba, bayangan hitam yang mengelilingi Tetlom tertarik ke arah cahaya yang terpancar dari Jorbut. Tubuh Tetlom mengejang, berusaha melawan, tetapi kekuatannya kini mengalir ke bayi itu, perlahan menghilangkan aura iblis dari dirinya.

"A-apa yang terjadi?!" Tetlom berusaha bertahan, tetapi semakin lama, tubuhnya melemah. Raja Iblis yang seharusnya menyatu dengannya kini berbalik arah, berpindah ke bayi yang tak bersalah.

***

Angin malam membawa aroma tanah basah dan kayu terbakar. Di kejauhan, suara serangga perlahan menghilang, seolah mereka pun tahu bahwa sesuatu yang lebih besar dari sekadar malam sedang terjadi.

Anjuna berdiri di tengah tanah lapang, matanya menatap langit yang mulai menghitam. Awan berputar di atas desa, membentuk pusaran gelap yang terasa begitu menyesakkan. Ia bisa merasakan getaran itu di tanah, getaran yang datang dari arah hutan.

Tetlom.

Ritualnya telah mencapai puncak.

Di dalam gua yang diterangi cahaya merah menyala, Tetlom mengangkat kedua tangannya. Bayangan-bayangan di dinding menari liar mengikuti gerakan tubuhnya. Di hadapannya, cermin hitam yang retak bergetar hebat, seolah ada sesuatu di dalamnya yang berusaha keluar.

"Sebentar lagi…" bisik Tetlom, bibirnya merekah dalam senyum gila. "Aku akan menjadi abadi…"

Dari cermin itu, suara serak terdengar. "Kau telah memenuhi syarat, Tetlom. Sekarang, jadilah wadahku."

Bayangan dari dalam cermin mulai menjulur keluar seperti kabut pekat, membentuk wujud seorang pria bertubuh besar, matanya kosong seperti lubang tanpa dasar. Ia adalah Raja Iblis, entitas yang selama ini hanya dikenal dalam bisikan-bisikan legenda.

Tetlom mendekat, siap menerima kekuatan yang telah ia perjuangkan. Namun tiba-tiba, segalanya berubah.

Cermin itu mulai bergetar lebih hebat. Suara tangisan menggema dari dalamnya. Tangisan bayi.

Tetlom tersentak mundur. "Apa ini?"

Suara Raja Iblis berubah, tidak lagi terdengar bertenaga, melainkan… ragu.

"Tidak… Ini bukan bagianku… Ini bukan—"

Dari balik cermin, retakan semakin melebar, dan cahaya keemasan muncul, memaksa bayangan gelap itu untuk mundur. Tetlom mencoba bergerak, tapi tubuhnya seakan ditarik oleh kekuatan yang ia sendiri tak pahami.

Di desa, Cokgom menatap dengan mata melebar ketika bayi dalam dekapannya mulai melayang di udara. Jorbut.

Bayi itu menangis, namun tangisannya bukan tangisan biasa. Suaranya menggema ke seluruh desa, menciptakan resonansi yang membuat kaca-kaca pecah dan tanah bergetar.

Cokgom merasakan keringat dingin di tengkuknya. "Ini… bukan anakku…"

Dari sudut ruangan, pendeta desa melangkah mendekat. Tatapan tuanya tajam, suaranya penuh kepastian.

"Jorbut bukan anakmu, Cokgom."

Cokgom menoleh cepat, matanya membelalak. "Apa maksudmu? Aku sendiri yang melihat kelahirannya!"

Pendeta itu menggeleng pelan. "Apa yang kau lihat hanyalah ilusi. Sekte yang kau percaya telah mempermainkanmu. Jorbut bukan darahmu… Ia adalah bejana bagi sesuatu yang jauh lebih tua…"

Saat kata-kata itu meluncur dari mulut pendeta, cahaya keemasan menyembur dari tubuh Jorbut.

Di dalam gua, Tetlom menjerit.

Bayangan yang semula mengitarinya kini berputar liar, seolah ditarik ke arah yang lain. Kakinya melemah, tubuhnya bergetar. Raja Iblis menatap ke arah langit-langit gua, matanya yang gelap kini menunjukkan sesuatu yang tak pernah terlihat sebelumnya: ketakutan.

"Tidak mungkin… Ini bukan rencana—"

Bayangan itu terhisap ke dalam cahaya keemasan, dan seketika gua itu runtuh.

Anjuna tiba di tempat itu tepat ketika ledakan besar mengguncang tanah. Batu-batu beterbangan, debu mengepul. Namun yang menarik perhatiannya bukanlah kehancuran di hadapannya.

Melainkan suara tangisan bayi yang bergema di udara.

Ia menoleh, matanya membulat saat melihat Jorbut diangkat tinggi oleh cahaya keemasan.

Lalu pendeta itu berbisik, cukup lirih, namun menusuk ke dalam kesadarannya.

"Jorbut… adalah keturunan Tiop."

Anjuna merasa jantungnya berhenti sejenak. Tiop. Ayahnya.

Ia ingin menanyakan lebih banyak, ingin memahami semua ini. Namun sebelum ia sempat bergerak, langit di atas desa terbelah.

Dan malam itu, sesuatu yang lebih besar dari iblis telah lahir.

 

 

×
Fiksi Fillo Baru KLIK