Cerita Sambung
Al 'Alamul Aswad
Episode 3: Mudhnib Bari'
oleh Erwinsyah Putra
Langit pagi membentang luas di atas desa, dihiasi semburat oranye yang
merayap di cakrawala. Udara masih sejuk, sisa embun menempel di dedaunan,
berkilauan saat tersentuh sinar matahari yang perlahan muncul dari balik bukit.
Tetlom berdiri di tepi sungai, merasakan arus air dingin mengalir melewati
jemarinya. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya sejak semalam. Sesuatu yang
membuat dadanya sesak.
Tetlom bukanlah manusia biasa. Sejak kecil, ia selalu merasakan ada yang
berbeda dalam dirinya. Ia bisa mendengar bisikan di tempat-tempat yang sunyi,
melihat bayangan yang tak terlihat oleh orang lain. Namun, baru hari ini ia
benar-benar menyadari siapa dirinya.
Di bawah pohon beringin tua yang menjulang di tepi sungai, seorang lelaki
tua duduk bersila. Wajahnya ditandai kerutan yang mengisahkan usia dan
kebijaksanaan yang kelam. Dia adalah Gurnom, orang bijak yang dikenal di desa
ini, namun juga ditakuti karena kedekatannya dengan dunia arwah.
"Tetlom," suara Gurnom berat, mengandung sesuatu yang lebih dari
sekadar kata-kata. "Kau sudah siap mendengar kebenaran tentang
dirimu?"
Tetlom menatapnya, kedua tangannya mengepal. Ia merasa dadanya berdebar
keras, seolah tubuhnya tahu apa yang akan dikatakan sebelum pikirannya bisa
memahaminya.
"Apa yang ingin kau katakan?" suaranya hampir bergetar.
Gurnom menghela napas panjang. "Kau bukan hanya seorang anak desa
biasa. Kau adalah pewaris takdir yang telah dituliskan sejak zaman dahulu.
Darah yang mengalir dalam tubuhmu bukan sekadar darah manusia—itu adalah darah
yang telah dikutuk, warisan dari sang Raja Iblis."
Kata-kata itu menghantam Tetlom seperti badai. Ia melangkah mundur, tubuhnya
gemetar.
"Tidak... itu tidak mungkin," bisiknya.
"Kau harus menerimanya," lanjut Gurnom, suaranya tetap dingin.
"Raja Iblis bukanlah makhluk yang lahir dari kehampaan, Tetlom. Ia adalah
manusia yang dikutuk akibat keserakahan dunia, seorang yang menginginkan
kekuasaan hingga mengorbankan jiwanya. Dan darahnya... masih mengalir dalam
keturunannya."
Tetlom menggeleng. "Aku bukan monster. Aku bukan makhluk
terkutuk."
"Tapi kau bisa merasakan kekuatan itu dalam dirimu, bukan?" Gurnom
menatapnya tajam. "Kau mendengar suara-suara di kegelapan, melihat apa
yang tidak bisa dilihat manusia biasa. Itu bukan kebetulan, Tetlom. Itu adalah
panggilan takdir."
Hening menyelimuti mereka. Burung-burung berkicau dari kejauhan, suara air
mengalir pelan menenangkan, namun di dalam dada Tetlom, gelombang kecemasan
semakin membesar. Ia merasakan sesuatu mengalir dalam dirinya, sesuatu yang
selalu ada, namun kini bangkit dengan lebih kuat. Ia ingat malam-malam saat
tubuhnya terasa panas tanpa sebab, saat bayangan di sudut matanya menari tanpa
logika.
"Jika aku benar-benar pewarisnya... apa yang harus kulakukan?"
suaranya lirih, setengah pasrah.
Gurnom mendekat, menatapnya dalam-dalam. "Takdir tidak bisa kau tolak,
Tetlom. Tapi kau masih punya pilihan. Kau bisa menggunakannya... atau
membiarkan kekuatan itu menguasaimu."
Jauh di dalam dirinya, Tetlom tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama
lagi.
***
Langit fajar perlahan merekah di ufuk timur, menyibak kegelapan yang
menyelimuti desa. Kabut yang semalam terasa pekat kini mulai memudar,
menyisakan embun yang berkilauan di rerumputan. Tetlom duduk di tepi sungai,
menatap arus air yang mengalir tanpa henti. Sejak pertemuannya dengan Gurnom,
pikirannya tidak pernah tenang. Kata-kata lelaki tua itu terus terngiang dalam
benaknya—pewaris Raja Iblis.
Suara langkah mendekat. Tetlom menoleh dan menemukan Gurnom berdiri di
belakangnya, jubahnya berkibar tertiup angin pagi. "Kau masih meragukan
kata-kataku?" tanyanya tenang.
Tetlom mengepalkan tangannya, lalu menghela napas. "Aku ingin tahu
lebih banyak. Jika aku memang pewarisnya, maka aku harus tahu siapa dia
sebenarnya."
Gurnom tersenyum tipis, lalu duduk di atas batu besar di sisi sungai.
"Dahulu, sebelum dunia ini mengenal ketakutan, ada seorang pria bernama
Barugma. Ia adalah manusia biasa, seorang yang lahir dari keluarga sederhana
namun memiliki ambisi yang melampaui batas."
Tetlom menyimak dengan saksama, matanya tak berkedip.
"Barugma awalnya hanya seorang pengelana yang mencari pengetahuan.
Namun, ia tidak puas dengan apa yang ia temukan. Ia ingin lebih—lebih kuat,
lebih bijak, lebih hebat dari siapa pun. Ia melakukan perjalanan ke
tempat-tempat terlarang, mempelajari sihir hitam, dan melakukan ritual-ritual
yang tidak seharusnya dilakukan manusia."
Angin bertiup kencang, membuat pepohonan bergemuruh seolah menyetujui cerita
itu.
"Namun, ada satu hal yang tidak ia sadari," lanjut Gurnom,
suaranya semakin dalam. "Semakin besar kekuatan yang ia peroleh, semakin
besar harga yang harus ia bayar. Keserakahannya membuatnya kehilangan jiwanya
sendiri. Ia tidak lagi menjadi manusia, melainkan makhluk yang ditakuti,
dikutuk oleh dunia ini sendiri."
Tetlom menelan ludah. "Jadi... Barugma adalah Raja Iblis?"
Gurnom mengangguk. "Bukan karena ia lahir sebagai iblis, tetapi karena
ia sendiri yang memilih jalan itu. Ia ingin menguasai dunia, namun akhirnya
dunia menolaknya. Dalam putus asa, ia melakukan pengorbanan terakhir—ia
meleburkan jiwanya ke dalam darah keturunannya, memastikan bahwa suatu hari
nanti, kekuatannya akan bangkit kembali."
Tetlom merasa tubuhnya menggigil. "Dan darah itu... mengalir dalam
tubuhku."
"Ya," kata Gurnom dengan suara berat. "Kau adalah pewarisnya.
Tapi ingatlah, Tetlom, takdir tidak sepenuhnya mengikatmu. Kau masih bisa
memilih jalanmu sendiri."
Tetlom terdiam. Pikirannya kacau, namun satu hal mulai jelas baginya—ia
harus menemukan cara untuk membebaskan diri dari warisan kelam ini, sebelum ia
sendiri menjadi seperti Barugma.
Dari kejauhan, suara burung-burung mulai berkicau, menandakan pagi telah
tiba. Namun, dalam hati Tetlom, badai baru saja dimulai.
***
Fajar menyingsing dengan kabut tipis yang melayang di atas desa. Tidak
seperti biasanya, pagi itu terasa sunyi, seolah-olah bumi menahan napasnya. Di
dalam sebuah rumah besar di tepi hutan, Cokgom duduk di sudut ruangan yang
gelap, matanya merah dan wajahnya penuh keringat. Di depannya, nyala lilin
bergetar di atas altar batu yang dipenuhi ukiran kuno.
"Sudah saatnya," bisik suara tua di balik kegelapan. Dari bayangan
itu, seorang pria berjubah hitam dengan tongkat kayu berjalan mendekat.
Wajahnya tertutup kerudung kasar, namun dari suaranya, Cokgom mengenali sosok
itu—Pawang Sekte yang telah membimbingnya dalam kegelapan.
Cokgom mengepalkan tangannya. "Aku sudah menunggu terlalu lama. Aku
ingin kekuatan itu. Aku ingin semua orang tunduk padaku."
Pawang Sekte tertawa lirih. "Kekuasaan tidak datang begitu saja,
Cokgom. Kau harus membuktikan dirimu. Darah dan pengorbanan adalah harga yang
harus dibayar."
Cokgom menelan ludahnya. Ia tahu itu. Ia telah bersumpah untuk mendapatkan
kekuatan, bahkan jika itu berarti mengorbankan apa pun yang ia miliki. Ia
menoleh ke keranjang anyaman di sudut ruangan. Di dalamnya, seorang bayi kecil
tidur dengan tenang, tanpa tahu takdir mengerikan yang menantinya.
"Anakku..." suara Cokgom terdengar ragu sesaat, tetapi tatapan
dingin Pawang Sekte menghentikannya. "Tidak, ini bukan anakku. Ia hanyalah
alat. Jika ini yang dibutuhkan untuk mendapatkan kekuatan, maka aku akan
melakukannya."
Pawang Sekte tersenyum samar. "Bagus. Malam ini, saat bulan purnama
mencapai puncaknya, kita akan mempersembahkannya. Dan kau, Cokgom, akan
mendapatkan apa yang kau inginkan."
Di luar, sinar mentari mulai menerobos celah-celah dedaunan. Namun bagi
Cokgom, hari itu bukanlah awal yang baru—melainkan jalan menuju kegelapan yang
lebih dalam.
***
Fajar merekah di ufuk timur, mengusir kabut yang menyelimuti desa. Di tengah
embusan angin yang membawa aroma tanah basah, Anjuna duduk bersila di puncak
bukit, matanya terpejam, mendengarkan bisikan leluhur yang berusaha memberinya
petunjuk.
"Waktunya telah tiba," suara lirih menggema di benaknya.
"Tetlom semakin kuat. Jika kau tidak bersiap, takdir dunia akan jatuh ke
dalam kegelapan."
Anjuna menghela napas dalam-dalam. Ia telah lama mengetahui bahwa
pertarungannya dengan Tetlom tak bisa dihindari. Tapi kekuatan yang dimiliki
iblis itu bukanlah sesuatu yang bisa ia lawan begitu saja. Ia membutuhkan
sesuatu… sesuatu yang lebih kuat dari sekadar mantra dan ilmu gaib.
Sementara itu, di dalam gua terlarang yang terletak jauh di jantung hutan,
Tetlom berdiri di hadapan cermin hitam yang berpendar samar. Sosok bayangan di
dalam cermin menyeringai—sang Raja Iblis yang telah lama dikutuk karena
keserakahannya.
"Kau mulai memahami kekuatan ini, Tetlom," suara serak menggema.
"Namun, masih ada yang kurang. Kau butuh lebih banyak darah, lebih banyak
pengorbanan."
Mata Tetlom menyala merah, kilatan kegilaan bercampur hasrat membakar
tatapannya. "Aku akan mendapatkan apa yang kubutuhkan," desisnya.
"Darah akan mengalir, dan Anjuna akan berlutut di hadapanku."
Di desa, Cokgom menatap putranya—atau lebih tepatnya, bayi yang ia kira
adalah putranya. Jorbut meringkuk dalam selimut kain, matanya yang masih kecil
seolah menyimpan sesuatu yang lebih tua dari usianya. Cokgom merasakan
ketakutan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ada yang salah dengan anak
ini… sesuatu yang bahkan ia sendiri tak bisa pahami.
Tiba-tiba, suara derap kaki terdengar. Seorang lelaki tua, pendeta desa,
melangkah masuk. "Cokgom, kau harus mengerti," katanya pelan.
"Bayi itu… bukan milikmu. Ia adalah titisan kekuatan kelam."
Cokgom mencengkeram bahunya. "Apa maksudmu?! Aku sendiri yang
menyaksikan kelahirannya!"
"Kau hanya melihat ilusi, Cokgom. Sekte yang kau ikuti telah
mempermainkanmu. Jorbut bukan anakmu, melainkan bejana yang disiapkan untuk
menampung kekuatan iblis yang akan berpindah dari Tetlom."
Cokgom terduduk, dunia seakan berputar. Ia telah diperalat, dan sekarang ia
harus memilih—menyelamatkan Jorbut atau menyerahkan segalanya pada kegelapan.
Di kejauhan, di bawah sinar matahari yang menyinari lembah, Anjuna membuka
matanya. Ia tahu, perang sudah di depan mata. Dan dalam perang ini, tak akan
ada jalan kembali.
***
Udara
malam terasa berat, seperti disesaki oleh sesuatu yang tak kasat mata. Langit
yang semula bertabur bintang kini diselimuti awan hitam yang berputar-putar,
seolah menandakan bencana yang akan datang.
Di tengah
desa yang mencekam, Anjuna berdiri dengan tatapan tajam, tangannya menggenggam
liontin peninggalan leluhurnya. Ia bisa merasakan sesuatu yang mengerikan
sedang bergerak dari arah hutan.
Tiba-tiba,
tanah bergetar. Dari kejauhan, sebuah cahaya merah menyala di dalam gua
terlarang. Teriakan mengerikan menggema di udara, membuat penduduk desa yang
bersembunyi di rumah-rumah mereka menutup telinga, berdoa agar malam ini segera
berlalu.
Tetlom
telah memulai ritualnya.
Di dalam
gua, api unggun berkobar lebih tinggi dari sebelumnya, menari-nari seperti
lidah iblis yang lapar. Tubuh Tetlom mengambang di udara, dikelilingi bayangan
hitam yang terus berputar. Dari balik cermin hitam, sosok Raja Iblis perlahan
keluar, wujudnya menyerupai manusia namun matanya adalah jurang tanpa dasar.
"Pengorbanan
telah dilakukan, waktunya kau menjadi wadah sempurna bagiku," suaranya bergema, memenuhi
ruangan dengan aura kegelapan.
Tetlom
menyeringai, tubuhnya kini berkilat-kilat dengan simbol-simbol tak dikenal.
Namun tiba-tiba, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Cermin
hitam itu mulai retak.
Dari
celahnya, suara lain muncul—suara tangisan bayi.
Jorbut.
Di
rumahnya, Cokgom memekik saat melihat bayi yang selama ini ia rawat kini
melayang di udara, matanya yang kecil bersinar keemasan. Suara tangisannya
bukanlah tangisan biasa, tetapi gema dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu
yang telah lama tersembunyi.
Tiba-tiba,
bayangan hitam yang mengelilingi Tetlom tertarik ke arah cahaya yang terpancar
dari Jorbut. Tubuh Tetlom mengejang, berusaha melawan, tetapi kekuatannya kini
mengalir ke bayi itu, perlahan menghilangkan aura iblis dari dirinya.
"A-apa
yang terjadi?!" Tetlom berusaha bertahan, tetapi semakin lama, tubuhnya
melemah. Raja Iblis yang seharusnya menyatu dengannya kini berbalik arah,
berpindah ke bayi yang tak bersalah.
***
Angin
malam membawa aroma tanah basah dan kayu terbakar. Di kejauhan, suara serangga
perlahan menghilang, seolah mereka pun tahu bahwa sesuatu yang lebih besar dari
sekadar malam sedang terjadi.
Anjuna
berdiri di tengah tanah lapang, matanya menatap langit yang mulai menghitam.
Awan berputar di atas desa, membentuk pusaran gelap yang terasa begitu
menyesakkan. Ia bisa merasakan getaran itu di tanah, getaran yang datang dari
arah hutan.
Tetlom.
Ritualnya telah mencapai puncak.
Di dalam
gua yang diterangi cahaya merah menyala, Tetlom mengangkat kedua tangannya.
Bayangan-bayangan di dinding menari liar mengikuti gerakan tubuhnya. Di
hadapannya, cermin hitam yang retak bergetar hebat, seolah ada sesuatu di
dalamnya yang berusaha keluar.
"Sebentar
lagi…" bisik Tetlom, bibirnya merekah dalam senyum gila. "Aku akan
menjadi abadi…"
Dari
cermin itu, suara serak terdengar. "Kau telah memenuhi syarat, Tetlom.
Sekarang, jadilah wadahku."
Bayangan
dari dalam cermin mulai menjulur keluar seperti kabut pekat, membentuk wujud
seorang pria bertubuh besar, matanya kosong seperti lubang tanpa dasar. Ia
adalah Raja Iblis, entitas yang selama ini hanya dikenal dalam bisikan-bisikan
legenda.
Tetlom
mendekat, siap menerima kekuatan yang telah ia perjuangkan. Namun tiba-tiba,
segalanya berubah.
Cermin
itu mulai bergetar lebih hebat. Suara tangisan menggema dari dalamnya. Tangisan
bayi.
Tetlom
tersentak mundur. "Apa ini?"
Suara
Raja Iblis berubah, tidak lagi terdengar bertenaga, melainkan… ragu.
"Tidak…
Ini bukan bagianku… Ini bukan—"
Dari balik cermin, retakan semakin melebar, dan cahaya keemasan muncul, memaksa bayangan gelap itu untuk mundur. Tetlom mencoba bergerak, tapi tubuhnya seakan ditarik oleh kekuatan yang ia sendiri tak pahami.
Di desa, Cokgom menatap dengan mata melebar ketika bayi dalam dekapannya mulai melayang di udara. Jorbut.
Bayi itu
menangis, namun tangisannya bukan tangisan biasa. Suaranya menggema ke seluruh
desa, menciptakan resonansi yang membuat kaca-kaca pecah dan tanah bergetar.
Cokgom
merasakan keringat dingin di tengkuknya. "Ini… bukan anakku…"
Dari
sudut ruangan, pendeta desa melangkah mendekat. Tatapan tuanya tajam, suaranya
penuh kepastian.
"Jorbut
bukan anakmu, Cokgom."
Cokgom
menoleh cepat, matanya membelalak. "Apa maksudmu? Aku sendiri yang melihat
kelahirannya!"
Pendeta
itu menggeleng pelan. "Apa yang kau lihat hanyalah ilusi. Sekte yang kau
percaya telah mempermainkanmu. Jorbut bukan darahmu… Ia adalah bejana bagi sesuatu
yang jauh lebih tua…"
Saat
kata-kata itu meluncur dari mulut pendeta, cahaya keemasan menyembur dari tubuh
Jorbut.
Di dalam
gua, Tetlom menjerit.
Bayangan
yang semula mengitarinya kini berputar liar, seolah ditarik ke arah yang lain.
Kakinya melemah, tubuhnya bergetar. Raja Iblis menatap ke arah langit-langit
gua, matanya yang gelap kini menunjukkan sesuatu yang tak pernah terlihat
sebelumnya: ketakutan.
"Tidak
mungkin… Ini bukan rencana—"
Bayangan itu terhisap ke dalam cahaya keemasan, dan seketika gua itu runtuh.
Anjuna
tiba di tempat itu tepat ketika ledakan besar mengguncang tanah. Batu-batu
beterbangan, debu mengepul. Namun yang menarik perhatiannya bukanlah kehancuran
di hadapannya.
Melainkan
suara tangisan bayi yang bergema di udara.
Ia
menoleh, matanya membulat saat melihat Jorbut diangkat tinggi oleh cahaya
keemasan.
Lalu
pendeta itu berbisik, cukup lirih, namun menusuk ke dalam kesadarannya.
"Jorbut…
adalah keturunan Tiop."
Anjuna
merasa jantungnya berhenti sejenak. Tiop. Ayahnya.
Ia ingin
menanyakan lebih banyak, ingin memahami semua ini. Namun sebelum ia sempat
bergerak, langit di atas desa terbelah.
Dan malam
itu, sesuatu yang lebih besar dari iblis telah lahir.