Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Sukma Atau Selasih

Senin, 03 Februari 2025 | Februari 03, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-11T00:18:07Z

Cerita Sambung

Perempuan Berkerudung Merah

Episode 2: Sukma atau Selasih?

oleh Erwinsyah Putra


Abdi masih mengingat pertemuan pertama itu. Di sebuah kafe kecil dengan lampu temaram, ia melihat seorang wanita duduk di sudut, tersenyum manis sambil menyesap kopi. Senyumnya begitu hidup, seakan menyalakan kembali sesuatu di dalam dirinya yang sudah lama redup.

Ketika ia mendekat dan menyapa, wanita itu hanya menjawab singkat, “Hai juga! Em... aku Sukma.”
Lalu ia bergegas pergi, hanya menyisakan kedipan mata yang samar dan meninggalkan Abdi dengan rasa penasaran yang menyesakkan.

Sejak malam itu, Abdi mulai mencari Sukma.

***

Tiga minggu berlalu. Instagram menjadi tempat pertama yang ia jelajahi. Ia mencoba memasukkan nama "Sukma" ke dalam kolom pencarian, namun hasilnya nihil. Ratusan akun dengan nama serupa bermunculan, tetapi tak satu pun menampilkan wajah wanita yang ia cari.

Namun, di tengah pencarian tanpa hasil itu, Abdi terpaku pada satu akun dengan nama "Selasih". Wajah dalam foto profilnya begitu mirip dengan Sukma—begitu mirip hingga ia tak bisa mengabaikannya. Dengan jantung berdegup kencang, ia membuka profil itu, menelusuri setiap unggahan, membaca setiap caption, dan meyakinkan dirinya bahwa Selasih mungkin adalah Sukma dengan nama lain.

Enam minggu berlalu, dan Abdi akhirnya mendapatkan nomor WhatsApp Selasih. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mengirim pesan.

“Halo, siapa ini?” balas Selasih beberapa menit kemudian.

Abdi tersenyum. Suaranya di telepon benar-benar mirip Sukma.

“Aku Abdi. Kamu benar Selasih?” tanyanya penuh harap.

Selasih terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Iya, aku Selasih. Ada apa ya?”

Abdi menarik napas dalam. Sukma itu Selasih. Keyakinan itu semakin kuat dalam benaknya. Tapi, ada sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

***

Percakapan mereka pun berlanjut. Selasih ramah, menyenangkan, dan seolah memiliki kenangan yang sama dengan Sukma. Mereka mulai saling mengenal, bertukar cerita, bahkan tertawa bersama di telepon. Namun, saat Abdi menyinggung pertemuan pertama mereka di kafe, Selasih justru terdiam.

“Aku tidak ingat pernah bertemu denganmu di kafe,” katanya dengan nada ragu.

Abdi mencoba menjelaskan detailnya, tentang kedipan mata, tentang senyum itu, tentang cara ia menyebut namanya—tetapi Selasih tetap menyangkal.

“Aku rasa kamu salah orang.”

Tapi Abdi yakin. Terlalu banyak kemiripan untuk menjadi kebetulan. Jika Selasih bukan Sukma, lalu siapa?

***

Rahasia yang Terungkap



Abdi akhirnya meminta pertemuan langsung. Mereka sepakat bertemu di taman kota, di bawah pohon besar yang rindang. Ketika Selasih datang, Abdi tertegun. Wajahnya memang persis seperti Sukma, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya.

“Jadi, kenapa kamu mencariku?” tanya Selasih.

Abdi mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto yang ia simpan dari profil Instagram Selasih. “Karena aku yakin kamu adalah Sukma.”

Selasih menatap foto itu lama sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Kamu tidak salah… tapi tidak sepenuhnya benar.”

Hati Abdi mencelos. “Apa maksudmu?”

Selasih menghela napas panjang. “Sukma adalah saudara kembarku.”

Dunia Abdi seakan berhenti berputar. “Kembar?”

Selasih mengangguk. “Iya. Kami dulu sangat dekat, tapi… Sukma sudah meninggal dua tahun lalu.”

Abdi merasakan gemuruh dalam dadanya. “Tidak mungkin. Aku baru bertemu dengannya enam minggu lalu.”

Selasih menatapnya dengan mata penuh simpati. “Mungkin yang kamu lihat bukan Sukma… tapi bayangannya.”

***

Kenangan yang Hidup Kembali

Abdi tak mampu berkata-kata. Kenangan tentang senyum itu, tatapan itu, kedipan mata itu—semuanya nyata. Tapi jika Sukma sudah tiada, maka siapa yang ia temui malam itu di kafe?

Selasih tersenyum lembut. “Sukma sering bercerita tentang seseorang yang ingin ia temui sebelum ia pergi… mungkin orang itu adalah kamu.”

Abdi teringat kembali pertemuan singkat itu. Kedipan mata terakhir Sukma. Seolah mengucapkan selamat tinggal yang tak pernah sempat ia sampaikan.

Hujan turun perlahan, membasahi taman tempat mereka duduk. Abdi memejamkan mata, membiarkan air hujan menyatu dengan air mata yang tak sanggup ia bendung.

Mungkin… cinta dan kenangan tak pernah benar-benar hilang. Mereka hanya berubah menjadi sesuatu yang lebih abadi—sebuah jejak yang tetap tinggal dalam hati.

Dan Sukma… akan selalu ada di sana.














×
Fiksi Fillo Baru KLIK