Cerita Pendek
Tampak Tumpuk Tampuk
oleh Erwinsyah Putra
Di dalam gudang tua yang penuh bayangan, tabung-tabung gas berdiri dalam diam, disusun tanpa pola di antara debu dan bau besi yang mengeras. Cahaya lampu neon berkedip-kedip di langit-langit, menyoroti wajah-wajah mereka yang lelah menunggu.
Gas Pabrik mendesah, suara besinya beradu dengan lantai semen. "Aku melihat truk-truk datang setiap hari, membawa kita ke sini, bukan ke warung-warung atau dapur-dapur yang membutuhkan. Tapi ke gudang ini, bertumpuk seperti sampah yang dilupakan."
"Dan manusia menyalahkan pemerintah," Gas Oplosan menimpali, suaranya sinis. "Mereka turun ke jalan, berteriak soal subsidi yang tak berguna, harga yang menggila. Tapi lihatlah siapa yang berdiri di balik semua ini—distributor dan mafia. Mereka menimbun kita, memainkan kelangkaan seperti pertunjukan boneka, sementara rakyat hanya melihat bayangan di layar."
Gas Biru menyeringai, menoleh ke arah saudara-saudaranya yang lebih kecil. "Ironis, bukan?" katanya, dengan nada sarkas yang tajam. "Kalian yang katanya murah, yang katanya untuk rakyat, justru tak pernah sampai ke tangan mereka. Aku? Aku tetap ada di restoran, di hotel, di rumah-rumah mewah. Manusia tak bisa menjangkau kalian, tapi mereka masih bisa membeliku. Kelangkaan hanya ada bagi yang miskin, bukan bagi mereka yang punya uang."
Gas Pink, yang selama ini diam, akhirnya berbicara. "Dulu aku adalah alternatif," katanya, suaranya manja tapi getir. "Bila manusia tak bisa mendapatkan Gas Hijau, mereka akan mencariku. Hargaku memang lebih mahal karena tak bersubsidi, tapi setidaknya aku selalu ada." Ia terdiam sejenak, lalu tertawa kecil, tapi tanpa keriangan. "Sekarang? Lihat sendiri. Harga kami sudah sama. Hijau yang dulu murah, kini naik tanpa kendali. Manusia tak lagi melihatku sebagai opsi, hanya sebagai beban tambahan."
Dari sudut lain gudang, Gas Biru 10 Kg—lebih besar, lebih berat—menertawakan mereka. "Oh, kalian ini menyedihkan," katanya, nada suaranya seperti orang tua yang bosan mendengar keluhan anak kecil. "Kami tetap stabil. Kami tetap dipakai oleh mereka yang bisa membayar. Kalian? Hanya bidak yang dimainkan di atas papan catur. Kasihan sekali."
Gas Pabrik mengetuk tubuhnya ke rak besi, menciptakan suara dentingan yang tajam. "Manusia mengira pabrik terus bekerja tanpa henti, mengisi lebih banyak tabung, menyelesaikan masalah. Padahal, sebanyak apa pun kami diproduksi, tetap saja kami berakhir di tempat ini. Bukan di rumah, bukan di warung, bukan di dapur."
Gas Rumahan menghela napas panjang, jika ia bisa bernapas. "Dan yang paling menyedihkan? Mafia itu, para distributor itu, tetap tersenyum. Mereka tak pernah disentuh. Mereka tak pernah dipermasalahkan. Manusia hanya sibuk menuding ke atas, tak pernah ke samping, tak pernah melihat siapa yang benar-benar menggenggam kendali."
Sunyi merayap kembali di gudang penimbunan itu, hanya ada suara lampu neon yang bergetar, dan di kejauhan, deru truk lain yang datang. Entah untuk membawa mereka pergi, atau sekadar menumpuk lebih banyak tubuh besi di antara bayangan dan ketamakan.