Cerita Pendek
Tamu di Kamar 306
oleh Erwinsyah Putra
Hujan turun pelan di luar jendela lobi hotel, menetes di kaca besar dan
menciptakan pola tak beraturan. Angin dingin merayap masuk setiap kali pintu
otomatis terbuka, membawa aroma tanah basah dan kopi dari kafe seberang jalan.
Raka, resepsionis malam di Hotel Teratai, baru saja menguap
ketika bel meja berdering. Seorang pria dengan mantel hitam berdiri di sana,
wajahnya setengah tertutup syal, hanya memperlihatkan mata hitam yang tampak
lelah.
"Kamar 306 masih bisa diperpanjang?" suaranya dalam dan
datar.
Raka melirik layar komputer. Kamar itu sudah dihuni lebih dari tiga minggu.
Biasanya tamu hotel kecil ini hanya menginap satu atau dua malam, paling lama
seminggu. Tapi pria ini… sudah hampir sebulan, dan belum pernah sekalipun
terlihat keluar.
"Tentu, Pak. Akan saya perpanjang sampai kapan?"
"Satu minggu lagi."
Jari Raka bergerak di keyboard, tapi rasa penasaran mulai mengusik
pikirannya. Setiap hari, pria ini memesan makanan untuk dua orang, tapi tidak
pernah ada yang melihat siapa pun masuk atau keluar dari kamar itu. Tidak ada
teman, tidak ada suara televisi, bahkan tak ada keluhan dari tamu lain di
lantai yang sama.
"Bisa kirim makanannya lebih cepat malam ini? Pasta dan sup jamur,
seperti biasa."
"Baik, Pak." Raka mengangguk.
Pria itu menyerahkan kartu debitnya tanpa banyak bicara, lalu berbalik
menuju lift.
Raka menatap punggung pria itu, pikirannya sibuk bertanya-tanya. Siapa
sebenarnya yang ada di kamar itu?
***
Jam
menunjukkan pukul 10 malam. Raka membawa nampan berisi sepiring pasta, sup
jamur, dan segelas jus jeruk, lalu berjalan menyusuri lorong lantai tiga.
Cahaya lampu remang-remang membuat suasana terasa lebih dingin.
Ia berhenti di depan pintu Kamar 306.
"Room service," katanya sambil mengetuk tiga kali.
Hening.
Biasanya, tamu itu langsung membuka pintu. Tapi kali ini… tidak ada jawaban.
Raka mengetuk lagi, lebih keras.
Tetap hening.
Merasa ada yang aneh, ia menempelkan telinga ke pintu. Tak ada suara. Tidak
ada langkah kaki, tidak ada suara piring, tidak ada tanda kehidupan.
Raka menelan ludah, lalu mencoba memutar kenop pintu. Tidak
terkunci.
Ia ragu sejenak, tapi rasa penasaran menang. Perlahan, ia mendorong pintu
dan mengintip ke dalam.
Gelap.
Tirai tebal menutupi jendela, membuat kamar terasa lebih suram. Bau lembab
dan samar-samar wangi parfum memenuhi ruangan.
Di meja kecil di dekat tempat tidur, ada dua piring kosong. Bekas pasta dan
sup yang sudah mengering di tepinya.
Dua piring.
Tapi kamar itu… kosong.
Tidak ada siapa pun.
Tempat tidur rapi, seolah tak pernah ditiduri. Koper hitam masih tersandar
di pojok ruangan. Tidak ada suara shower di kamar mandi, tidak ada langkah
kaki.
Seketika, bulu kuduk Raka meremang.
Kalau tamu itu ada di sini, ke mana dia pergi? Dan siapa yang
memakan makanan di piring kedua?
Raka berbalik, hendak keluar, ketika tiba-tiba…
Brak!
Pintu kamar mandi terbuka sedikit.
Raka membeku.
Di celah pintu itu, ia bisa melihat sesuatu—bayangan seseorang. Berdiri diam
dalam gelap, seperti sedang mengawasinya.
Jantungnya berdebar kencang.
Lalu, suara lirih terdengar dari dalam kamar mandi.
"Jangan… kasih tahu dia…"
Seketika, Raka menjatuhkan nampan yang dibawanya.
***
Tanpa pikir panjang, Raka berlari keluar kamar dan menutup pintunya dengan
cepat. Ia mengatur napas di lorong, jantungnya berdegup liar.
Apa yang baru saja ia lihat?
Siapa yang berbicara padanya?
Seketika, ia ingat sesuatu—rekaman CCTV.
Dengan tangan gemetar, Raka buru-buru turun ke lobi dan membuka rekaman
kamera yang mengarah ke lorong lantai tiga. Ia memajukan waktu hingga pukul 9
malam, saat pria itu naik lift menuju kamarnya.
Ia melihat pria itu keluar lift, berjalan ke Kamar 306… dan membuka pintu.
Tapi ada yang aneh.
Dalam rekaman itu, sebelum pintu tertutup, sesuatu bergerak di dalam kamar.
Sebuah tangan.
Tangan pucat yang mencengkeram tepi pintu… seperti berusaha keluar.
Seketika, tubuh Raka membeku.
Ia baru sadar sesuatu—tamu di Kamar 306 tidak pernah terlihat
keluar… tapi mungkin, ada seseorang di dalam yang tidak bisa keluar.
Dan yang lebih buruk, orang itu mungkin sedang meminta bantuannya.
***
Raka menelan ludah. Rekaman CCTV di depannya masih berjalan, menampilkan
sesuatu yang seharusnya tidak mungkin terjadi.
Di layar, pria dengan mantel hitam itu menutup pintu kamar 306… tapi sebelum
pintu benar-benar tertutup, ada tangan pucat yang mencengkeram
tepi pintu. Seperti berusaha keluar.
Seseorang ada di dalam kamar itu.
Tapi jika memang ada seseorang, kenapa hotel ini tidak pernah
mencatat ada tamu lain di kamar itu?
Dada Raka berdegup lebih cepat. Ia kembali memutar rekaman dari beberapa
malam sebelumnya. Dalam rekaman tanggal 15, pria itu masuk ke kamar dengan dua
nampan makanan.
Rekaman tanggal 10, hal yang sama.
Tanggal 5, masih sama.
Dan kemudian…
Tanggal 1.
Jari Raka sedikit gemetar saat ia memajukan rekaman ke pukul 9 malam. Pria
itu turun dari lift, berjalan ke kamar 306… tapi kali ini, sebelum pintu
tertutup, sesuatu terlihat lebih jelas di rekaman.
Sosok seorang wanita—kurus, berambut panjang berantakan, dengan mata yang
kosong—berdiri di ambang pintu. Tangannya terangkat, seperti sedang
berusaha meraih sesuatu di luar kamar, sebelum pria itu menariknya
kembali ke dalam.
Lalu pintu tertutup.
Raka membelalakkan matanya.
Dia tidak sendiri di kamar itu.
***
Raka merasa
tubuhnya dingin. Tangannya bergerak ke laci meja resepsionis, mencari daftar
tamu di bulan sebelumnya. Kamar 306…
Nama yang terdaftar hanya satu: Arman Satya Putra.
Tidak ada nama wanita. Tidak ada tamu lain.
Tapi yang paling membuatnya merinding adalah…
Catatan terakhir kamar itu.
Kamar 306 sebelumnya pernah dipesan oleh seorang wanita bernama Tania
Sasmita.
Tanggal check-in: sebulan yang lalu.
Tanggal check-out: tidak pernah tercatat.
Tania Sasmita… tidak pernah meninggalkan hotel ini.
Raka menahan napas. Ia menatap layar CCTV sekali lagi, sebelum tangannya
dengan refleks meraih telepon. Ia harus melaporkan ini ke polisi—ini bukan
urusannya lagi.
Tapi saat ia akan menekan nomor darurat, sesuatu membuatnya berhenti.
Sebuah suara, nyaris seperti bisikan…
"Jangan… kasih tahu dia…"
Raka menoleh ke arah lorong.
Lalu, ia melihatnya.
Seseorang berdiri di ujung lorong hotel.
Wanita itu.
Matanya kosong. Rambutnya panjang, kusut, dan menutupi sebagian wajahnya.
Kulitnya pucat, hampir seputih dinding di belakangnya.
Ia menatap Raka tanpa berkedip.
Lalu perlahan, ia mengangkat tangannya dan menunjuk ke belakang Raka.
Ke arah pintu masuk hotel.
***
Raka menoleh
dengan cepat.
Di luar pintu kaca, di tengah hujan yang masih turun rintik-rintik,
seseorang berdiri di bawah lampu jalan.
Pria berjaket hitam.
Dia menatap lurus ke arah Raka.
Itu adalah tamu Kamar 306.
Jantung Raka berdegup lebih kencang. Ia melihat kembali ke lorong…
Wanita itu sudah tidak ada.
Tidak ada jejak. Tidak ada suara langkah kaki.
Dia lenyap.
Hanya menyisakan udara dingin yang merayap di kulit Raka.
Lalu, bel meja berdering.
Pelan. Sekali.
Raka berbalik, dan pria itu sudah ada di depan meja resepsionis.
"Tolong perpanjang kamar saya satu minggu lagi."
Raka tidak bisa menjawab.
Sesuatu memberitahunya bahwa jika ia bertanya terlalu banyak… jika ia
melakukan kesalahan sedikit saja…
Ia mungkin tidak akan pernah meninggalkan hotel ini.
Tapi di dalam pikirannya, hanya ada satu pertanyaan besar yang tidak bisa ia
jawab.
Apakah wanita itu meminta bantuan…
Atau memperingatkannya?