Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan 728x90

Tamu di Kamar 306

Selasa, 11 Februari 2025 | Februari 11, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-28T14:53:21Z


 

Cerita Pendek

Tamu di Kamar 306

oleh Erwinsyah Putra

Hujan turun pelan di luar jendela lobi hotel, menetes di kaca besar dan menciptakan pola tak beraturan. Angin dingin merayap masuk setiap kali pintu otomatis terbuka, membawa aroma tanah basah dan kopi dari kafe seberang jalan.

Promo Diskon 50%

Promo Diskon 50%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

Raka, resepsionis malam di Hotel Teratai, baru saja menguap ketika bel meja berdering. Seorang pria dengan mantel hitam berdiri di sana, wajahnya setengah tertutup syal, hanya memperlihatkan mata hitam yang tampak lelah.

"Kamar 306 masih bisa diperpanjang?" suaranya dalam dan datar.

Raka melirik layar komputer. Kamar itu sudah dihuni lebih dari tiga minggu. Biasanya tamu hotel kecil ini hanya menginap satu atau dua malam, paling lama seminggu. Tapi pria ini… sudah hampir sebulan, dan belum pernah sekalipun terlihat keluar.

"Tentu, Pak. Akan saya perpanjang sampai kapan?"

"Satu minggu lagi."

Jari Raka bergerak di keyboard, tapi rasa penasaran mulai mengusik pikirannya. Setiap hari, pria ini memesan makanan untuk dua orang, tapi tidak pernah ada yang melihat siapa pun masuk atau keluar dari kamar itu. Tidak ada teman, tidak ada suara televisi, bahkan tak ada keluhan dari tamu lain di lantai yang sama.

"Bisa kirim makanannya lebih cepat malam ini? Pasta dan sup jamur, seperti biasa."

"Baik, Pak." Raka mengangguk.

Pria itu menyerahkan kartu debitnya tanpa banyak bicara, lalu berbalik menuju lift.

Raka menatap punggung pria itu, pikirannya sibuk bertanya-tanya. Siapa sebenarnya yang ada di kamar itu?

***

Jam menunjukkan pukul 10 malam. Raka membawa nampan berisi sepiring pasta, sup jamur, dan segelas jus jeruk, lalu berjalan menyusuri lorong lantai tiga. Cahaya lampu remang-remang membuat suasana terasa lebih dingin.

Ia berhenti di depan pintu Kamar 306.

"Room service," katanya sambil mengetuk tiga kali.

Hening.

Biasanya, tamu itu langsung membuka pintu. Tapi kali ini… tidak ada jawaban.

Raka mengetuk lagi, lebih keras.

Tetap hening.

Merasa ada yang aneh, ia menempelkan telinga ke pintu. Tak ada suara. Tidak ada langkah kaki, tidak ada suara piring, tidak ada tanda kehidupan.

Raka menelan ludah, lalu mencoba memutar kenop pintu. Tidak terkunci.

Ia ragu sejenak, tapi rasa penasaran menang. Perlahan, ia mendorong pintu dan mengintip ke dalam.

Gelap.

Tirai tebal menutupi jendela, membuat kamar terasa lebih suram. Bau lembab dan samar-samar wangi parfum memenuhi ruangan.

Di meja kecil di dekat tempat tidur, ada dua piring kosong. Bekas pasta dan sup yang sudah mengering di tepinya.

Dua piring.

Tapi kamar itu… kosong.

Tidak ada siapa pun.

Tempat tidur rapi, seolah tak pernah ditiduri. Koper hitam masih tersandar di pojok ruangan. Tidak ada suara shower di kamar mandi, tidak ada langkah kaki.

Seketika, bulu kuduk Raka meremang.

Kalau tamu itu ada di sini, ke mana dia pergi? Dan siapa yang memakan makanan di piring kedua?

Raka berbalik, hendak keluar, ketika tiba-tiba…

Brak!

Pintu kamar mandi terbuka sedikit.

Raka membeku.

Di celah pintu itu, ia bisa melihat sesuatu—bayangan seseorang. Berdiri diam dalam gelap, seperti sedang mengawasinya.

Jantungnya berdebar kencang.

Lalu, suara lirih terdengar dari dalam kamar mandi.

"Jangan… kasih tahu dia…"

Seketika, Raka menjatuhkan nampan yang dibawanya.

***

Tanpa pikir panjang, Raka berlari keluar kamar dan menutup pintunya dengan cepat. Ia mengatur napas di lorong, jantungnya berdegup liar.

Apa yang baru saja ia lihat?

Siapa yang berbicara padanya?

Seketika, ia ingat sesuatu—rekaman CCTV.

Dengan tangan gemetar, Raka buru-buru turun ke lobi dan membuka rekaman kamera yang mengarah ke lorong lantai tiga. Ia memajukan waktu hingga pukul 9 malam, saat pria itu naik lift menuju kamarnya.

Ia melihat pria itu keluar lift, berjalan ke Kamar 306… dan membuka pintu.

Tapi ada yang aneh.

Dalam rekaman itu, sebelum pintu tertutup, sesuatu bergerak di dalam kamar.

Sebuah tangan.

Tangan pucat yang mencengkeram tepi pintu… seperti berusaha keluar.

Seketika, tubuh Raka membeku.

Ia baru sadar sesuatu—tamu di Kamar 306 tidak pernah terlihat keluar… tapi mungkin, ada seseorang di dalam yang tidak bisa keluar.

Dan yang lebih buruk, orang itu mungkin sedang meminta bantuannya.

***

Raka menelan ludah. Rekaman CCTV di depannya masih berjalan, menampilkan sesuatu yang seharusnya tidak mungkin terjadi.

Di layar, pria dengan mantel hitam itu menutup pintu kamar 306… tapi sebelum pintu benar-benar tertutup, ada tangan pucat yang mencengkeram tepi pintu. Seperti berusaha keluar.

Seseorang ada di dalam kamar itu.

Tapi jika memang ada seseorang, kenapa hotel ini tidak pernah mencatat ada tamu lain di kamar itu?

Dada Raka berdegup lebih cepat. Ia kembali memutar rekaman dari beberapa malam sebelumnya. Dalam rekaman tanggal 15, pria itu masuk ke kamar dengan dua nampan makanan.

Rekaman tanggal 10, hal yang sama.

Tanggal 5, masih sama.

Dan kemudian…

Tanggal 1.

Jari Raka sedikit gemetar saat ia memajukan rekaman ke pukul 9 malam. Pria itu turun dari lift, berjalan ke kamar 306… tapi kali ini, sebelum pintu tertutup, sesuatu terlihat lebih jelas di rekaman.

Sosok seorang wanita—kurus, berambut panjang berantakan, dengan mata yang kosong—berdiri di ambang pintu. Tangannya terangkat, seperti sedang berusaha meraih sesuatu di luar kamar, sebelum pria itu menariknya kembali ke dalam.

Lalu pintu tertutup.

Raka membelalakkan matanya.

Dia tidak sendiri di kamar itu.

***

Raka merasa tubuhnya dingin. Tangannya bergerak ke laci meja resepsionis, mencari daftar tamu di bulan sebelumnya. Kamar 306…

Nama yang terdaftar hanya satu: Arman Satya Putra.

Tidak ada nama wanita. Tidak ada tamu lain.

Tapi yang paling membuatnya merinding adalah…

Catatan terakhir kamar itu.

Kamar 306 sebelumnya pernah dipesan oleh seorang wanita bernama Tania Sasmita.

Tanggal check-in: sebulan yang lalu.

Tanggal check-out: tidak pernah tercatat.

Tania Sasmita… tidak pernah meninggalkan hotel ini.

Raka menahan napas. Ia menatap layar CCTV sekali lagi, sebelum tangannya dengan refleks meraih telepon. Ia harus melaporkan ini ke polisi—ini bukan urusannya lagi.

Tapi saat ia akan menekan nomor darurat, sesuatu membuatnya berhenti.

Sebuah suara, nyaris seperti bisikan…

"Jangan… kasih tahu dia…"

Raka menoleh ke arah lorong.

Lalu, ia melihatnya.

Seseorang berdiri di ujung lorong hotel.

Wanita itu.

Matanya kosong. Rambutnya panjang, kusut, dan menutupi sebagian wajahnya. Kulitnya pucat, hampir seputih dinding di belakangnya.

Ia menatap Raka tanpa berkedip.

Lalu perlahan, ia mengangkat tangannya dan menunjuk ke belakang Raka.

Ke arah pintu masuk hotel.

Promo Diskon 50%

Promo Diskon 50%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

***

Raka menoleh dengan cepat.

Di luar pintu kaca, di tengah hujan yang masih turun rintik-rintik, seseorang berdiri di bawah lampu jalan.

Pria berjaket hitam.

Dia menatap lurus ke arah Raka.

Itu adalah tamu Kamar 306.

Jantung Raka berdegup lebih kencang. Ia melihat kembali ke lorong…

Wanita itu sudah tidak ada.

Tidak ada jejak. Tidak ada suara langkah kaki.

Dia lenyap.

Hanya menyisakan udara dingin yang merayap di kulit Raka.

Lalu, bel meja berdering.

Pelan. Sekali.

Raka berbalik, dan pria itu sudah ada di depan meja resepsionis.

"Tolong perpanjang kamar saya satu minggu lagi."

Raka tidak bisa menjawab.

Sesuatu memberitahunya bahwa jika ia bertanya terlalu banyak… jika ia melakukan kesalahan sedikit saja…

Ia mungkin tidak akan pernah meninggalkan hotel ini.

Tapi di dalam pikirannya, hanya ada satu pertanyaan besar yang tidak bisa ia jawab.

Apakah wanita itu meminta bantuan…

Atau memperingatkannya?

 

Iklan 728x90
×
Fiksi Fillo Baru KLIK