Cerita Sambung
Al 'Alamul Aswad
Episode 4: Tsalats Habaat Sawda
oleh Erwinsyah Putra
Desa
gempar ketika kabar itu menyebar: Jorbut bukan anak Cokgom.
Adik
perempuan Cokgom, yang selama ini tinggal bersama Talmak, bersumpah bahwa ia
melihat Tiop sering mengunjungi rumah mereka secara diam-diam. Isu ini
berkembang liar, menjadi bisikan dari satu mulut ke mulut lainnya, mengubah
kecurigaan menjadi fitnah yang membakar.
Cokgom,
yang selama ini menghilang selama dua tahun sejak menikahi Talmak, kembali
dengan amarah membara. Tanpa berpikir panjang, ia menyeret Tiop ke hadapan
penduduk desa.
"Kau!
Selama ini kau tidur dengan istriku!" Cokgom menuding Tiop di tengah
kerumunan.
Tiop
terkejut, namun lebih dari itu, ia terluka. "Aku tidak pernah melakukan
hal semacam itu, Cokgom! Aku ke rumahmu bukan untuk Talmak, tapi untuk putriku,
Anjuna!"
Para
penduduk mulai berbisik-bisik. Apa hubungan antara Talmak dan Anjuna?
Tiop
menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Talmak adalah seorang Cenayang.
Ia satu-satunya yang bisa mengobati penyakit Anjuna. Aku hanya meminta
bantuannya."
Namun,
fitnah telah terlalu kuat mencengkeram nalar Cokgom. Ia tidak percaya. Baginya,
ini hanyalah dalih seorang pria yang tertangkap basah.
***
Di tengah kekacauan itu, Talmak akhirnya berbicara.
"Cokgom…
kau ingin tahu siapa ayah Jorbut?" suara Talmak terdengar getir.
Cokgom
menatapnya dengan kebencian. "Katakan!"
Talmak
menarik napas gemetar. "Aku tidak tahu siapa ayahnya..."
Kerumunan
tersentak. Bagaimana mungkin seorang istri tidak tahu siapa ayah anaknya
sendiri?
Talmak
melanjutkan dengan suara bergetar, "Sebelum aku mengandung Jorbut… aku
pernah mengalami mimpi yang aneh. Dalam mimpi itu, aku bercinta dengan sosok
berapi, hitam, dengan mata menyala merah… Aku menganggap itu hanya bunga tidur.
Tapi… setelah beberapa bulan, aku sadar aku hamil."
Desa
menjadi sunyi.
Tiop
terbelalak. "Talmak… Kau… Kau tidak sadar bahwa itu bukan mimpi? Kau telah
bercinta dengan Raja Iblis!"
Talmak
menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Aku tidak tahu… Aku tidak
tahu!"
Namun,
segalanya menjadi jelas. Jorbut adalah anak Raja Iblis.
***
Sementara
itu, seseorang di kerumunan tiba-tiba tertawa. Seorang lelaki tua, yang telah
hidup lebih lama dari semua yang ada di sana, menatap Cokgom dengan tatapan
tajam.
"Kau
menuduh Tiop? Hah! Kau sendiri penuh dengan kebohongan!"
Cokgom
menegang.
"Kemana
kau selama dua tahun setelah menikahi Talmak? Mengapa kau baru kembali saat
Jorbut sudah lahir?" tanya lelaki tua itu.
Kerumunan
kembali gaduh. Cokgom berkeringat dingin.
"Karena
Cokgom punya istri lain di Pulau Sebelah!" suara itu bergema.
Semua
orang terkejut. Nama itu pun disebut: Bulut.
Darah
Cokgom berdesir.
"Bulut…
sedang hamil tua sekarang, bukan? Dan kau membutuhkan banyak uang untuk
persalinannya. Itulah sebabnya kau ingin menyingkirkan Jorbut. Kau tak ingin
anak dari Talmak mewarisi hartamu!"
Cokgom
terdiam. Rahasianya telah terbongkar.
Ia
menikahi Talmak demi harta, bukan cinta. Dan selama dua tahun, ia menghilang
untuk tinggal bersama Bulut di pulau sebelah. Kini, saat ia membutuhkan uang,
ia kembali dan mencoba menyingkirkan Jorbut.
***
Namun
sebelum siapapun bisa berkata lebih banyak, tiga kekuatan jahat bangkit
secara bersamaan. Tetlom tiba-tiba bangkit dengan tatapan kosong.
Matanya bersinar merah, mulutnya berbisik dalam bahasa yang tak dipahami
manusia. Anjuna jatuh tersungkur, tubuhnya gemetar hebat, sementara
bayangan gelap melingkupi tubuhnya. Jorbut, yang selama ini diam, kini
tersenyum. Tapi bukan senyuman anak kecil, melainkan senyuman iblis.
Raja
Iblis tidak hanya ada di satu tubuh. Ia kini memiliki tiga tubuh manusia.
Desa
diliputi ketakutan.
Tiop
menjerit memeluk Anjuna, namun tubuh putrinya dingin, seakan nyawanya telah
tergantikan. Cokgom pun mundur, ngeri melihat anak yang ia benci kini berubah
menjadi sosok mengerikan.
Jorbut
menatap ayahnya dengan senyum tajam.
"Ayah…?"
panggilnya pelan.
Cokgom
menelan ludah, tubuhnya bergetar.
"Apa
kau ingin aku menghilang?"
Cokgom
tak bisa menjawab. Namun, sebelum ia bisa mengucapkan sesuatu, Jorbut
bergerak.
Tangannya
mencengkeram wajah Cokgom, dan seketika tubuhnya terasa terbakar dari dalam.
Seketika,
Cokgom menjerit kesakitan.
Tapi
bukan hanya Cokgom. Talmak juga menjerit.
Mata
Talmak melebar, dan tubuhnya kejang-kejang. Ia menyadari sesuatu yang
mengerikan.
"Kutukan
ini… Ini belum berakhir…!" suaranya terdengar putus asa.
Raja
Iblis kini tidak hanya memiliki satu wadah. Ia memiliki tiga. Dan malam ini, ia
akan mengambil satu tubuh lagi.
Siapa
yang akan menjadi korban berikutnya?
***
Hening
mencekam rumah tua tempat Talmak biasa melakukan pengobatan. Lilin-lilin
berkelap-kelip, seolah enggan bertahan dari angin yang tak berhembus. Tiop
duduk bersila di sudut ruangan, matanya waspada. Di hadapannya, Anjuna dan
Tetlom duduk dengan mata terpejam, napas mereka berat. Talmak, perempuan
cenayang yang terkenal di desa, bersila di tengah ruangan, menghadap mereka.
Perlahan,
ruangan terasa lebih dingin. Tiop menggigil, bukan karena suhu, melainkan aura
gelap yang mulai memenuhi tempat itu. Mata Tetlom terbuka, merah menyala. Ia
menoleh ke arah Anjuna yang tubuhnya mulai gemetar.
“Waktunya
tiba,” suara Tetlom bukan lagi miliknya. Itu suara yang dalam, berat, dan
menggelegar.
Talmak
mengerutkan kening. “Aku tahu kau bukan Tetlom. Kembalilah ke tempatmu!”
Raja
Iblis yang merasuk dalam tubuh Tetlom tertawa. “Aku hanya mencari penerus.
Jorbut terlalu lemah untukku. Tapi gadis ini...,” ujarnya seraya menatap
Anjuna, “ia sempurna.”
Tiop
tersentak. “Apa maksudmu? Anjuna tak ada hubungannya dengan semua ini!”
Talmak
mengangkat tangannya, mencoba menahan energi gelap yang berputar di sekitar
Anjuna. Namun, sesaat kemudian, tubuhnya tersentak ke belakang. Mulutnya
terbuka, dan dari dalamnya keluar cairan hitam pekat. Matanya memutih, tubuhnya
terjerembap ke lantai.
Tiop
berteriak, meraih tubuh Talmak, tapi ia sudah tak bernyawa.
Anjuna
yang masih gemetar membuka matanya perlahan. “Talmak... dia sudah pergi.”
Tetlom
menggeram. Raja Iblis yang ada dalam dirinya mulai kehilangan kendali. Tanpa
sadar, ia berteriak, tubuhnya kejang, dan dari dalam mulutnya keluar asap hitam
pekat. Raja Iblis akhirnya terhempas keluar dari tubuhnya. Tetlom tersungkur,
tubuhnya gemetar. Anjuna pun lemas dan jatuh ke pelukan Tiop.
Kesunyian
menggantung di ruangan itu. Tiop, dengan tangan gemetar, mengusap rambut
putrinya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Tetlom terengah-engah, menatap
tangannya sendiri dengan ekspresi horor. Ia baru menyadari bahwa selama ini ia
hanya wadah bagi sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri.
Tanpa
berpikir panjang, Tetlom berlari keluar, menuju Hutan Krishitang, tempat Pintu
Alam Lain berada.
***
Kabar
kematian Talmak tersebar luas, sampai ke pulau seberang. Cokgom, yang selama
ini menghilang, akhirnya kembali ke desa. Rasa malu yang ia tinggalkan selama
dua tahun terakhir masih terasa berat. Namun, ia tak bisa membiarkan istrinya
pergi tanpa melihatnya untuk terakhir kali.
Di tengah
perjalanan menuju desa, ia bertemu dengan Tetlom. Mata mereka bertemu, dan
dalam sekejap, Cokgom sudah menyerang. Tinju pertama menghantam perut Tetlom,
membuatnya terhuyung mundur. Tetlom mencoba melawan, tapi anehnya, kekuatannya
lenyap begitu saja. Cokgom dengan mudahnya meremukkan tubuh Tetlom.
Tetlom
jatuh tersungkur. Napasnya memburu, darah merembes dari mulutnya. Ia menatap
Cokgom dengan heran. “Kenapa... aku... begitu lemah?”
Cokgom
hanya tersenyum. Tatapannya kosong. Ia berjongkok, mendekati telinga Tetlom,
dan berbisik, “Karena aku bukan lagi Cokgom.”
Tatapan
Tetlom membelalak. Sesaat kemudian, napasnya berhenti. Tubuhnya kaku, tak bergerak.
Cokgom
berdiri, menghela napas, lalu melanjutkan langkahnya menuju desa.
***
Anjuna
duduk di beranda rumah, menatap ke arah jalanan desa. Matanya kosong,
pikirannya melayang. Tiop berdiri di belakangnya, menggenggam bahunya dengan
lembut.
Tiba-tiba,
tubuh Anjuna menegang. Matanya menatap lurus ke depan, dan dalam hitungan
detik, ia kembali cenayang. Ia melihat sosok Cokgom mendekati desa, namun yang
dilihatnya bukan manusia.
Ia
melihat bayangan Raja Iblis yang bersemayam dalam tubuh Cokgom. Ia tahu,
bencana baru akan segera datang.
Ia
menoleh ke arah ayahnya, matanya berkaca-kaca. “Ayah... biarkan aku
menyelesaikan ini. Jangan tahan aku.”
Tiop
menggeleng, air matanya mulai jatuh. “Tidak, Anjuna. Kau tidak bisa!”
Anjuna
tersenyum tipis. “Jika aku tidak bisa, maka tidak ada yang bisa, Ayah.”
Angin bertiup
lebih kencang. Jarak antara Cokgom dan desa semakin dekat. Perjalanan menuju
akhir yang lebih kelam pun dimulai.