Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan 728x90

Efisiensi Tanpa Hati: Kampus Digital dan Mahasiswa yang Terlantar

Minggu, 16 Maret 2025 | Maret 16, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-03-15T20:04:12Z

(Opini-Fillo Magz) Dalam lanskap modernisasi yang semakin agresif, efisiensi kerap dimitoskan sebagai mantra sakral yang harus diterapkan di berbagai sektor. Tak dapat disangkal, optimalisasi sumber daya memang menjadi kunci bagi keberlanjutan institusi.

Namun, ketika efisiensi diterapkan tanpa mempertimbangkan aspek sosial secara matang, ia justru berisiko menjadi paradoks: sebuah solusi yang berbalik menjadi bumerang bagi masyarakat.

Ambil contoh kebijakan beberapa institusi pendidikan tinggi yang mulai menerapkan sistem work from home (WFH) bagi tenaga kependidikan dengan dalih efisiensi.

Secara premis, kebijakan ini tampak logis—mengurangi beban operasional demi mengalokasikan anggaran ke hal-hal yang lebih substansial. 

Namun, dalam praktiknya, keputusan ini justru melahirkan realitas distopia ala Kafka: mahasiswa yang membutuhkan layanan administratif kini harus berinteraksi dengan entitas tak kasat mata di balik layar Zoom, seolah-olah birokrasi telah berevolusi menjadi sebuah labirin digital yang tak berujung.

Konsep paperless dan digitalisasi yang digadang-gadang sebagai solusi revolusioner ternyata hanya memperpanjang rantai birokrasi dalam bentuk antrean virtual yang lebih melelahkan.

Mahasiswa yang ingin mengurus transkrip nilai, misalnya, kini harus melewati tiga tahap verifikasi daring, menunggu balasan email yang entah kapan datang, serta menghadapi satu sesi terapi kesabaran akibat server yang kerap tumbang.

Bayangkan, bagaimana Socrates bisa berdialektika jika Plato harus menunggu chatbot kampus membalas tiket administrasi?

Lebih dari itu, esensi sosial yang selama ini menjadi nadi perguruan tinggi perlahan terkikis. Kantor akademik, yang dulu menjadi ruang interaksi dan diskusi, kini sunyi seperti reruntuhan peradaban kuno.

Bahkan, humor khas administrasi kampus—"silakan kembali Senin depan, sistem masih dalam pemeliharaan"—mulai kehilangan relevansinya karena tidak ada lagi loket fisik yang bisa didatangi.

Efisiensi yang diterapkan secara serampangan juga berpotensi menciptakan culture shock, terutama bagi masyarakat yang masih bergantung pada layanan tatap muka. Tidak semua individu memiliki akses teknologi yang memadai, dan tidak semua administrasi bisa diselesaikan melalui formulir daring yang kerap terlalu abstrak untuk dipahami.

Dalam perspektif Weberian, rasionalisasi ini justru menciptakan ironi: sistem yang awalnya dirancang untuk menyederhanakan malah bertransformasi menjadi labirin prosedural yang semakin kompleks.

Jika efisiensi memang menjadi tujuan utama, mengapa tidak sekalian menyerahkan seluruh urusan akademik kepada kecerdasan buatan dan mengubah kampus menjadi museum masa lalu? Setidaknya, kita bisa mengenang era ketika mahasiswa masih bisa menyelesaikan urusannya tanpa harus menunggu respons bot otomatis yang entah ada entah tidak.

Pada akhirnya, efisiensi yang bijaksana bukanlah sekadar soal pemotongan anggaran atau digitalisasi yang membabi buta, melainkan pencarian keseimbangan antara rasionalisasi dan aspek kemanusiaan.

Kampus, sebagai episentrum intelektual, tidak seharusnya hanya menjadi laboratorium kebijakan ekonomi, melainkan juga ruang di mana efisiensi tidak mengorbankan substansi akademik dan interaksi manusia yang esensial. Bagaimana Menurut Anda? (Awal Situmorang)

Awaluddin Situmorang adalah Seorang Mahasiswa PAI yang tak pernah merasa religius. Isi diluar Fillo Magazine. 081360331398 (Awal)

×
Fiksi Fillo Baru KLIK