Episode 26: OKI, Dukungan atau Tekanan?
Cerita Fiksi Bersambung
Riyadh, Arab Saudi – Markas Besar Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Suasana di ruang pertemuan megah itu begitu tegang. Perwakilan dari 57 negara anggota OKI berkumpul dalam sidang darurat yang diadakan secara kilat setelah Indonesia resmi menerapkan Golden Rupiah (GRp) 100% dan menghapus sistem fiat dari ekonominya.
Di barisan depan, Muhammad bin Khalid, Sekjen OKI, duduk dengan wajah serius. Di sampingnya, Duta Besar Indonesia untuk OKI, Hasyim Al-Farizi, menyesap air mineral sebelum memulai presentasinya.
Di layar raksasa, grafik dan data tentang ekonomi Indonesia terpampang jelas. Hasyim menarik napas panjang sebelum berbicara.
"Saudara-saudara sekalian, keputusan Indonesia mengadopsi Golden Rupiah bukan sekadar kebijakan moneter, tetapi sebuah langkah revolusioner untuk mengembalikan keadilan ekonomi. Fiat telah menghancurkan banyak negara berkembang, menjerat mereka dalam utang yang tak berkesudahan. Dengan GRp, Indonesia telah membuktikan bahwa ekonomi bisa stabil tanpa inflasi yang direkayasa oleh bank sentral."
Beberapa perwakilan tampak mengangguk setuju, sementara yang lain berbisik-bisik satu sama lain.
Tiba-tiba, Duta Besar Uni Emirat Arab, Ahmed Al-Maktoum, mengangkat tangan dan berbicara dengan nada skeptis.
"Indonesia mungkin berhasil sejauh ini, tetapi apakah kalian menyadari konsekuensinya? Dunia barat tidak akan tinggal diam. PBB sudah menekan kalian dengan ancaman embargo, dan AS mulai menerapkan kebijakan deportasi massal bagi pekerja Indonesia di sana. Jika kita mendukung Indonesia, kita harus siap menghadapi konsekuensi yang sama!"
Suasana berubah tegang. Beberapa delegasi mulai berbisik lebih keras. Hasyim tidak terkejut dengan pernyataan itu. Dia tahu, beberapa negara di OKI masih bergantung pada sistem perbankan barat dan takut menghadapi tekanan global.
"Pertanyaan saya, Ahmed," kata Hasyim dengan tenang, "apakah kita akan terus menjadi budak sistem yang diciptakan barat? Ataukah kita memiliki keberanian untuk membangun sistem yang benar-benar adil?"
Ruangan kembali hening. Lalu, Menteri Keuangan Turki, Halil Yıldırım, berdiri dan menatap sekeliling ruangan sebelum berbicara.
"Kami telah memantau perkembangan ekonomi Indonesia. Apa yang mereka lakukan bisa menjadi peluang besar bagi dunia Islam. Jika kita bersatu dan mulai menggunakan sistem berbasis emas, kita tidak lagi bergantung pada dolar. Bayangkan sebuah sistem di mana perdagangan antarnegara OKI tidak lagi menggunakan mata uang fiat melainkan GRp atau dinar emas! Ini bisa menjadi awal kebangkitan ekonomi Islam!"
Seruan setuju terdengar dari beberapa delegasi. Menteri Keuangan Pakistan, Asim Qureshi, segera menambahkan,
"Jika kita bisa menciptakan jaringan perdagangan berbasis emas, kita bisa menghindari fluktuasi dolar yang tidak adil. Saya mendukung Indonesia!"
Tetapi, tidak semua negara setuju. Menteri Keuangan Mesir, Farouk Abdel Rahman, menghela napas dan berkata,
"Kami paham semangat Indonesia, tapi transisi ke emas tidak semudah itu. Sistem perbankan kita terikat dengan IMF. Jika kita keluar secara tiba-tiba, ekonomi kita bisa runtuh."
Sekjen OKI, Muhammad bin Khalid, menatap semua delegasi dan mengangkat tangan untuk menenangkan suasana.
"Saya melihat perdebatan ini semakin intens. Namun, kita tidak bisa mengambil keputusan gegabah. Saya usulkan kita membentuk Komite Ekonomi Islam untuk mengkaji dampak penuh dari transisi ini. Sementara itu, negara-negara yang ingin bergabung dengan sistem GRp dapat mulai menjalin kerja sama bilateral dengan Indonesia."
Hasyim tersenyum tipis. Ini bukan keputusan yang ia harapkan, tetapi setidaknya, pintu telah terbuka.
Pertemuan itu diakhiri dengan kesepakatan bahwa beberapa negara OKI akan mulai menggunakan GRp sebagai mata uang perdagangan bilateral dengan Indonesia.
Namun, di luar gedung pertemuan, mata-mata dari berbagai negara besar mulai mengirimkan laporan ke markas mereka. Dunia baru saja berubah—dan mereka tidak menyukainya.
Oleh Erwinsyah Putra
Bersambung ke Episode 27