Cerita Pendek
Perempuan yang Tak Diundang
Oleh Erwinsyah Putra
Malam itu, Balai Desa Cahaya Mukti dipenuhi suara lelaki yang berdiskusi. Seperti biasa, pertemuan desa hanya dihadiri kaum laki-laki. Mereka berbicara serius tentang program bantuan usaha dari pemerintah.
Di luar, Sekar berdiri di balik jendela, menggenggam erat kain kebayanya. Jantungnya berdegup kencang. Ia sudah lelah hanya mendengar dari kejauhan. Malam ini, ia tak akan diam.
Dengan satu tarikan napas panjang, ia mendorong pintu Balai Desa.
"Assalamualaikum."
Hening sejenak. Mata semua orang tertuju padanya. Pak Lurah, seorang pria berusia lima puluhan dengan kumis tebal, menatapnya tajam.
"Sekar? Kenapa kamu di sini?"
Sekar melangkah masuk. "Saya ingin bicara."
Beberapa lelaki saling pandang, lalu terdengar tawa kecil dari Rahmat, lelaki muda yang sering bertindak sebagai tangan kanan Pak Lurah.
"Ini rapat desa, Sekar. Bukan arisan ibu-ibu," katanya dengan nada mengejek.
Sekar menggertakkan giginya. "Saya warga desa ini, sama seperti kalian. Saya punya hak bicara."
Seorang pria tua bernama Pak Warsito menghela napas. "Perempuan tidak seharusnya ikut campur dalam urusan desa. Tugasmu di rumah, mengurus anak."
"Di rumah? Pak Warsito, saya ini punya lima anak yang semuanya sekolah. Suami saya, Mas Wira, kadang dapat kerja, kadang tidak. Saya yang harus mencari nafkah utama, saya yang memastikan anak-anak bisa tetap makan dan sekolah. Apa kalian pikir saya bisa duduk diam di rumah seperti istri-istri kalian?"
Pak Lurah berdeham. "Kami bukan meremehkan perempuan, Sekar. Tapi adat kita sudah turun-temurun begini. Urusan desa dikelola laki-laki, karena kamilah yang bertanggung jawab."
"Tanggung jawab?" Sekar tertawa sinis. "Jadi kalian pikir saya tidak punya tanggung jawab? Saya bangun pagi sebelum matahari terbit, saya menanak nasi, menyiapkan anak-anak sekolah, lalu bekerja sepanjang hari di warung kecil saya, melayani semua orang, termasuk kalian. Lalu malamnya, saya menghitung setiap keping receh untuk memastikan anak saya tetap bisa makan esok hari. Kalau itu bukan tanggung jawab, lalu apa?"
Beberapa lelaki terlihat mulai tak nyaman. Namun Rahmat masih bersikeras. "Maksud Pak Lurah, tanggung jawab laki-laki lebih besar. Kami bekerja mencari nafkah untuk keluarga, untuk desa. Itu sudah kodratnya. Perempuan memang boleh bekerja, tapi mereka tetap harus berada di bawah bimbingan laki-laki."
Sekar mendengus. "Jadi kalian pikir hanya laki-laki yang berhak menentukan masa depan desa ini? Hanya kalian yang boleh dapat bantuan usaha? Lalu kami perempuan harus menerima nasib begitu saja?"
Pak Warsito menepuk lututnya. "Perempuan itu memang boleh bekerja, Sekar. Tapi tetap harus ada batasnya. Dalam rumah tangga, istri harus tunduk pada suami. Itu aturan agama. Kalau perempuan mulai ikut campur urusan desa, nanti keseimbangan hilang."
Sekar menatapnya tajam. "Saya tidak sedang membantah ajaran agama, Pak. Saya tahu dalam rumah tangga, istri harus tunduk pada suami. Tapi bagaimana jika suami saya tidak bisa menafkahi? Apa saya harus tunduk pada kelaparan? Harus tunduk pada kemiskinan? Saya ini istri, tapi juga ibu. Saya harus bertanggung jawab terhadap anak-anak saya!"
Balai Desa kembali hening. Para lelaki itu saling pandang, beberapa mulai menunduk.
"Dengar," Sekar melanjutkan dengan suara lebih lembut, "saya tidak ingin merebut hak kalian. Saya hanya ingin mendapatkan hak saya juga. Saya ingin ikut dalam program bantuan usaha, karena saya bekerja, saya berjuang, sama seperti kalian."
Pak Lurah mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. "Tapi rapat ini bukan untuk perempuan, Sekar."
Sekar tersenyum tipis. "Kalau begitu, aku akan membuat rapat untuk perempuan."
Semua mata membelalak.
"Aku akan mengumpulkan para perempuan desa ini. Kami akan membuat usaha kami sendiri, tanpa perlu menunggu bantuan yang hanya kalian bagi-bagi untuk laki-laki. Kalian boleh pertahankan adat kalian, tapi aku juga akan mempertahankan hakku."
Ia berbalik, melangkah keluar dengan kepala tegak.
Saat pintu tertutup di belakangnya, Rahmat berbisik pelan, "Pak, kalau perempuan-perempuan mulai bergerak seperti ini… kita harus bagaimana?"
Pak Lurah tak menjawab. Malam itu, ia baru menyadari—desanya akan berubah.
Tamat.