Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan 728x90

Pertempuran di Balik Layar (Ep. 5)

Selasa, 04 Maret 2025 | Maret 04, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-03-04T16:42:12Z


Cerita Sambung

Indonesia (Jadi) Emas
Oleh Erwinsyah Putra

Episode 5: Pertempuran di Balik Layar

Jakarta mulai terasa berbeda. Gedung-gedung pencakar langit masih berdiri megah, lampu-lampu jalan masih menyala, tetapi ada ketegangan yang tak terlihat di udara. Di balik ketenangan itu, perang finansial sedang berlangsung.

Di sebuah ruang rapat yang remang, Arga menatap layar proyektor. Angka-angka dalam laporan intelijen menari di depan matanya.

"Bank luar negeri mulai membekukan rekening kita di luar negeri, terutama yang masih berbasis dolar. Sementara itu, indeks saham terus turun karena spekulasi dan kepanikan. Oligarki lama mulai memainkan permainannya," ujar Menteri Keuangan, Nadira, dengan suara tegang.

Arga menghela napas. "Berapa banyak dana kita yang tersangkut di luar negeri?"

"Setidaknya 20 miliar dolar AS. Itu termasuk cadangan devisa di beberapa bank internasional," sahut Gubernur Bank Indonesia, Rahmat Sudharma.

Arga tersenyum tipis. “Mereka pikir kita masih butuh dolar untuk bertahan. Mereka lupa bahwa kita sekarang punya GRp dan sumber daya yang bisa kita perdagangkan langsung.”

Nadira mengangguk, matanya berbinar. "Jadi kita dorong lebih keras perdagangan bilateral dalam GRp?"

"Ya, dan lebih dari itu," Arga menatap mereka satu per satu. "Kita umumkan ke dunia bahwa mulai besok, semua ekspor strategis seperti batu bara, gas alam, nikel, dan minyak sawit hanya bisa dibeli dengan GRp atau emas. Tidak ada lagi transaksi dalam dolar."

Keheningan memenuhi ruangan.

Rahmat menelan ludah. "Ini... langkah yang sangat berani, Pak Presiden. Kita akan membuat musuh semakin berbahaya."

Arga tersenyum tipis. "Kita sudah di medan perang, Pak Rahmat. Tidak ada jalan mundur."

***

Sementara itu, di Washington...

Di Gedung Putih, Presiden Amerika Serikat duduk di meja oval dengan ekspresi tegang. Menteri Keuangan AS melempar berkas laporan di meja.

"Indonesia baru saja mengumumkan larangan ekspor dalam dolar. Mereka hanya mau menerima Golden Rupiah atau emas."

Seorang penasihat ekonomi mendengus. "Kita tidak bisa membiarkan ini. Jika negara-negara lain ikut-ikutan, dolar akan kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan dunia!"

Presiden AS menghela napas panjang. "Apa opsi kita?"

"Kita bisa menaikkan tarif impor untuk produk mereka atau memberi tekanan pada negara-negara mitra dagang mereka agar menolak GRp."

Presiden AS mengetuk meja dengan jarinya. "Apa ada cara untuk menggoyahkan pemerintah Arga dari dalam?"

Seorang pria berjas abu-abu berbicara pelan. "Kami memiliki beberapa koneksi di kalangan bisnis dan politik Indonesia. Jika mereka bisa menciptakan ketidakstabilan ekonomi dalam negeri, rakyat mungkin akan memaksa Arga untuk mundur."

Presiden tersenyum sinis. "Lakukan."

***

Di Jakarta, di sebuah restoran mewah...

Seorang pria berkacamata duduk di sudut ruangan. Namanya Surya, seorang pengusaha senior yang memiliki hubungan dekat dengan oligarki lama. Di depannya, seorang pria asing berbicara dalam nada rendah.

"Kami butuh kalian untuk menggoyahkan GRp dari dalam," ujar pria asing itu dalam bahasa Indonesia yang fasih. "Ciptakan kepanikan. Sebar isu bahwa ini hanya eksperimen gila yang akan menghancurkan perekonomian kalian."

Surya menyipitkan mata. "Dan apa jaminannya? Jika pemerintah menang, kami yang akan dihukum."

Pria asing itu tersenyum kecil. "Kami bisa memastikan bahwa jika rencana ini berhasil, kalian akan berada di posisi yang lebih kuat dari sebelumnya. Kami butuh Indonesia tetap dalam sistem lama."

Surya menghela napas. Dia tahu, jika Arga berhasil, dunia akan berubah selamanya. Tapi jika dia membantu menjatuhkan GRp, ia akan tetap menjadi bagian dari elite lama yang menguasai negeri ini.

Setelah beberapa saat, ia mengangguk. "Baik. Kami akan mulai."

***

Di Istana Negara, malam itu...

Arga duduk di kantornya, menatap kota Jakarta dari balik jendela besar. Ia tahu, gelombang berikutnya akan lebih besar. Lawan-lawan mereka tidak akan tinggal diam.

Pintu ruangannya diketuk.

"Masuk," ujar Arga.

Nadira dan Rahmat masuk dengan wajah serius.

"Ada laporan intelijen, Pak," kata Nadira pelan. "Oligarki lama mulai bergerak. Mereka mendapat dukungan dari pihak asing untuk menggoyahkan ekonomi kita dari dalam."

Arga menutup matanya sejenak, lalu membuka kembali dengan tatapan tajam.

"Kalau begitu," katanya, suaranya penuh tekad, "kita harus lebih siap dari mereka."

Bersambung ke Episode 6…

Iklan 728x90
×
Fiksi Fillo Baru KLIK