Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

UKT Pakai Emas? (Ep. 22)

Jumat, 14 Maret 2025 | Maret 14, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-03-14T11:55:36Z

Cerita Sambung Indonesia (Jadi) Emas

oleh Erwinsyah Putra Episode 22: UKT Pakai Emas?

***

Di ruang Rektorat Universitas, Pak Soritua duduk berhadapan dengan Prof. Haryono, Rektor universitas, beserta beberapa pejabat keuangan kampus. Mereka sedang membahas implementasi GRp dalam transaksi universitas, termasuk isu zakat emas dan pajakMeja ruang rapat dipenuhi dokumen, grafik, serta secangkir kopi yang masih mengepul. Suasana serius, tapi penuh antusiasme.

***

Prof. Haryono membuka percakapan. "Pak Soritua, kami paham bahwa GRp sekarang diterima untuk pembayaran uang kuliah, dan kita sudah mengalokasikan sebagian dalam bentuk emas fisik. Tapi, ada perdebatan soal zakat emas. Apakah universitas wajib membayar zakat emas dari cadangan emas yang kita miliki?"

Pak Soritua mengangguk. "Ini pertanyaan fundamental, Prof. Dalam Islam, zakat emas hanya diwajibkan bagi individu yang memiliki emas di atas nasab tertentu, yaitu 85 gram, dan telah mencapai haul (setahun kepemilikan). Tapi institusi seperti universitas, perusahaan, atau lembaga tidak dikenakan zakat emas."

Seorang pejabat keuangan, Bu Ratna, menyela.

"Tapi, kalau universitas tidak membayar zakat emas, bagaimana dengan keadilan distribusi? Bukankah kita juga menyimpan emas yang berasal dari pembayaran mahasiswa?"

Pak Soritua menjelaskan lebih lanjut.

"Begini, Bu Ratna. Dalam Islam, zakat itu adalah kewajiban pribadi. Institusi tidak memiliki ruh, sehingga tidak bisa dikenakan zakat emas. Namun, universitas tetap punya kewajiban pajak, seperti PPN dan PPh. Jadi, walaupun kita tidak terkena zakat emas, kita tetap membayar pajak kepada negara."

"Jadi, PPN dan PPh tetap berlaku dalam transaksi GRp?" tanya Prof. Haryono.

"Ya, betul. Pajak adalah kewajiban negara, sementara zakat adalah kewajiban agama yang hanya berlaku untuk individu. Ini dua hal yang berbeda," jelas Pak Soritua.

***

Bu Ratna masih terlihat berpikir. "Tapi, bagaimana dengan transaksi dalam GRp? Apakah otomatis pajak dihitung dalam satuan emas juga?" Pak Soritua tersenyum. "Ini menarik. Pajak tetap dihitung dalam rupiah berdasarkan tarif yang berlaku, tapi bisa dibayar dalam bentuk GRp sesuai konversi harga emas saat itu."

Prof. Haryono menimpali, "Jadi, kalau tarif PPN 11%, kita harus mengonversi ke nilai emas saat itu?" "Benar, Prof. Misalnya, jika biaya pendidikan dalam GRp adalah 10 gram emas, dan tarif PPN 11%, maka pajak yang harus dibayar adalah 1,1 gram emas. Secara otomatis, sistem akan menghitung jumlah gramasi yang harus dibayarkan," jelas Pak Soritua. Seorang staf keuangan kampus, Pak Rudi, bertanya, "Lalu bagaimana dengan PPh? Apakah institusi yang menerima GRp tetap membayar pajak penghasilan?"

"Ya. Jika universitas memiliki pemasukan dari transaksi dalam GRp, maka tetap dikenakan PPh sesuai dengan tarif yang berlaku, hanya saja pembayarannya bisa dilakukan dalam GRp," jawab Pak Soritua.

***

Prof. Haryono melirik dokumen yang ada di mejanya. "Pak Soritua, kita tahu bahwa GRp ini berbasis emas, tapi bagaimana dengan mekanisme investasi? Apakah ada skema bunga seperti di sistem fiat?" Pak Soritua menggeleng. "Tidak ada bunga dalam sistem GRp, Prof. GRp dirancang sebagai mata uang berbasis aset, bukan berbasis utang. Dalam sistem fiat, bank menciptakan uang dari pinjaman dan mengenakan bunga, yang pada akhirnya menyebabkan inflasi dan ketidakstabilan ekonomi. Tapi dalam GRp, semua transaksi berbasis kepemilikan nyata, bukan hutang."

Bu Ratna mengangkat alis. "Kalau tidak ada bunga, bagaimana bank bisa mendapatkan keuntungan?" Pak Soritua menjelaskan, "Bank tetap bisa beroperasi dengan mengambil biaya administrasi atau sistem bagi hasil. Ini mirip dengan konsep perbankan syariah, di mana keuntungan didapat dari skema mudharabah atau murabahah, bukan bunga yang bersifat riba."

Pak Rudi terlihat penasaran. "Tapi, Pak, kalau tidak ada bunga, apakah orang tetap mau menyimpan uang mereka di bank?"

"Tentu saja. Justru dengan GRp, masyarakat akan lebih percaya menyimpan aset mereka di bank karena tidak tergerus inflasi. Selain itu, bank juga bisa menawarkan jasa penyimpanan emas dengan sistem yang lebih transparan," jawab Pak Soritua.

***

Pak Soritua melanjutkan, "Dengan GRp, setiap transaksi terekam secara transparan. Tidak ada pencetakan uang baru tanpa cadangan emas. Ini membuat nilai uang lebih stabil, dan daya beli masyarakat tidak akan berkurang karena inflasi." Prof. Haryono mengangguk. "Saya mulai paham. Jadi, GRp tidak hanya menjadi alat tukar, tapi juga cara untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan stabil." Bu Ratna menambahkan, "Tapi, Pak, apakah ini berarti kita tidak bisa lagi mendapatkan keuntungan dari investasi berbasis bunga?"

"Benar, Bu. Keuntungan dalam sistem GRp hanya bisa didapatkan melalui aset nyata dan bagi hasil. Tidak ada lagi skema bunga yang eksploitatif. Dengan demikian, ekonomi menjadi lebih sehat dan adil," jawab Pak Soritua.

***

Setelah diskusi panjang, Prof. Haryono menarik napas panjang. "Baik, ini akan menjadi tantangan besar, tapi juga peluang besar bagi universitas kita. Kita harus memastikan bahwa sistem ini diterapkan dengan baik dan dipahami oleh semua pihak."

Pak Rudi mengangguk. "Kami akan mengkaji ulang kebijakan keuangan kampus untuk menyesuaikan dengan sistem GRp. Ini langkah besar." Bu Ratna tersenyum. "Saya rasa ini bisa menjadi model bagi universitas lain." Pak Soritua berdiri dan merapikan dokumen-dokumennya. "Perubahan besar memang tidak mudah, tapi ini adalah langkah menuju ekonomi yang lebih stabil, transparan, dan bebas dari riba. GRp bukan sekadar mata uang, tapi juga revolusi dalam cara kita memahami ekonomi."

Di luar ruangan, matahari mulai tenggelam. Di balik jendela kaca ruang rapat, kampus masih sibuk dengan mahasiswa yang berjalan ke sana kemari, membawa harapan untuk masa depan yang lebih cerah di era Golden Rupiah.

Bersambung ke Episode 23

×
Fiksi Fillo Baru KLIK